• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah

Menilik Santri Mengaji dan Mengabdi di Pesantren

Konteks ngaji rasa pun masuk dalam ketiganya, yakni santri, pengurus, dan pengasuh bisa saling memahami dan peka terhadap kondisi sesama di lingkungannya

Shella Carissa Shella Carissa
05/11/2021
in Khazanah, Rekomendasi
0
Santri

Santri

324
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Mengaji dan mengabdi merupakan dua kata kerja yang berbeda baik secara konotasi maupun konsep pelaksanaannya. Namun ternyata jika dirinci, dibalik perbedaan itu ada prinsip yang saling berkaitan. Oleh karena itu, yang akan dibahas di sini adalah “Mengabdi dan Mengaji”, dengan kata sambung “dan”, bukan “Mengaji sambil Mengabdi” atau “Mengabdi sambil Mengaji” dengan kata pengikut “sambil”.

Karena dalam ketiganya mempunyai pembahasan masing-masing yang jelas sangat jauh jalurnya jika diperdalami lagi. Alasannya, dengan kata sambung “dan” itu memperjelas bahwa kedua kalimat memiliki makna kesalingan dan beriringan. Berbeda jika menggunakan kata pengikut “sambil”, seolah-olah menunjukan lebih mengunggulkan mengaji dan menjadikan mengabdi sebagai sampingan, atau lebih mengunggulkan mengabdi dan menjadikan mengaji sebagai sampingan pula.

Mengaji, sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya adalah sebuah kegiatan belajar al-Qur’an dan kitab kuning di tempat-tempat yang identik atau biasanya digunakan untuk menimba ilmu agama seperti pesantren dan madrasah, juga tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushala, surau, dll.

Dalam mengaji, yang lebih akrab dengan interaksi antara guru dan muridnya itu, ternyata mengandung makna pengabdian di dalamnya. Sebagai contoh, ketika seorang santri_yang terkadang dihinggapi rasa malas dan enggan mengaji_mengantusiaskan dirinya untuk mengaji serta melawan egonya sehingga bisa menghadiri pengajian gurunya, itu termasuk dalam kategori mengabdi.

Seorang santri tersebut mengabdi dengan menjunjung hak-hak gurunya sebagai pengajar dan sadar akan dirinya yang seorang pelajar. Mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru, menghormati, berlaku sopan, berkata baik, dan tidak menyakiti guru juga merupakan sebuah pengabdian murid terhadap gurunya.

Baca Juga:

Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

Kasus Pelecehan Guru terhadap Siswi di Cirebon: Ketika Ruang Belajar Menjadi Ruang Kekerasan

Filosofi Santri sebagai Pewaris Ulama: Implementasi Nilai Islam dalam Kehidupan Sosial

Adapun seorang guru, dalam mengaji juga sudah menerapkan pengabdian kepada muridnya, bahkan lebih besar lagi. Seorang guru rela membagi waktu, tenaga serta ilmunya hanya untuk mengajari muridnya. Guru juga mengabdi kepada muridnya dengan kesabaran dan ketelatenan supaya murid paham akan pengajarannya. Dengan begitu bisa disimpulkan bahwasanya ada timbal-balik pengabdian guru dan murid dalam konsep mengaji.

Namun rupanya, menurut Ibunda Ny. Hj. Awanillah Amva, mengaji bukan soal belajar al-Qur’an, kitab kuning dan ilmu agama saja, melainkan juga belajar memahami kondisi bathin maupun dhohir seseorang yang kemudian disebut “Ngaji Rasa”.

Dalam hal ini, mengaji lebih difokuskan kepada belajar mengerti keadaan seseorang, memiliki rasa prihatin dan peka terhadap apa yang tengah dialami oleh orang lain. Sehingga kita bisa menjadi manusia yang enggan menyakiti, tidak berbuat semena-mena juga lebih perhatian kepada orang lain.

Selain itu, dalam ngaji rasa kepada orang lain juga erat pada ngaji rasa dengan diri sendiri. Dengan ngaji rasa kepada diri sendiri, kita bisa lebih mengesampingkan ego pada hal-hal yang sekiranya tidak baik untuk diri kita dan berimbas pada lingkungan kita. Pada hal demikian, kita sudah bisa disebut sebagai abdi rasa. Maksudnya mengabdi kepada segala sesuatu yang menyangkut perasaan untuk mencipta kenyamanan baik pada diri kita maupun orang lain, serta mau berbaur dengan sesama, atasan, maupun bawahan melalui sifat ke-“rasa”-an kita.

Selanjutnya mengabdi. Mengabdi yang lebih erat kaitannya dengan mematuhi perintah atasan agar tercipta keteraturan dalam lingkaran yang dijadikan abdiannya seperti sebuah organisasi, dalam dunia pesantren sangkut pautnya lebih tertuju kepada agar bertambahnya kebaikan yang disebut dengan barokah. Barokah tersebut, pada kebanyakan santri lebih tertuju kepada “ngalap barakah” oleh seseorang yang lebih tinggi maqamnya seperti seorang kyai atau nyai.

Mayoritas santri mengabdikan dirinya kepada keluarga pengasuh dengan menjadi abdi dalem disertai harapan bisa memperoleh barakah dari pengasuhnya. Sekalipun begitu, seseorang yang mengabdi tersebut tidak hanya lurus kepada pengabdiannya saja, juga pada barokah yang didapat dari mengabdi kepada pengasuh saja, akan tetapi dalam konsep mengabdi tersebut juga ada mengaji di dalamnya dan dalam ngalap barokah tersebut bisa didapat di mana saja dan dari siapa saja.

Seperti yang sering digaungkan oleh Ibunda Ny. Hj. Masriyah Amva, bahwa ketika kita bekerja_baik bekerja untuk keluarga pengasuh maupun bekerja kepada pesantren_itu ada ilmunya. Maksud dari ada ilmunya tersebut, menunjukan bagi yang belum bisa hendaknya mau belajar, dan bagi yang bisa hendaknya mau mengajarkan kepada yang belum bisa, yang kemudian dalam lingkup pesantren, seperti kata Ibu Masriyah juga disebut dengan mengaji ketika mengabdi.

Kemudian dalam mengabdi tersebut, kita juga bisa dikatakan mengaji jika kita mau belajar bekerja sesuai ilmunya. Kita juga disebut sebagai orang yang ngaji rasa ketika kita bekerja disertai rasa ikhlas, tulus dan mengutamakan kenyamanan atasan kita atau orang yang menyuruh kita. Kendati demikian, ternyata bisa dipahami bahwa mengaji bukan soal belajar saja, tapi juga segala sesuatu yang sangkut pautnya dengan ilmu yang bermanfaat dan mau mempelajari ilmu apa saja, termasuk ilmu bekerja.

Pengabdian, jika dijabarkan tidak melulu tentang pengabdian bawahan kepada atasan, akan tetapi juga mencakup pengabdian atasan terhadap bawahan. Bisa ditilik pada budaya pesantren, yang pada umumnya seorang santri cenderung mematuhi peraturan atasan, seperti pengurus dan pengasuh, di sana juga ikut andil pengabdian pengurus dan pengasuh.

Dapat dilihat dari upaya pengurus yang memikirkan berbagai persoalan di pondok demi terciptanya kelancaran kegiatan, tidak terlalu banyak masalah, juga ikut menanggulangi berbagai perkara merugikan yang sudah terjadi, misalnya seperti mogok mengaji, piket yang lambat pelaksanaannya, dan beberapa kegiatan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sementara pengasuh, dengan rasa welas asihnya mengorbankan jiwa raga juga hartanya untuk pesantren yang menjadi tanggung jawab mereka. Para pengasuh juga seperti sudah lumrah mencurahkan waktunya hanya untuk kebaikan para santrinya. Mereka juga tidak hanya condong kepada santri saja, melainkan sebagai tokoh masyarakat dengan pengetahuan agama yang tidak diragukan lagi, juga ikut mendoakan dan ikut berperan penting dalam kemaslahatan masyarakat serta umat.

Oleh karena itu, jelas sudah betapa besarnya pengabdian yang mereka berikan untuk santri, masyarakat, juga umat sekalian. Kesemuanya mengemban makna mengaji, kepatuhan santri kepada pengurus dan pengasuh, menuntut mereka untuk lebih mempelajari banyak hal, dan pemberian pengurus maupun pengasuh kepada santrinya, yang kemudian diakui sebagai bentuk pengabdian mereka, juga menjadikan mereka sebagai contoh yang menyalurkan beberapa pengetahuan mereka dalam banyak hal.

Konteks ngaji rasa pun masuk dalam ketiganya, yakni santri, pengurus, dan pengasuh bisa saling memahami dan peka terhadap kondisi sesama di lingkungannya.

Selain itu juga ada prinsip barokah dalam mengabdi. Prinsip barokah ini masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya. Yang mana, santri ngalapbarokah atau menambah kebaikan dengan pengabdiannya terhadap pengurus dan pengasuhnya, pengurus bertambah kebaikan atau mendapat barokah atas pengabdiannya kepada santri dan pengasuhnya, dan pengasuh bertambah kebaikannya_bahkan lebih banyak lagi_atas pengorbanannya atau pengabdiannya terhadap santri-santrinya.

Dalam pembahasan ini, sekalipun mengaji lebih melibatkan akal dan ngaji rasa lebih melibatkan perasaan, keduanya merucut kepada satu prinsip, yaitu belajar. Dan pada keduanya mengandung juga pengabdian. Sama halnya juga dengan pengabdian, baik bawahan kepada atasan maupun atasan kepada bawahan, semuanya tertuju pada prinsip mengharap barokah atau bertambahnya kebaikan dan sama-sama mengandung konsep mengaji.

Pada intinya, menurut hemat penulis kedua konsep dari pembahasan tadi, yakni mengaji dan mengabdi, sekalipun tampak jelas banyak perbedaannya, namun mempunyai kesalingan, keterikatan dan keterkaitan antar satu dan yang lainnya. Seperti halnya sebuah kalung dengan bandulnya, semuanya saling melingkar dengan tertumpu pada satu tujuan, yaitu kebaikan dan kemanfaatan bersama. []

Tags: guruHari Santri NasionalMengajiPondok PesantrenSantri
Shella Carissa

Shella Carissa

Masih menempuh pendidikan Agama di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy dan Sarjana Ma'had Aly Kebon Jambu. Penikmat musik inggris. Menyukai kajian feminis, politik, filsafat dan yang paling utama ngaji nahwu-shorof, terkhusus ngaji al-Qur'an. Heu.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Boys Don’t Cry

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID