Mubadalah.id – Di benak masyarakat umum selalu terpantik tanya, bagaimana respon orang-orang pesantren melihat realitas, atau isu yang tengah menjadi perbincangan hangat di ruang publik? Anggapan bahwa orang pesantren, dalam hal ini perempuan, adalah sebagai orang udik, kampungan, terbelakang, dan tertinggal informasi terbantahkan melalui buku “Nalar Politik Perempuan Pesantren”.
Stigma di atas telah menjadi bongkahan kisah sendu di masa lalu. Melalui buku lawas terbitan Fahmina tahun 2006 yang Hj Maria Ulfa Anshor tulis ini, menjawab semua tudingan di atas jauh sebelum hadirnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), yang semakin meneguhkan otoritas ulama perempuan. Buku ini bisa kita akses secara gratis melalui Kupipedia.id
Dalam kata pengantarnya, penulis menyampaikan bahwa buku yang ia tulis merupakan kumpulan tulisan yang ia buat selama lima tahun terakhir dalam menyikapi berbagai isu perempuan. Baik pada domain kultural, isi/konten maupun struktural. Sebagian besar berupa makalah yang sudah ia sampaikan di beberapa seminar dan artikel lepas yang telah termuat di beberapa media khususnya Kompas.
Kesenjangan Gender Masih Terjadi
Pemberdayaan terhadap kaum perempuan akan terus menjadi kebutuhan dan selalu aktual. Sepanjang struktur sosial di masyarakat masih bertumpu pada hegemoni budaya patriarki. Di mana kaum perempuan selalu berada dalam posisi sebagai pihak yang dirugikan.
Berbagai program telah diajukan untuk meningkatkan posisi dan peran serta perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, baik oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah.
Namun faktanya kesenjangan gender tetap saja terjadi. Baik terhadap akses alokasi sumber-sumber material dan non material, maupun partisipasi dalam pengambilan kebijakan di legislative dan eksekutif. Begitu juga dalam hak-hak kesehatan reproduksi. Kaum perempuan masih banyak yang belum menyadari hak-haknya. Belum menyadari adanya kebutuhan tentang informasi kesehatan yang memadai, pelayanan reproduksi yang aman dan lain sebagainya.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, selain memperbaiki sistem pelayanan kesehatan dan persalinan, adalah meningkatkan kesadaran masyarakat. Mereka harus sadar bahwa kesehatan reproduksi merupakan hak setiap individu. Yakni melalui pendekatan dari berbagai perspektif, termasuk budaya dan agama. Perilaku dan pemahaman keagamaan masyarakat perlu kita bongkar dan berdasarkan pada pemahaman yang lebih rasional penghargaan pada perempuan.
Teologi yang Tidak Membebaskan
Faktor lain, menurut penulis yang juga mempunyai andil besar dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat yang termasuk di dalamnya perempuan adalah konsep teologi yang tidak membebaskan.
Karena itu media yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, kesadaran kritis bagi perempuan dalam ranah ini adalah menggunakan media pendidikan agama. Hal ini meniscayakan pesan-pesan kesetaraan yang disosialisasikan kepada perempuan, di pengajian majelis ta’lim, di pesantren maupun pada komunitas masyarakat perempuan lainnya.
Pemahaman agama yang segar ini sangat kita butuhkan untuk mengimbangi pemahaman dan penafsiran atas teks-teks. Baik yang bersumber dari kitab suci AlQur’an maupun hadits yang memperkuat patriarki.
Pada konteks ini, gerakan keadilan gender sebenarnya hanya mengarah pada perbedaan sosial, atau tepatnya pembedaan. Hingga pada akhirnya menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan relasi perempuan dan laki-laki.
Secara sederhana, penulis menegaskan bisa kita katakan bahwa gerakan keadilan gender adalah segala upaya, sekecil apapun yang memberikan perhatian terhadap problem yang perempuan hadapi, akibat ketimpangan relasi sosial yang berlaku.
Yakni dengan tujuan menghadirkan sistem relasi yang adil bagi laki-laki dan perempuan, sehingga gerakan keadilan gender, sesungguhnya ingin membebaskan manusia dari bentuk kezaliman, penindasan dan pelecehan yang berdasarkan pada jenis kelamin. Pembebasan manusia dari bentuk kezaliman adalah misi utama ketauhidan Islam.
Gerakan Keadilan Gender
Maka berangkat dari prinsip gerakan keadilan gender tersebut, penulis membagi tulisannya dalam buku ini menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama tentang Peluang Politik Perempuan. Yaitu mengulas tentang bagaimana para perempuan penggerak di Indonesia telah meletakkan dasar bahwa hak-hak kesetaraan bagi perempuan yang harus kita perjuangkan bersama.
Lalu pada bagian kedua tentang Tantangan Politik Perempuan. Terutama bagaimana agama seringkali menjadi alat untuk mengekang dan membatasi peran perempuan, baik di ruang domestik dan publik. Sedangkan pada bab ketiga, tentang agenda politik perempuan.
Penulis mencatatkan betapa masih banyak kerja-kerja kemanusiaan perempuan yang harus kita lakukan. Baik secara kultural dengan membangun kesadaran dan menyamakan persepsi. Selain itu, juga dengan struktural yakni melalui advokasi kebijakan publik.
Dengan demikian, penulis dalam kata akhir pengantarnya menegaskan bahwa aktivitas politik menjadi niscaya sebagai medan jihad kontemporer. Yakni untuk memastikan kelompok-kelompok yang termarjinalkan bisa terbebas dari ketimpangan dan ketidakadilan.
Orang-orang yang memiliki mimpi “keadilan sosial” tidak bisa hanya bergerak pada ranah intelektual, wacana akademis, atau advokasi kesadaran masyarakat semata. Harus ada gerakan riil di ranah politik untuk memegang dan memastikan “kendali” kebijakan mengarah pada jalan pembebasan kelompok marjinal.
Jika tidak, maka sumber daya Negara hanya akan dikuasai oleh sekelompok orang yang serakah. Di mana mereka hanya mementingkan diri atau kelompoknya masing-masing. Saatnya kendali dunia politik oleh orang-orang yang mempunyai komitmen kuat pada kelahiran keadilan sosial. Dan KUPI melalui seluruh elemen gerakan serta jaringannya tengah memperkuat komitmen itu, semoga! []