Mubadalah.id – Sebagai keluarga yang masih menyandang status ‘pengantin baru’, salah satu peran vital dalam mengimplementasikan prinsip kesalingan keluarga ketika menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, bagi saya adalah peran domestik, terutama yang berkaitan dengan masak-memasak.
Mengingat setiap keluarga memiliki kesepakatan terkait prinsip kesalingan, dan pembagian peran yang berbeda-beda, hal ini mungkin tidak berlaku bagi keluarga dengan pembagian peran: suami bekerja dan melakukan peran publik, maka peran domestik pada umumnya akan dilakukan oleh sang istri, apalagi bagi keluarga yang tidak memiliki Asisten Rumah Tangga (ART).
Lalu bagaimana dengan keluarga yang sama-sama bekerja dan sama-sama melakukan peran domestik? Siapa yang bertanggung jawab atas peran domestik terutama terkait pekerjaan masak memasak? Bagaimana prinsip kesalingan dipraktikkan? Tidak jarang kita temui pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja di bulan Ramadhan, kemudian sepulang dari kerja istri langsung memasak di dapur, dan suami istirahat menunggu adzan maghrib untuk buka puasa. Lantas mengapa hal ini masih sering terjadi?
Menurut Herien Puspitawati (2013), dalam tulisannya yang berjudul: “Fungsi Keluarga, Pembagian Peran dan Kemitraan Gender dalam Keluarga”, masalah keluarga pada zaman modern mengalami perubahan pola keluarga tradisional-feodal menjadi urban-modern. Apabila dibiarkan dan tidak dikomunikasikan dengan baik dengan anggota keluarga, hal tersebut dapat menimbulkan persoalan ketimpangan gender dalam keluarga.
Herien Puspitawati menjelaskan bahwa dalam keluarga tradisional-feodal, peran publik dilakukan oleh laki-laki/suami dan perempuan/istri melakukan peran domestik. Sedangkan bagi keluarga urban-modern, peran publik sudah banyak dilakukan suami dan istri. Namun, peran domestik masih dilakukan oleh istri. Fenomena seperti ini yang kemudian menjadikan perempuan/istri mengalami beban ganda.
Berdasarkan pemaparan permasalahan secara singkat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembagian peran dengan prinsip kesalingan dalam keluarga merupakan hal yang sangat vital, sehingga diperlukan suatu kesepakatan internal keluarga terkait peran dan tanggungjawab, serta bagaimana membangun keluarga yang maslahat dengan menerapkan prinsip mubadalah (kesalingan) dalam melaksanakan peran publik/domestik, khususnya di bulan suci Ramadhan.
Kesetaraan Gender dalam Keluarga Perspektif Mubadalah
Sedikit bercerita, saya mengenal istilah mubadalah sekitar empat tahun lalu, tepatnya ketika bertemu dengan seorang perempuan yang saat ini sudah menjadi istri saya. Kala itu ia sering melontarkan pertanyaan “kenapa istri di dapur, di sumur, dan di kasur?”, dan “bagaimana kalau sistem itu ditukar?”, seiring berjalannya waktu, ia pun bercerita terkait media online yang konsisten membahas terkait keadilan dan kesetaraan gender, iya betul! Media tersebut ialah mubadalah.id. Sejak itu pun saya dan istri mulai mengirimkan opini-opini ringan dari hasil diskusi kami berdua.
Diskusi itupun berlanjut hingga kami memutuskan untuk menikah. Tentu dengan kesepakatan prinsip kesalingan dalam tanggung jawab peran. Dan yang paling berat bagi saya, ialah ketika menjadikan buku Qira’ah Mubadalah sebagai salah satu maskawin dalam acara sakral kami waktu itu.
Kenapa berat? Tentu karena secara tidak langsung saya harus mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip kesalingan atau mubadalah, baik dalam keluarga ataupun dalam kehidupan lain. Akan tetapi, prinsip mubadalah menjadi menyenangkan ketika saya dan istri telah melakukan kesepakatan mubadalah dan konsisten menjaganya.
Sudah dulu ceritanya, supaya tulisan ini fokus ke intinya!
Melalui Buku Qira’ah Mubadalah (2019), istilah mubadalah dikembangkan oleh K.H. Faqihuddin Abdul Kodir sebagai sebuah pemahaman dan perspektif dalam relasi tertentu di antara dua pihak dengan menjunjung semangat dan nilai prinsip kesalingan, kemitraan, timbal balik, kerja sama, serta azas resiprokal.
Relasi dalam konteks ini berlaku secara umum, seperti negara dan rakyat, orang tua dan anak, guru dan murid, majikan dan buruh, mayoritas dan minoritas, laki-laki dan perempuan, laki-laki dan laki-laki atau perempuan dan perempuan, baik dalam skala lokal ataupun global.
Tulisan ini hendak berfokus terhadap relasi dalam keluarga, yaitu relasi istri dan suami. Konsep mubadalah yang saya gunakan dalam tulisan ini hanya menggunakan pengertian sebagai relasi kemitraan perempuan serta bagaimana teks Islam mencakup laki-laki dan perempuan sebagai subjek dari makna yang sama.
Terdapat banyak surat dan ayat dalam al-Qur’an yang mengandung makna mubadalah, misalnya pada QS. al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Kata “ta’arafu” dalam ayat tersebut adalah bentuk kata kerja sama (musyarakah) dan kesalingan (mufa’alah) dari kata ‘arafa yang memiliki arti saling mengenal satu sama lain, satu pihak mengenal pihak lain, dan sebaliknya.
Selanjutnya yaitu QS. al-Maidah ayat 2 yang artinya:
“… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ….”
Kata “ta’awanu” memiliki arti ‘saling tolong-menolongllah kalian semua’ dengan bentuk kata yang sama seperti “ta’arafu”. Kedua ayat tersebut menjelaskan terkait pentingnya relasi kesalingan dan kerjasama antar manusia, termasuk relasi antara perempuan dan laki-laki.
Menurut K.H. Faqihuddin Abdul Kodir, prinsip kesalingan mubadalah pada dasarnya adalah menekankan pada prinsip kesalingan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan. Melalui prinsip kesalingan ini, sebagaimana laki-laki yang ingin dihormati pilihannya, diakui keberadaannya, didengar suaranya, serta dipenuhi segala keinginannya, maka berlaku juga bagi perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang serupa.
Perspektif mubadalah membuahkan cara pandang yang memanusiakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Sebuah perspektif yang mengarah terhadap relasi yang setara dan timbal balik dalam kebaikan hidup antara perempuan dan laki-laki untuk mencapai kemaslahatan kehidupan, baik domestik maupun publik.
Perspektif mubadalah mencerminkan suatu keadilan dan kesetaraan dalam relasi antara perempuan dan laki-laki, yang mendorong kerja sama yang partisipatif, adil, serta memberi manfaat bagi keduanya tanpa diskriminatif dalam bentuk apapun. Ruang publik tidak hanya diberikan bagi laki-laki, dan ruang domestik juga tidak hanya dibebankan bagi perempuan saja. Partisipasi keduanya (publik dan domestik), harus diberikan secara adil meskipun dilakukan melalui model, cara, serta pilihan yang berbeda-beda.
Bulan Ramadan Sebagai Pembelajaran Penerapan Prinsip Kesalingan Dalam Keluarga
Dalam hal implementasi prinsip kesalingan dalam keluarga di bulan suci Ramadhan, bagi saya setidaknya ada beberapa aspek yang perlu menjadi pertimbangan dalam kehidupan keluarga. Di antaranya:
Pertama, aspek spiritualitas. Di bulan suci Ramadhan, secara beriringan baik saya dan istri, setidaknya dapat meningkatkan spiritualitas, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan adanya ketenangan hati dan pikiran, maka akan dapat berpikir pula secara tenang, sehingga dapat melaksanakan ibadah puasa dengan tenang pula.
Kedua, aspek psikologis. supaya psikologi keluarga tetap terjaga di bulan Ramadan, maka prinsip saling mu’syarah bil ma’ruf senantiasa harus dijaga bahkan ditingkatkan. Hal tersebut dilakukan dengan menjalin hubungan yang baik antara suami dan istri. Pola relasi komunikasi yang dapat digunakan adalah yang dapat membentuk suatu hubungan yang harmonis, dimana baik saya ataupun istri dapat beralih peran (publik/domestik).
Ketiga, aspek sosiologis. Dalam upaya belajar menghadirkan kemaslahatan dalam keluarga, khususnya di bulan penuh keberkahan ini, dapat dimulai dengan menerapkan konsep maṣlaḥah ta’awun atau saling memberikan bantuan/kontribusi, motivasi atau dukungan antara istri dan suami, serta antara keluarga dengan tetangga atau masyarakat sekitar.
Keempat, aspek ekonomi. Menerapkan konsep kesalingan (mubadalah) di bulan suci Ramadhan menjadi penting. Hal itu mengingat harga-harga kebutuhan pokok yang naik di pasar serta akses pekerjaan yang semakin sulit di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang. Dengan berlandaskan mubadalah, maka tidak akan ada kondisi saling menuntut antara satu sama lain, serta saling memahami kondisi masing-masing.
Berdasar uraian singkat tersebut, maka tidak ada alasan untuk memposisikan laki-laki lebih unggul dan menghasilkan relasi subordinasi terhadap perempuan atau sebaliknya. Allah SWT menciptakan perempuan dan laki-laki untuk saling berbagi, bukan untuk saling mendominasi atau mengeksploitasi satu sama lain.
Untuk itu, di bulan suci Ramadhan ini, prinsip kesalingan (mubadalah) perlu ditanamkan, bahwa pekerjaan domestik adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab istri. Selain itu, prinsip kesalingan dalam keluarga di bulan Ramadhan menjadi penting dalam upaya menciptakan keluarga yang maslahat, dengan memperhatikan beberapa aspek seperti spiritual, psikologis, sosial, dan ekonomi.
Semoga di bulan Ramadan ini, menjadi awal untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam keluarga serta menjadi nilai ibadah dan menambah ketaqwaan. Karena yang dapat dibedakan dari laki-laki dan perempuan ialah akhlak dan taqwanya. Artinya, yang paling mulia di hadapan Allah SWT ialah yang bertaqwa dan amal baik, bukan jenis kelaminnya. []