Mubadalah.id – Berbicara politik identik dengan kekuasaan, Politik merupakan aktivitas interaksi antar individu dalam suatu kelompok yang berusaha menjalin hubungan agar timbul sebuah kebaikan masyarakat dalam sebuah wilayah Negara maupun pemerintahan melalui sebuah peraturan dan keputusan yang sifatnya mengikat secara kolektif.
Menurut Prof. Musdah Mulia dalam bukunya Ensiklopedia Muslimah Reformis politik pada hakikatnya merupakan kekuasaan dan pembuatan keputusan. Politik mengajarkan strategi bagaimana manusia merebut, mendapatkan, dan mengelola kekuasaan serta bagaimana membuat keputusan.
Namun ketika berbicara politik seolah hal tersebut hanya boleh dibahas oleh laki-laki. Stigma (dalam budaya patriarkal) yang ada pada masyarakat, politik bukan wilayah kajian perempuan. Wilayah kajian perempuan dalam budaya patriarkal hanya sebatas kasur, dapur dan sumur. Selebihnya dianggap wilayah kekuasaan laki-laki.
Isu perjuangan perempuan dalam ranah politik sudah hadir sejak feminis gelombang pertama, dimana perempuan memperjuangkan hak pilihnya dalam rangka pemilu. Perjuangan perempuan tersebut terus berlangsung sampai saat ini. Meskipun sekarang perempuan memiliki hak pilih dan dipilih dalam pemilu namun tujuannya sendiri masih belum sampai.
Persoalan politik sesungguhnya bukan persoalan laki-laki saja, namun persoalan semua manusia baik laki-laki maupun perempuan. Politik erat kaitannya dengan kepemimpinan, sehingga ketika perempuan masuk dalam wilayah politik akan menerima segudang pertanyaan “apakah perempuan mampu memimpin?”, “apakah perempuan bisa berpikir logis?”, “apakah perempuan akan bisa melawan godaan korupsi?”.
Jika perempuan dipertanyakan kepemimpinannya berikan kesempatan pada perempuan untuk membuktikan kemampuannya, jika perempuan dipertanyakan mampu tidaknya melawan godaan korupsi, maka korupsi terjadi bukan perkara gender melainkan karena diberi kekuasaan atau berada dalam jaringan kekuasaan. Baik laki-laki maupun perempuan berpotensi melakukan korupsi seperti yang kita lihat fenomena di Negeri ini koruptor bukan hanya perempuan, dan hanya perempuan berani yang mampu menahan godaan korupsi.
Hambatan-hambatan keterlibatan perempuan dalam wilayah politik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, masih tumbuh suburnya budaya patriarkal yang berideologi misoginis yang masih menempatkan perempuan sebagai manusia kedua sehingga lahir pandangan hanya laki-laki yang boleh menjadi pemimpin. Meskipun perempuan diberi kesempatan dalam ranah politik namun kesetaraan dan keadilan sama sekali belum didapatkan.
Hal tersebut masih jauh dari tujuan awal politik seperti yang dikemukakan Hannah Arendt yang mana politik menjamin prinsip kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Pada kenyatannya politik hanya ramah pada kelas tertentu saja yakni kelas menengah ke atas, dimana mereka sudah akrab dengan pendidikan politik, sistem politik dan sosialisasi-sosialisasi yang berbau politik lainnya.
Kedua, hambatan keterlibatan perempuan dalam ranah politik adalah ketidakakraban perempuan dengan politik yang diakibatkan oleh kurang menyadari bahwa perempuan harus berpolitik. Mereka belum punya kesadaran bahwa politik amat penting dan perempuan harus terlibat di dalamnya.
Pertanyaan yang sering dipertanyakan oleh perempuan adalah, mengapa perempuan harus melek politik? Dengan berpolitik perempuan bisa memperjuangkan kesetaraan gender, mengingat kebijakan-kebijakan pemerintah sejak dahulu hingga saat ini masih belum pro terhadap perempuan, sehingga ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan gender masih kita rasakan.
Hal tersebut tercermin dari akses perempuan masih belum setara dan ruang aman bagi perempuan masih belum hadir diakibatkan belum adanya Undang-Undang yang mengatur hak-hak korban pelecehan dan kekerasan seksual yang menimpa perempuan, sehingga angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Penyelesaian kasus pelecehan maupun kekerasan yang terjadi selama ini berakhir dengan menyalahkan dan merugikan korban.
Korban tidak mendapatkan perlindungan maupun pendampingan pemulihan dari Negara. Pertanyaan lainnya adalah apakah berpolitik harus menjadi anggota DPR, menjabat sebagai anggota DPR memang pencapaian luar biasa karena dengannya bisa mempermudah melakukan kebijakan-kebijakan yang adil gender (pro terhadap perempuan). Namun hal tersebut bukan satu-satunya cara perempuan ikut serta dalam politik.
Alasan lain mengapa perempuan harus melek politik, adalah politik sangat berpengaruh dalam keberlangsungan hidup perempuan karena menyangkut masa depan kita sebagai perempuan, dan anak kita sebagai generasi penerus bangsa. Sehingga untuk dapat merasakan dan memberikan kehidupan yang aman dan nyaman (bagi anak-anak kita), maka sistem perpolitikan saat ini harus dibenahi salah satunya perempuan harus ikut terlibat di dalamnya.
Selain itu dengan semakin melek dan terlibatnya perempuan dalam wilayah politik hal-hal seperti isu poligami, subordinasi, marginalisasi dan human trafficking akan banyak dibahas dan dicari solusinya, dan perjuangan para perempuan dalam memperjuangan haknya termasuk perjuangan pengesahan RUU Pungkas akan mendapatkan ruang, sehingga proses pengesahan akan lebih cepat dilakukan karena dengan lambatnya pengesahan RUU Pungkas tersebut akan semakin banyak korban yang tidak mendapat perlindungan. []