• Login
  • Register
Jumat, 18 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Mengantar Anak Sekolah: Selembar Aturan atau Kesadaran?

Hal sesederhana mengantar anak sekolah itu soal inisiatif, tidak perlu kementerian membuatkan SE atau gerakan semacamnya.

M. Baha Uddin M. Baha Uddin
18/07/2025
in Keluarga, Rekomendasi
0
Mengantar Anak Sekolah

Mengantar Anak Sekolah

243
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belum lama, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atau Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah.

Secara hierarki peraturan perundang-undangan, SE menteri tak memiliki kekutan hukum mengikat secara umum. Pendek kata, tak mengikat keluar. Ia lebih persis sebagai juklak, arahan, atau alat sosialisasi di lingkungan internal kementerian yang bersangkutan.

SE tersebut resmi berlaku pada 14 Juli 2025, hari Senin, hari pertama siswa masuk sekolah setelah menikmati liburan semester genap. Alasan pembuata SE ini BKKBN ambil karena banyak anak di Indonesia justru tumbuh tanpa kehadiran ayah (fatherless).

Mereka mengutip data UNICEF 2021 bahwa 20,9 % anak tak memiliki figur ayah. Juga menguatkan lewat data BPS 2021, anak usia 0-5 tahun yang diasuh oleh kedua orang tua hanya 37,17%. Demi alasan-alasan itulah BKBBN mendorong penguatan peran ayah, khususnya dalam pola pengasuhan.

SE ini memiliki keterhubungan dengan program Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) untuk menuju Indonesia Emas. Dalam SE tertulis GATI bertujuan memperkuat peran ayah dalam pengasuhan dan pendidikan anak sejak dini.

Baca Juga:

Kala Kesalingan Mulai Memudar

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

Melalui kehadiran ayah pada momen penting tersebut, tercipta kedekatan emosional yang berpengaruh positif terhadap rasa percaya diri, kenyamanan, dan kesiapan anak dalam menjalani proses belajar. Itu menurut anggapan mereka.

Kerja Kolaboratif

Kita berhak menduga, apakah GATI dan SE itu benar-benar ingin mendorong efektivitas pengasuhan anak sebuah keluarga. Memang, keterlibatan aktif kedua orang tua dalam pengasuhan menentukan pertumbuhan sang anak. Sudah seharusnya memang simbol budaya pengasuhan itu terlakukan oleh ibu dan bapak si anak. Semacam mesti ada kerja-kerja kolaboratif dan setara antarkeduanya.

Tapi persoalannya datang dari pemilihan judul SE ini yang boleh kita menganggapnya keliru. Tertulis “Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah”. Pertanyaaanya, mengapa hanya hari pertama? Lalu hari-hari setelahnya, lainnya, menjadi tugas siapa? Narasi “ayah mengantar anak di hari pertama sekolah” seakan tugas di hari-hari setelahnya adalah tugas ibu. Padahal mengantar anak sekolah bukan “kodrat” perempuan. Bukan.

Tak ada aturan baku soal pengasuhan anak, mesti ada kompomi di dalamnya. Dalam pada itu, bakal muncul pelbagai kesepakatan. Tak masalah jika dalam praktiknya ibu lebih sering mengantar anak ke sekolah ketimbang bapak. Namun alasan itu mesti berasas pada keberterimaan sikap sukarela. Misalnya, karena sang bapak tidak setiap saat tinggal serumah karena alasan pekerjaan. Atau harus berangkat pagi-pagi sekali sehingga tak sempat mengantar.

Lantas, manakala menyigi tugas ayah hanya “mengantar anak di hari pertama sekolah” itu adalah sebentuk pemojokan terhadap ibu (perempuan) sebagai entitas lain dalam sebuah rumah tangga. Seolah itu memang tugasnya, dan dengan alasan dan kondisi apapun mereka mesti menerimanya.

Dalam pada itu, saya ingat menyoal kisah dosen saya, Dr. Layyin Mahfiana, yang selalu bergantian dengan suaminya mengantar anak mereka sekolah. Hari ini beliau, besok suaminya. Begitu seterusnya mereka lakukan dengan jig-jag. Sebelum SE BKKBN ini hadir lelaku mengantar anak ke sekolah, suami Dr. Layyin sudah khatam melaksanakannya. Beliau mengantar anaknya tanpa perlu mendapat mukadimah SE. Apa yang ia lakukan sudah teramini sebagai tanggung jawab dan kesalingan tugas dalam menjalani bahtera rumah tangganya.

Komporomi dan Kesepakatan

Demikian, ketika muncul pertanyaan “Siapa yang bertanggung jawab mengantar anak ke sekolah?” Tentu sebagai jawaban mutlak adalah orang tuanya. Ibu atau bapaknya. Selebihnya soal kompromi dan kesepakatan yang berasas kesukarelaan. Tidak ada keterangan konyol, bapak hanya mengantar di hari pertama sekolah saja sebagaimana tertuang dalam SE BKKBN itu.

Hal sesederhana mengantar anak sekolah itu soal inisiatif, tidak perlu kementerian membuatkan SE atau gerakan semacamnya. Itu terlalu remeh bagi lembaga negara yang mestinya merumat hal-hal lain lebih penting. Menjadi bapak bukan soal aturan, tapi menyoal kehadiran. Kalau tujuan GATI adalah memperkuat peran ayah dalam pengasuhan anak, mengapa mereka hanya mengantar anak ke sekolah di hari pertama saja? Kan, konyol.

SE ini tentu semacam pretensi belaka. Yang saya lihat, tak ada ketulusan penuh dan sungguh-sungguh dalam mengatasi persoalan pengasuhan anak. Mereka masih superioritas terhadap entitas lain. Ibu, sebagai pilar lain dalam pengasuhan anak, tak sedikit pun mereka singgung.

Bagaimana sejauh ini para ibu memayoritasi urusan pengasuhan anak ketimbak bapak. Hal yang mesti  BKKBN gelorakan adalah kesadaran berbagi dan kesalingan kompromi suami-istri dalam mengurus, membangun, menata, menjalani, dan mendayakan sebuah keluarga.

Kita tahu, mandat BKKBN adalah membangun keluarga berkualitas dan generasi emas. Artinya, keterlibatan kedua orang tua dalam pengasuhan anak bagi pemenuhan kebutuhan emosional ialah investasi sosial jangka panjang. Jika mandat saja mereka kesampingkan, apa yang sebetulanya kita harapkan dari program atau kebijakan pemerintah, selain hanya sebagai ajang untuk menghambur-hambur anggaran? []

Tags: Berbagi TugasBKKBNKemendukbanggaKesalinganMengantar Anak Sekolah
M. Baha Uddin

M. Baha Uddin

Bergiat di Komunitas Serambi Kata

Terkait Posts

Wonosantri Abadi

Harmoni Iman dan Ekologi: Relasi Islam dan Lingkungan dari Komunitas Wonosantri Abadi

17 Juli 2025
Representasi Difabel

Dari Layar Kaca ke Layar Sentuh: Representasi Difabel dalam Pergeseran Teknologi Media

16 Juli 2025
Menikah

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

15 Juli 2025
Krisis Ekologi

Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

14 Juli 2025
Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Praktik Kesalingan

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

12 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sirkus

    Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Sejarah Ulama, Guru, dan Cendekiawan Perempuan Sengaja Dihapus Sejarah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mu’adzah Al-Adawiyah: Guru Spiritual Para Sufi di Basrah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Disabilitas dan Kemiskinan adalah Siklus Setan, Kok Bisa? 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina
  • Mengapa Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah?
  • Mengantar Anak Sekolah: Selembar Aturan atau Kesadaran?
  • Belajar Mencintai Tuhan dari Rabi’ah Al-Adawiyah

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID