• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Meneladani Wali Songo: Berdakwah dengan Cinta

Dengan prinsip muhafazhah ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil aslah, unsur-unsur budaya lokal yang selaras dengan sendi-sendi tauhid mereka serap dalam aktivitas dakwah Islam

Muhammad Nasruddin Muhammad Nasruddin
13/05/2023
in Hikmah, Rekomendasi
0
Meneladani Wali Songo

Meneladani Wali Songo

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Aktivitas dakwah menjadi misi bagi setiap umat keagamaan, termasuk Umat Islam. Namun dakwah tidak boleh kita barengi dengan paksaan, apalagi dengan kekerasan. Ajaran ‘amar ma’ruf nahi munkar yang disertai dengan kekerasan adalah sebuah pemahaman yang keliru. Dan ini perlu ada yang meluruskan. Sebagaimana kita meneladani Wali Songo.

Setiap agama tentu mengajarkan kebaikan dan saya mengamininya. Jikalau ada sebuah kekerasan atas nama agama, saya yakin hal itu hanyalah tindakan oknum yang tidak bertanggungjawab. Dan hal tersebut tidak dapat kita generalisasikan.

Sebut saja kasus Poso yang melibatkan kelompok Islam dan Kristen pada 1998 kemarin. Mungkin hal tersebut tidak akan pernah terjadi jika tidak ada oknum yang menyulut emosi dari kedua belah pihak. Bicara soal agama memang begitu sentimental dan menjadi sangat renyah untuk dibenturkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Padahal pada dasarnya setiap agama menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Kegiatan dakwah yang bersifat memaksa dengan kekerasan hanya akan mengundang sindrom “phobia”. Sudah banyak kasus penyebaran agama yang dilakukan dengan kekerasan justru membuat masyarakat takut akan keberadaan agama tersebut. ISIS dan berbagai gerakan radikalisme misalnya.

Penyebaran Islam yang mereka lakukan dengan kekerasan seperti terorisme, intoleransi, hate speech, dan tindakan provokasi dapat menyebabkan trauma bagi masyarakat lainnya. Pada akhirnya akan muncul prasangka-prasangka buruk yang disematkan kepada agama Islam hanya karena ulah segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Baca Juga:

Menyusui Anak dalam Pandangan Islam

KB dalam Pandangan Islam

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Melihat Strategi Dakwah Walisongo

Sejenak mari kita melihat ke belakang. Indonesia yang kini menurut rektor UNU Blitar, Mohammad Mukri adalah menjadi role model kerukunan umat beragama menurut saya tidak dapat terlepas dari jejak historis kedatangan Islam ke Indonesia.

Seperti yang jamak kita ketahui gelombang islamisasi terjadi secara besar-besaran di Indonesia terjadi pada masa Walisongo. Padahal sebelumnya di Indonesia sendiri sudah terdapat agama yang berkembang seperti Hindu, Buddha, dan agama Kapitayan.

Dalam buku Atlas Walisongo, Agus Sunyoto  mengartikan Kapitayan sebagai agama lokal yang meyakini keberadaan arwah leluhur. Pemujaan penganut Kapitayan mereka lakukan melalui Tu-ngkub (punden), Tu-nda (punden berundak), Tu-k (mata air), Tu-rumbukan (pohon beringin), dan media lainnya.

Para Wali Songo tidak serta merta melantangkan secara vokal mengenai ajaran Islam dan menghapus agama lokal. Namun mereka mengedepankan pendekatan sosio-kultural-relijius melalui asimilasi dan sinkretisasi terhadap adat dan tradisi keagamaan yang telah berlangsung di Nusantara.

Yakni melalui prinsip muhafazhah ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil aslah, unsur-unsur budaya lokal yang selaras dengan sendi-sendi tauhid mereka serap dalam aktivitas dakwah Islam.

Tidak heran jika banyak tradisi Islam sekarang ini sebenarnya merupakan hasil pengembangan dari agama sebelumnya, baik ajaran maupun model bangunan. Pesantren yang kini menjadi ciri khas lembaga pendidikan Islam di Indonesia sebelumnya merupakan pengembangan dari model pendidikan sistem biara dan asrama yang para pendeta dan bhiksu gunakan untuk aktivitas belajar-mengajar.

Sedangkan dalam tradisi Syiwa-Budhha terdapat istilah “dukuh” sebagai tempat pertapaan untuk mendidik calon-calon pendeta. Pesantren pun juga memiliki fungsi yang sama yakni sebagai tempat transmisi ilmu pengetahuan untuk mendidik generasi-generasi Muslim tentang ilmu keagamaan.

Berdakwah dengan Cinta dan Kasih Sayang

Para Wali Songo menyebarkan agama Islam secara damai tanpa menggunakan kekerasan dan paksaan. Mereka berdakwah dengan menggunakan tutur kata yang bijak, penuh cinta, dan empati kepada masyarakat. Meskipun strategi ini butuh waktu yang lama, namun mereka berhasil membangun fondasi Islam yang ramah di mana hasilnya dapat kita lihat sekarang ini.

Mengherankan jika terdapat segelintir kelompok yang membuat kegaduhan dengan dalih memurnikan agama Islam. Padahal jauh sebelum itu para Wali Songo telah mencontohkan bagaimana cara berdakwah dengan penuh kedamaian.

Berdakwah dengan cinta dan kasih sayang seharusnya menjadi pijakan bagi setiap da’i. Adalah sebuah klise jika menyebut materi dakwah akan dapat tersampaikan kepada mad’u (audiens) jika da’i mengetahui siapa target mad’unya. Namun hal ini merupakan sebuah keniscayaan.

Bagaimanapun segmentasi mad’u, baik anak-anak, remaja, maupun lansia, materi dakwah akan dapat tersampaikan jika dilandasi nilai rahmatan lil ‘alamin. Agama yang mengayomi setiap umat tidak akan menghakimi secara sepihak bagaimana perilaku mad’u.

Majelis Padang Ati dan Aktivitas Dakwahnya

Saya jadi teringat dengan salah satu majelis di daerah saya. Majelis Padang Ati namanya. Dalam rentang waktu yang belum lama, majelis ini telah berhasil menggaet simpati dari berbagai kalangan dengan beragam latar belakang sosialnya.

Meskipun majelis ini lebih condong menyasar kepada kalangan dewasa hingga lansia. Namun menurut saya kelompok ini menjadi sasaran dakwah yang kerap luput dari perhatian pendakwah pada umumnya.

Jika pendakwah hanya memfokuskan aktivitasnya kepada anak-anak dan generasi muda lainnya, bagaimana nasib kelompok orang tua yang di masa mudanya tidak pernah mengenal agama? Sedangkan mereka malu untuk menuntut agama karena usia yang sudah tidak lagi muda dengan berbagai beban kehidupan yang menyibukkannya.

Gus Ismail, pengasuh Majelis Padang Ati, menurut cerita salah satu jamaahnya tidak pernah menyalahkan setiap profesi manusia. Meskipun secara kasat mata profesinya bisa kita katakan kurang baik, bahkan kewajiban agama pun sering terlewatkan.

Namun Gus Ismail tetap merangkul mereka supaya tidak malu untuk kumpul bersama dalam majelis tersebut. Tidak heran jika jamaah Majelis Padang Ati sangatlah beragam. Ada yang tatoan, ada yang preman, penyabung ayam, atau mantan TNI sekaligus.

Dalam Fikih Dakwah, ajaran Islam hendaknya memang ditransmisikan sesuai  kebutuhan masyarakat saat itu. Tidak tergesa-gesa menerapkan aturan yang ketat seperti halnya dalam kehidupan pesantren. Kehidupan masyarakat memang lebih beragam.

Dengan demikian pendekatan yang kita gunakan harusnya berbeda. Sebagaimana kita meneladani Wali Songo. Yakni Islam yang merangkul, dan tidak memukul. Ramah, dan tidak suka marah-marah, hingga akan dapat menarik simpati masyarakat. Ketika pendakwah telah mendapat simpati dan kepercayaan dari masyarakat tentu ajaran agama akan mengalir dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Waallahu a’lam. []

 

Tags: CintadakwahislamNusantaraWalisongo
Muhammad Nasruddin

Muhammad Nasruddin

Alumni Akademi Mubadalah Muda '23. Dapat disapa melalui akun Instagram @muhnasruddin_

Terkait Posts

Puser Bumi

Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi

21 Mei 2025
Menyusui Anak

Menyusui Anak dalam Pandangan Islam

20 Mei 2025
KB

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

20 Mei 2025
KB

KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

20 Mei 2025
Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
KB dalam Islam

KB dalam Pandangan Islam

20 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi
  • Menyusui Anak dalam Pandangan Islam
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version