• Login
  • Register
Sabtu, 1 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Pandangan Hidup dan Kepribadian Kiai-Santri: Belajar dari KH Hasyim Asy’ari (1)

Seorang santri seringkali dikatakan sebagai thalib al-‘ilm (seorang pencari ilmu), mencari guru yang paling masyhur dalam berbagai cabang pengetahuan Islam

Zahra Amin Zahra Amin
09/10/2021
in Hikmah
1
Lingkar Ngaji

Lingkar Ngaji

155
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Islam mengajarkan bahwa pelajaran atau kewajiban mencari ilmu tidak ada ujung akhirnya. Sebagai akibat dari ajaran-ajaran ini maka salah satu aspek penting dalam sistem pendidikan pesantren ialah tekanan pada murid-muridnya untuk terus menerus berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain.

Seorang santri seringkali dikatakan sebagai thalib al-‘ilm (seorang pencari ilmu), mencari guru yang paling masyhur dalam berbagai cabang pengetahuan Islam. Dengan demikian pengembaraan merupakan ciri utama kehidupan pengetahuan di pesantren dan menyumbangkan terbangunnya kesatuan (homogenitas) sistem pendidikan pesantren, serta merupakan stimulasi bagi kegiatan dan kemajuan ilmu.

Sedangkan pengertian santri yang dipakai dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kiai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren untuk mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Oleh karena itu, santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren.

Berdasarkan penjelasan Zamakshary Dhofier dalam bukunya “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia”. Pertama, santri mukim, yakni murid-mudir yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memang bertanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari.

Mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Kedua, santri kalong. Yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik (nglaju) dari rumahnya sendiri.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam
  • Ngaji Rumi: Patah Hati Dengan Dunia, Puasa Sebagai Obatnya
  • Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad
  • Tubuh sebagai Kendaraan Jiwa dalam Perspektif Imam al-Ghazali

Baca Juga:

Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam

Ngaji Rumi: Patah Hati Dengan Dunia, Puasa Sebagai Obatnya

Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad

Tubuh sebagai Kendaraan Jiwa dalam Perspektif Imam al-Ghazali

Sementara untuk pengertian kyai, menurut asal-usulnya, kata “kyai” dipakai untuk ketiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, seperti “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.

Selain gelar kyai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya). Lalu seorang yang alim ini, di kalangan umat Islam disebut pula ulama. Di Jawa Barat disebut ajengan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ulama yang memimpin pesantren disebut Kyai.

Namun di zaman sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat mendapat gelar “kyai” meski mereka tidak memimpin pesantren. Jika melihat penjelasan tersebut, maka Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari, masuk dalam pengertian tersebut. Beliau adalah pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang, pendiri Nahdlatul Ulama, sosoknya merupakan seorang guru paripurna.

Ribuan santri beliau didik, dan ratusan dari mereka menjadi ulama atau kiai, pendiri pondok pesantren, atau menjadi tokoh-tokoh umat Islam. Ini belum termasuk santri-santrinya yang terbilang mustami’ (pendengar setia sang guru), ngaji sekilas kepada beliau, jejer pandito dalam waktu singkat atau yang hanya sekedar minta doa dan obat kepada beliau.

KH Hasyim Asy’ari merupakan pribadi yang cakap dalam hal menulis, Ia telah menulis beberapa kitab dalam berbagai macam disiplin ilmu. Salah satu kitab yang sampai saat ini masih dipelajari di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia adalah kitab Adāb al ‘Ᾱlim wa al Muta‘allim. Kitab tersebut selesai disusun pada hari Ahad, 22 Jumadil al-Tsani tahun 1343 H/ 1924 M.

Kitab ini berisikan pandangan-pandangan Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Seorang ulama atau ilmuwan dalam menulis sebuah kitab atau karangan bukan tanpa alasan. Pasti terdapat sebab yang melatar belakangi sebuah penulisan tersebut.

Penulisan kitab Adāb al ‘Ᾱlim wa al Muta‘allim bisa jadi di dorong oleh situasi kondisi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru modern akibat dari pengaruh sistem pendidikan barat yang diterapkan di Indonesia.

Mencermati isi dari kitab Adab Alim wal Muta’allim akan tampak bagi kita bahwa Kiai Hasyim Asy’ari banyak dipengaruhi oleh pemikiran etika Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Pengaruh tersebut kiranya sangat terlihat seperti dalam pernyataan Kiai Hasyim Asy’ari dalam kitab ini: Pertama bahwa keutamaan ilmu hanya akan didapatkan oleh seorang yang belajar dengan tujuan meraih keridhaan, dan kemuliaan di sisi Allah. Dan bukan karena tujuan duniawi.

Kedua bahwa seseorang yang sedang dalam kondisi belajar harus sederhana dalam gaya hidupnya yang ditunjukkan dengan makan dan berpakaian sederhana. Hal ini koheren dengan apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali dalam kitab Mauidhah Al-Mu’minin yang mengatakan: “Ilmu adalah pengabdian terbaik. Dan adalah baik jika seseorang telah merasa cukup dalam hidupnya hanya dengan mendedikasikan dirinya pada ilmu.”

Secara umum, dapat dikatakan bahwa pemikiran pendidikan Kiai Hasyim Asy’ari masih mempertahankan kebudayaan, dan ideologi pendidikan Islam yang mengutamakan kecintaan, kemuliaan ilmu, dan sumbernya. Kiai Hasyim Asy’ari mengatakan dalam bab ketiga: “Seyogianya seorang murid memikirkan secara mendalam dan beristikharah terlebih dahulu, kepada siapa ia akan mencari lmu (belajar)….”.

Kiranya hal ini semakin relevan untuk diterapkan saat ini di era teknologi media digital di mana banyak orang dibingungkan dengan berbagai ajaran agama, dan hanya belajar via media sosial, youtube dan sebagainya. (Bersambung)

 

 

 

 

Tags: HikmahKH Hasyim Asy'arikiaiPondok PesantrenSantri
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

kerja rumah tangga

Nabi Muhammad Saw Biasa Melakukan Kerja-kerja Rumah Tangga

1 April 2023
Pekerjaan rumah tangga suami istri

Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri

1 April 2023
Rumah Tangga

Hadis Relasi Rumah Tangga

31 Maret 2023
Kemaslahatan Pernikahan

Dalam Ralasi Pernikahan Suami Istri Harus Saling Memberikan Kemaslahatan

31 Maret 2023
Relasi Pernikahan

Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh

31 Maret 2023
Hadis pernikahan

Memaknai Kembali Hadis-hadis Pernikahan

31 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Melestarikan Tradisi Nyadran

    Gerakan Perempuan Melestarikan Tradisi Nyadran

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hadis Relasi Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Nabi Muhammad Saw Biasa Melakukan Kerja-kerja Rumah Tangga
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan
  • Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri
  • Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist