• Login
  • Register
Rabu, 29 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menjaga NKRI dalam Perspektif KUPI

KUPI memandang bahwa implementasi ayat-ayat suci al-Qur’an tentang kebangsaan dan kenegaraan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, QS. Sabâ’, 34: 15) adalah justru termaktub dan inherent dalam ayat-ayat Konstitusi Republik Indonesia

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
17/02/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Menjaga NKRI

Menjaga NKRI

596
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bentuk kesepakatan sosial segenap bangsa Indonesia dan komitmen bersama untuk menerjemahkan visi keagamaan, kemanusiaan, dan keadilan sosial dalam sistem sosial politik yang lebih kongkrit. Kesepakatan ini, dalam Islam, adalah amanah yang harus kita jaga, dirawat, dan ditunaikan semua pihak, termasuk umat Islam.

Bagi Umat Islam Indonesia, kesepakatan sosial ini sering disebut sebagai mu’ahadah wathaniyyah, atau konsensus kebangsaan. Menjaga kesepakatan ini penting, melalui Konstitusi dan perundang-undangan, untuk memastikan setiap orang dihormati kemanusiaannya, terpenuhi hak-haknya, tidak terzalimi, dan tidak ada kerusakan di muka bumi. 

Daftar Isi

    • Menjaga NKRI adalah Islami
  • Baca Juga:
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI
  • Asy-Syifa Binti Abdullah: Ilmuwan Perempuan Pertama dan Kepala Pasar Madinah
  • Nalar Kritis Muslimah: Menghadirkan Islam yang Ramah Perempuan
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan
    • Trilogi Ukhuwwah
    • Mengamalkan Konstitusi dalam Perspektif KUPI
    • Islam Haramkan Kekerasan

Menjaga NKRI adalah Islami

Beberapa ulama Indonesia memandang NKRI sebagai dar al-mitsaq, atau negara kesepakatan. Yang lain memandangnya dari sisi fungsi sebagai dar al-amn wa as-salam, atau negara untuk menjamin keamanan dan perdamaian. Perspektif politik kebangsaan dari sudut Islam seperti ini selaras dengan tuntunan al-Qur’an yang menegaskan pentingnya menjaga kontrak dan kesepakatan. Terutama yang dapat menjaga keamanan, perdamaian, dan kebaikan-kebaikan bersama (QS. al-Ma’idah, 5: 1; an-Nisa’, 4: 90 dan 114; al-Anfal, 8: 61).

Atas dasar kesepakatan dan fungsinya sebagai rumah keimanan, keamanan, dan kebaikan-kebaikan, para ulama Indonesia memandang penting merawat kecintaan pada NKRI dan melindunginya dari segala ancaman. Karena itu, cinta Tanah Air adalah prasyarat kesempurnaan iman seseorang. Atau implementasi dari cinta tanah air adalah bagian dari kerja-kerja keimanan dan amal salih. Karena tanah air adalah rumah di mana semua praktik beriman dan beribadah menjadi ada, maka mencintai dan merawat tanah air adalah bagian dari praktik keimanan dan ibadah itu sendiri.

Untuk mengukuhkan perspektif kebangsaan ini, para ulama Indonesia mengembangkan narasi tiga persaudaraan (ukhuwwah) untuk menguatkan relasi antar warga bangsa Indonesia. Yaitu persaudaran satu agama (ukhuwwah islâmiyyah) sekalipun berbeda aliran dan mazhab, persaudaraan satu bangsa (ukhuwwah wathaniyyah) sekalipun berbeda suku dan agama, dan persaudaraan satu manusia (ukhuwwah insâniyyah) sekalipun berbeda bangsa dan negara.

Baca Juga:

Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

Asy-Syifa Binti Abdullah: Ilmuwan Perempuan Pertama dan Kepala Pasar Madinah

Nalar Kritis Muslimah: Menghadirkan Islam yang Ramah Perempuan

Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

Trilogi Ukhuwwah

Narasi trilogi ukhuwwah ini memudahkan visi Islam rahmatan lil ‘âlamîn dan akhlâq karîmah bisa lebih mudah tumbuh secara sempurna. Karena kita hidup dalam relasi persaudaraan dengan sebanyak mungkin orang. Dari berbagai suku, agama, bangsa, dan negara (Lihat rujukan haditsnya pada: Sahih Muslim, no. 6778; Musnad Ahmad, no. 1408, 16130, dan 23071; serta Sahih Bukhari, no. 480).

Dengan demikian, narasi persaudaraan ini tidak saja penting untuk menjaga eksistensi NKRI. Tetapi juga memastikannya memberikan kemaslahatan bagi segenap warganya dari berbagai latar belakang. Narasi ini menjadi perspektif kebangsaan yang dapat menyatukan dan menguatkan dalam menghadapi berbagi konflik anak-anak bangsa berlatar belakang etnis, ras, suku, politik, dan termasuk agama.

Faktor-faktor konflik ini, ke depan, akan semakin subur. Baik yang bersifat internal karena pembangunan yang belum merata, kemiskinan, dan korupsi, maupun eksternal berupa ideologi transnasional dan globalisasi. Apalagi ditambah pengungkit dari dalam, berupa tafsir-tafsir keagamaan dan norma-norma kultural yang intoleran dan destruktif.

Kekerasan atas nama agama yang juga subur di berbagai negara, termasuk di Indonesia, tentu saja mengancam ketahanan NKRI. Di mana oleh tuntunan Islam harus kita jaga, dirawat, dan dilindungi. Dalam konteks sosial politik, ekspresi dari ekstrimisme ini bisa mulai dengan merasa benar sendiri; ekslusif dan tertutup dari yang lain. Seperti tidak bersedia bertetangga, berteman, dan atau bekerjasama sosial dan kemanusiaan dengan yang berbeda agama.

Lalu melakukan pernyataan dan tindakan yang intoleran terhadap yang berbeda keyakinan; dan terakhir melakukan kekerasan, baik dengan atau tanpa senjata. Tindakan-tindakan ekstrimisme ini, dalam perspektif politik kebangsaan di atas, adalah bertentangan dengan prinsip kesepakatan sosial yang menjadi bagian dari keimanan dan keislaman.

Mengamalkan Konstitusi dalam Perspektif KUPI

Bagi KUPI, sebagaimana tergambar dalam keputusannya di Kongres pertama di Cirebon, dengan logika keimanan dan kontrak sosial yang ditawarkan para ulama Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia menjadi bagian dari sumber pengetahuan, pandangan, dan sikap keagamaan dalam isu-isu relasi kebangsaan antara warga negara. KUPI tidak mempertentangkan ayat-ayat konstitusi dengan ayat-ayat suci.

Tidak juga meletakkannya di atas atau di bawah. Melainkan, KUPI memandang bahwa implementasi ayat-ayat suci al-Qur’an tentang kebangsaan dan kenegaraan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, QS. Sabâ’, 34: 15) adalah justru termaktub dan inherent dalam ayat-ayat Konstitusi Republik Indonesia.

Ayat-ayat tentang prinsip keadilan, kebaikan, relasi berkeluarga, dan bermasyarakat sangat terbuka lebar untuk dipraktikkan dalam konteks Negara Republik Indonesia. Bahkan pengamalan semua rukun Islam yang lima (syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji), peringatan hari-hari besar Islam, pengembangan pendidikan Islam, pengembangan institusi ekonomi Islam, dan banyak lagi yang terjamin Konstitusi. Bahkan terfasilitasi secara kuat oleh negara (Abdul Kodir, 2021).

Mengamalkan Konstitusi adalah mengamalkan ayat-ayat suci pada konteks negara Indonesia. Menurut Syekh Muhammad Habasy, ulama dari Syria, bahwa konstitusi negara Islam seperti Indonesia adalah termasuk perkembangan fikih kontemporer dalam isu sosial, sehingga tidak perlu kita pertentangkan satu dengan yang lain (Habasy, 2021: 4). Apalagi pada praktiknya, gerakan dan tindakan yang mendelegitimasi Konstitusi dengan asumsi melawan ayat-ayat suci akan menjadi pintu perpecahan, konflik sosial, intoleransi, dan kekerasan yang bisa saja memicu perang sipil.

Islam Haramkan Kekerasan

Tindakan ini justru merupakan delegitimasi nyata terhadap ayat-ayat suci itu sendiri. Karena al-Qur’an justru menuntut adanya keamanan, perdamaian dan kebaikan di muka bumi, serta menjaganya dari segala bentuk kerusakan (QS. al-Baqarah, 2: 126; QS. Ali Imran, 3: 103, 104, 110, dan 114; QS. al-A’raf, 7: 56, dan 85; QS. At-Taubah, 9: 67-71; dan QS. Hud, 11: 117).

Islam mengharamkan kekerasan dalam segala bentuknya. Baik verbal maupun fisik (QS. al-Hujurat, 49: 11-12). Islam juga melarang melakukan penghinaan terhadap agama lain (QS. al-An’am, 6: 108). Dalam rangka saddud dzari’ah (menutup jalan yang mengarah pada keburukan). Apalagi, jika konflik dan perang sipil ini terjadi, sendi-sendi keimanan dan keislaman akan hancur. Lalu kita akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan fondasi ketauhidan, visi kerahmatan, dan misi kemaslahatan yang telah Islam amantkan.

Karena itu, bagi KUPI, melindungi dan menjaga NKRI adalah melindungi ajaran-ajaran dasar Islam mengenai kesepakatan sosial untuk hidup aman, damai, dan dapat beribadah, serta beramal salih secara baik. Begitupun mengamalkan Konstitusi Republik Indonesia, yaitu UUD 1945 adalah sesungguhnya mengamalkan ajaran-ajaran dasar Islam mengenai kehidupan sosial untuk memenuhi hak-hak dasar seluruh warga negara, termasuk umat Islam Indonesia. Wallahu a’lam. []

Tags: Fatwa KUPIIndonesiaKupiNKRIPerspektif KUPIulama perempuan
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir, biasa disapa Kang Faqih adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun, salah satu wakil ketua Yayasan Fahmina, dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan ISIF Cirebon. Saat ini dipercaya menjadi Sekretaris ALIMAT, Gerakan keadilan keluarga Indonesia perspektif Islam.

Terkait Posts

Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

28 Maret 2023
Tradisi di Bulan Ramadan

Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

28 Maret 2023
Flexing Ibadah

Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Akhlak dan perilaku yang baik

Pentingnya Memiliki Akhlak dan Perilaku yang Baik Kepada Semua Umat Manusia

26 Maret 2023
kitab Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

26 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sittin al-‘Adliyah

    Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Pada Awalnya Asing

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist