Mubadalah.id – Judul di atas merupakan tema yang saya pinjam dari tema diskusi yang akan terselenggara oleh Institusi Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, pada besok, Rabu, 12 Juni 2024. Rektor dari kampus ini sendiri adalah Marzuki Wahid, salah seorang intelektual NU yang telah malang-melintang menjadi pengurus di jajaran PBNU.
Oleh karenanya, diskusi soal tambang ini menjadi penting, apalagi narasumber tunggal yang akan hadir adalah Jamaludin Muhammad. Dia juga salah seorang intelektual NU yang terkenal kritis, aktivis LSM dan komisioner Baznas di daerahnya. Diskusi ini saya pikir menyimpan banyak pertanyaan bernada “harap-harap cemas.”
Judul diskusi ini lain urusan kalau bunyinya “Menolak Tambang yang Menzalimi Rakyat.” Diski “menimbang” sebetulnya berkecenderungan untuk “menerima”, apapun alibinya. Tentu saja ini sejarah, sekaligus “ujian” baru bagi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah kepemimpinan KH. Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya.
Kalau dicermati dari gaya bicara dan kepemimpinannya sudah bisa kita katakan 99,9% PBNU akan menerima tambang, sebagaimana telah disampaikan Gus Yahya dalam berbagai kesempatan, bahwa PBNU sangat membutuhkan biaya operasional dakwah yang banyak. Tidak akan ada satu orang pun yang akan berani menentang keputusan Gus Yahya dan PBNU.
Padahal, sebagaimana kita tahu ada banyak Ormas keagamaan yang langsung menolaknya. Tidak lain karena ekplorasi tambang di negeri ini justru menjadi ajang eksploitasi para oligarki. Di sinilah lumbung kezaliman terbesar yang selama ini menyengsarakan rakyat.
Karenanya, saya khawatir diskusi ISIF ini justru akan melegitimasi pengelolaan tambang oleh PBNU dengan alibi kemaslahatan rakyat. Bersamaan dengan ini saya mendapatkan informasi bahwa PP Muhammadiyah justru akan menolak legalitas pengelolaan tambang dari negara.
PBNU Harusnya Menolak Tambang
Terlalu banyak hal untuk kemudian PBNU mestinya harus menolak tambang. Seandainya PP Muhammadiyah yang menjadi trendsetter, justru saya masih mencoba berbaik sangka, oleh sebab PP Muhammadiyah telah mampu memberdayakan dan memandirikan organisasinya sendiri.
Entah berapa banyak rumah sakit, hotel, lembaga pendidikan, tanah wakaf, gudang bulog dan berbagai unit pemberdayaan lainnya yang telah dikelola dengan baik. Tidak aneh jika PP Muhammadiyah memiliki aset besar organisasi. Namun, karena kemampuan memberdayakan dan memandirikan organisasi secara mandiri itulah menyatakan penolakan terhadap tambang menjadi keputusan yang sangat mulia dan berwibawa.
Padahal lagi kalau menyadari, PBNU selain PP Muhammadiyah ini Ormas Islam yang sangat jauh lebih kaya dari pada negara ini sendiri. PBNU, PP Muhammadiyah dan umumnya Ormas keagamaan mempunyai kewenangan untuk “mengelola” seluruh kekayaan yang terkandung di dalam negeri ini, bukan hanya tambang.
PBNU bisa dengan leluasa “menggertak” Pemerintah semaunya, karena basis masanya terbesar di Indonesia. Mestinya Pemerintah yang “nurut” terhadap PBNU, bukan sebaliknya. Mestinya lagi, jabatan Ketua Umum PBNU dan apalagi Rais Am PBNU jauh lebih terhormat dan tinggi ketimbang Presiden.
Saya pikir, organisasi sosial seperti WALHI dan lainnya sudah cukup memberikan penegasan bahwa sebaiknya PBNU tidak perlu menerima tambang. Namun, sebagaimana kita pahami, nasi telah menjadi bubur. Dengan wataknya yang keras, Gus Yahya sudah keukeuh menerima.
Apalagi kalau melihat pengalaman PBNU atas penyelenggaraan Pilpres 2024 kemarin, kemudian Erick Thohir yang “ujug-ujug” didaulat menjadi Ketua Lakpesdam PBNU, sejumlah pemecatan struktural pengurus NU di daerah, dan masih banyak lagi, ya begitu adanya gaya kepemimpinan Gus Yahya.
Sejarah Panjang NU
Pertanyaan saya tertuju pada warga Nahdliyin, terlebih kepada KH. Mustofa Bisri alias Gus Mus dan Mba Alissa Wahid? Gus, Mba, kalian sedang di mana? Bagaimana PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya? Bukankah Gus Mus seorang ulama yang kritis, pandai membuat puisi satire, dan pernyataan-pernyataan kerasnya terhadap siapapun yang berpotensi zalim.
Demikian juga Mba Alissa, bukankah kemarin saat Pilpres 2024, Mba sempat membuat Gerakan Hati Nurani Bangsa, sudah terbiasa mengadvokasi rakyat atas kezaliman penguasa. Kali ini praktik kezaliman sudah bukan rahasia lagi, dilakukan secara terang-terangan dan melibatkan otoritas keagamaan. Kalau Gus Mus dan Mba Alissa mau menolak keras, saya ikut Gus, Mba!
Di sinilah wibawa dan sejarah panjang NU dipertaruhkan. Pengalaman pahit NU melawan kezaliman penguasa selama ini, inspirasi Gus Dur atas penegakkan demokrasi dan sumber daya manusia kritis yang NU miliki akankah pupus hanya karena tambang? Lalu, apakah masih ada tirakat, kewalian, dan hal-hal spiritualitas lainnya di antara para Kiai NU? Atau jangan-jangan selama ini? Ah sudahlah. []