Mubadalah.id – Saya sangat exited menyambut pagi itu, setelah sekian lama kuliah hanya via online, akhirnya tatap muka juga! Tapi, di tengah-tengah perjalanan menikmati hari yang baik, mood saya ‘runtuh’ saat mengikuti perkuliahan yang membahas konsep leadership. Sang dosen menjelaskan terkait relasi suami istri serta kodrat laki-laki sebagai pemimpin dengan kacamata patriarki.
Menurutnya, kodrat laki-laki itu memimpin! Di mana karakteristik dari pemimpin itu harus berkuasa, memaksa dan memerintah, “maka perempuan sebagai orang yang dipimpin mau tidak mau harus tunduk, patuh dan bersedia dikuasai oleh laki-laki” pungkas sang dosen.
Ketika mendengar penjelasan tersebut, bagi orang yang sudah memiliki perspektif gender akan merasakan hal yang sama, resah! Marah! Sedih! Apa lagi hampir 95% mahasiswa di kelas tersebut menyepakati perkataan sang dosen, termasuk perempuan di dalamnya. Saya pun mewajarkannya, seperti sang dosen, mereka pun tidak memiliki perspektif gender.
Salah satu mahasiswa mengacungkan tangannya, “Saya sepakat dengan bapak!” tegasnya. Dia menyebutkan bahwa kampanye gender yang sekarang ramai menjadi perbincangan sangat membahayakan perilaku perempuan, ia ingin setara dengan laki-laki. Padahal secara fisik pun berbeda.
Saya ikut mengacungkan tangan, “menurut kamu definisi gender itu apa sih?” tanya saya. Raut mukanya terlihat ketar-ketir. “mana mungkin seseorang bisa mengidentifikasi bahwa hal tersebut masuk kategori gender, tapi tidak paham definisi gender itu sendiri.” Lanjut saya. Akhirnya ia menjelaskan definisi gender, sangat miskonsepsi! Masih mengaitkan gender ini pada sesuatu yang sifatnya kodrati.
Perspektif Gender di Lingkungan Pendidikan
Bukankah pendidikan non-diskriminatif ini merupakan ruang untuk meningkatkan sumber daya manusia? Kok justru malah menjadi ruang ‘pembodohan’ yang akan memperpanjang ketidakadilan gender pada perempuan, karena tidak melibatkan perspektif gender dalam segala aktivitas pembelajarannya.
Mengapa perspektif gender ini penting kita hadirkan di lingkungan pendidikan? Karena segala keputusan dalam aktivitas pendidikan perlu melihat apakah keputusan tersebut adil untuk perempuan dan laki-laki. Adil tidak harus selalu setara, karena dalam keputusan mesti melihat pengalaman khas perempuan yang tidak laki-laki miliki, baik secara biologis ataupun sosial.
Contohnya seperti yang terjadi pada anak perempuan berusia 12 tahun di Banyumas, Jawa Tengah yang diminta mengundurkan diri dari sekolah karena hamil akibat diperkosa oleh 8 orang. Pelaku merupakan tetangga dari korban yang beberapa di antaranya sudah lanjut usia.
Hati kedua orang tua korban sangat hancur, selain korban harus menanggung beban mental dan resiko buruk reproduksi akibat kehamilan yang tidak ia inginkan. Bahkan dia juga tidak diberi solusi bijak oleh pihak sekolah. Beberapa teman-temannya mengirim chat Whatsapp dan menyebut korban sebagai pencoreng nama baik sekolah.
Ruang Aman bagi Perempuan
Pendidikan non-diskiminatif seharusnya menjadi ruang aman bagi perempuan. Terutama bagi korban kekerasan seksual, alih-alih menjadi pelaku kekerasan selanjutnya. Karena tidak melibatkan perspektif gender dalam mengambil keputusan. Mereka tidak paham bahwa perempuan memiliki pengalaman sosial yang khas, sehingga menjadi kelompok rentan korban perkosaan.
Selain itu, teman-teman dari korban kekerasan, yang seharusnya menjadi support terbesar, alih-alih menjadi pelaku bullying yang menganggap korban sebagai perempuan ‘kotor’ yang sudah mencoreng nama baik sekolah. Padahal dia korban, diperkosa itu jelas di luar kendalinya!.
Sekolah tidak lagi menjadi ruang ekspresi yang aman bagi perempuan. Beberapa kasus menunjukan bahwa justru sekolah menjadi tempat yang mengerikan bagi perempuan. Hal ini terlihat pada data tahun 2020 yang menyatakan terdapat 88 persen pengaduan kasus kekerasan seksual ke Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Di mana lokasinya berada di lingkungan satuan pendidikan.
Padahal Sistem Pendidikan Nasional yang tertera dalam UU No. 20 tahun 2003 sudah menegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan. Selain itu menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Artinya kebijakan nasional di bidang pendidikan sejatinya telah memadai untuk menjadi acuan dalam pembangunan pendidikan berwawasan gender, tetapi realitanya masih tidak demikian. Hal ini terjadi karena dalam proses penyusunan kurikulum dan penulisan buku pelajaran yang dominan laki-laki. Bahkan posisi strategis sebagai pengontrol kebijakan pendidikan pun mayoritas adalah laki-laki juga.
Partisipasi Perempuan di Bidang Pendidikan
Padahal partisipasi perempuan dalam semua aspek pendidikan sangat penting. Karena dalam mengambil keputusan, perempuan akan mempertimbangkan pengalamannya yang khas. Baik secara biologis ataupun secara sosial, yang pastinya tidak akan pernah laki-laki rasakan.
Prof Mudah Mulia dalam bukunya ‘Ensiklopedia Mualimah Reformis’ menjelaskan terkait langkah-langkah konkret yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan pendidikan berkeadilan gender, yaitu:
Pertama, tingkatkan keseimbangan jumlah guru dan tenaga kependidikan atas dasar gender pada semua bidang dan pada semua tingkatan pendidikan.
Kedua, mengembangkan pendekatan proses pembelajaran yang sensitif gender melalui pembinaan dan pelatihan guru-guru, kepala sekolah, dan pengawas pendidikan.
Ketiga, perlu ditingkatkan partisipasi perempuan, terutama pada tingkat pengambilan keputusan di semua unit pengelolaan pendidikan nasional.
Keempat, seluruh penulis bahan bacaan dan para penanggung jawab dalam bidang pengembangan kurikulum diberikan orientasi tentang kebijakan pendidikan yang berperspektif kesetaraan dan keadilan gender, sehingga tidak ada lagi kurikulum dan buku-buku bacaan sekolah yang bias gender.
Kelima, memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada perempuan untuk memasuki semua jenis dan jenjang pendidikan melalui pemberian beasiswa atau subsidi, terutama bagi mereka dari keluarga yang kurang mampu, serta memberikan affirmative action kepada perempuan untuk memasuki jurusan atau program- program studi yang selama ini menjadi monopoli laki-laki.
Menghadirkan model pendidikan non-diskriminatif dan berkeadilan gender merupakan kewajiban di setiap jenjang pendidikan. Karena sebagai bentuk upaya terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, terntunya ini sangat sesuai dengan cita-cita pendidikan Indonesia. []