Mubadalah.id – Sebagai Perempuan yang terlahir dari keluarga dengan model pengasuhan yang demokratis menjadi satu privilege untukku, di tengah banyaknya perempuan lain yang menderita karena patriarki. Padahal, orang tuaku bukanlah sarjana. Tetapi justru dari mereka lah, aku menyaksikan sendiri bagaimana praktik keadilan gender dari rumah sendiri, tempat aku dibesarkan.
Dikaruniai anak dengan jenis kelamin perempuan semua, orang tuaku justru menganggap pendidikan bagi anak perempuannya merupakan prioritas yang utama. Di saat banyak saudara atau tetangga yang mengatakan bahwa sekolah tinggi adalah hal sia-sia untuk perempuan karena akhirnya akan ngulek sambel di dapur. Orang tuaku justru selalu mendoktrin anaknya untuk selalu semangat menimba ilmu.
Padahal orang tuaku bukanlah seorang yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Setamatnya mereka dari Sekolah Dasar, orangtuaku melanjutkan pendidikannya di pesantren dan mengikuti program kejar paket untuk mendapatkan sebuah ijazah.
Dalam hal ini, bapakku lebih beruntung dari ibuku karena bisa ikut hingga paket C, atau setara Sekolah Menengah Atas. Meski tidak mengenyam pendidikan sarjana, orang tua ku selalu menyuntikkan semangat kepada anak perempuannya untuk terus menimba ilmu.
Bapak ibuku adalah pekerja keras. Sehari-hari mereka berdagang sembako di pasar desa. Mereka bekerja sama untuk mencari nafkah dan memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Mereka bekerja dan memutar otak setiap hari agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan demi menyekolahkan anak-anaknya.
Kerjasama dalam Keluarga
Bapak dan Ibu saling bekerjasama dalam melakukan pekerjaan. Biasanya, bapak bertugas membeli barang partai besar di pasar induk atau di toko-toko grosir. Lalu ibu yang mengemas dan menjualnya kembali di kios. Bapak tidak pernah hafal dengan harga-harga produk di kios. Bahkan beliau pernah mengatakan bahwa ia adalah karyawan ibu, karena lebih mengingat harga barang ketika pembeli bertanya.
“Aku iki namung karyawane ibu”
Kalimat ini selalu aku ingat apalagi banyak sekali laki-laki mendaku bahwa dirinya adalah pemimpin di segala lini. Bapakku malah berkata bahwa ia karyawan ibu. Sungguh sangat gentleman, bukan?
Dalam pekerjaan domestik pun, bapak selalu mencuci bajunya sendiri serta mencuci piring, menyapu rumah, halaman depan, juga halaman belakang rumah. Urusan masak pun sejak dulu ibu dan bapak tidak pernah memusingkan. Mereka lebih memilih membeli ketimbang harus repot masak setelah seharian bekerja.
Orang tuaku tidak pernah mengajarkan bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab mutlak ibu. Tidak pernah pula mereka mengajarkan bahwa anak yang melakukan pekerjaan rumah berarti membantu ibu. Tetapi mereka mengajarkan bahwa rumah yang bersih dan rapi akan nyaman kita tempati.
Kini, aku mengartikan ajaran tersebut sebagai pemahaman keadilan gender dari rumah, bahwa pekerjaan rumah adalah tugas semua penghuni rumah.
Pemandangan yang aku saksikan di rumah berbanding terbalik dengan cerita teman-temanku yang memiliki keluarga dengan pola hubungan di mana ayah bertugas mencari nafkah. Sementara ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Pernah aku mendengar cerita teman, bahwa ibunya tidak pernah keluar rumah tanpa seizin ayahnya.
Hal ini lantas membuatku berpikir, apakah ibuku adalah istri yang durhaka karena tidak mencuci baju suaminya? Apakah ibuku durhaka karena keluar rumah sesuka hati untuk berbelanja? Pikiran-pikiran ini tentu saja muncul di saat aku belum mempelajari konsep keadilan gender.
Tentang Patriarki
Belakangan aku baru mengerti bahwa sebenarnya pola hubungan seperti yang temanku ceritakan adalah grand narrative terkait patriarki. Yaitu sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama. Bahkan konsep-konsep patriarki yang terus direproduksi sehingga menyebabkan konsep tersebut seolah-olah bersifat kodrati. Padahal, konsep itu adalah produk dari konstruksi sosial. Sayangnya, patriarki sudah mendarah daging dan menjadi residu dalam alam bawah sadar manusia.
Beberapa kali, ketika masih menjadi santri, aku kerap mendengar cerita teman-teman perempuan yang mengalami dampak patriarki. Ia bercerita bahwa sudah ditunggu lelaki yang menjadi bakal suaminya, padahal saat itu ia masih berstatus santri.
Aku melihat sendiri betapa ia tidak fokus menjalani studi karena pikirannya sangat terganggu. Atau ada cerita lain lagi, temanku yang sebetulnya belum memiliki kesiapan yang cukup untuk menikah, tetapi calon suaminya sudah merasa siap sehingga tergesa untuk meresmikan hubungannya.
Para orang tua mendukung proses cepatnya pernikahan tersebut dengan dalih agar terhindar dari zina. Betapa temanku tidak memiliki kemerdekaan keputusan atas dirinya sendiri. Di saat itulah aku sadar bahwa pola relation ala pasangan adil gender yang baru aku pelajari teorinya ketika duduk di bangku perkuliahan ternyata sudah dipraktikkan oleh orang tuaku.
Berkenalan dengan Konsep Mubadalah
Ketika aku berkenalan dengan konsep Mubadalah sebagai konsep adil gender perspektif Islam yang diperkenalkan oleh Kiai Faqih Abdul Kodir. Lagi-lagi aku menemukan contoh konkrit keadilan gender dari rumah.
Ketika ibu baru saja melahirkan adik, secara otomatis bapak menggantikan posisi ibu ketika berdagang di kios dan juga urusan domestik lainnya. Ibu tidak protes sama sekali ketika ada penurunan hasil dagang, karena memang yang memiliki skill berdagang adalah ibu.
Atau ibu juga tidak komplain sama sekali ketika rasa masakan bapak sangat asin atau hambar. Aku menemukan praktik kesalingan di dalam relasi bapak dan ibuku, di mana mereka saling menghargai peran.
Poin-poin kunci dalam konsep mubadalah tentang kesetaraan hak, penghargaan terhadap peran, dialog dan kerjasama, reformasi normatif dan praktik keberagaman, nyatanya sudah dipraktikkan keluargaku sejak aku kecil.
Pengalaman tersebut membuatku terpanggil untuk menyuarakan keadilan gender. Misalnya, dalam poin reformasi normatif, kita bisa melakukan kritik terhadap tradisi-tradisi atau norma-norma yang patriarkal dan mendiskriminasi perempuan.
Misalnya perempuan masih dipandang sebelah mata ketika menjadi pemimpin. Karena memiliki siklus menstruasi dan menyebabkan hormon yang up and down, lalu menganggap bahwa semua perempuan tidak memiliki keputusan yang stabil, tetapi keputusan tergantung emosi dan perasaannya.
Keharmonisan dan Kesalingan
Padahal tak sedikit pula laki-laki yang sangat emosi ketika memutuskan perkara, bahkan hingga melakukan kekerasan fisik, melempar kursi misalnya. Sayangnya laki-laki tidak mengalami generalisir tentang hal tersebut, karena pengetahuan terus mereproduksi bahwa laki-laki memiliki pemikiran yang lebih logis daripada perempuan yang “katanya” mengedepankan perasaan.
Dengan konsep Mubadalah, Kiai Faqih mengampanyekan terciptanya keharmonisan dan kesalingan di tengah masyarakat sehingga kehidupan akan lebih inklusif. Memang bukanlah jalan yang mulus untuk mencapai cita-cita tersebut, tentu akan ada diskriminasi-diskriminasi baru yang muncul seiring dengan perkembangan teknologi dan media.
Tetapi sesuai yang Ibu Nyai Nur Rofi’ah sampaikan, kita memang anak kandung patriarki, tetapi kita bisa memilih menjadi anak yang durhaka. Saya membayangkan, jika semakin banyak orang yang memiliki perspektif demikian, maka perempuan akan semakin berdaya. Karena keberdayaan perempuan bukan hanya untuk dirinya, tetapi lebih jauh lagi untuk anak-anaknya, serta generasi penerus. []