• Login
  • Register
Selasa, 21 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Menyoal Budaya Nikah Suku Sasak (1): Kebebasan ‘Mencuri’ Sepupu Jalur Ayah

Urusan pernikahan, agama melarang keras terjadi pemaksaan di sana. Sebab, hal itu dapat merusak misi Tuhan di muka bumi ini. Yaitu menciptakan kedamaian, kerukunan dan kenyamanan hidup

Ahmad Dirgahayu Hidayat Ahmad Dirgahayu Hidayat
10/12/2021
in Keluarga, Rekomendasi
0
Pernikahan

Pernikahan

195
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebagaimana telah jamak diketahui, suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, memiliki budaya dan tradisi pernikahan yang jauh berbeda dengan suku-suku di tempat lain. Saat tradisi di tempat lain umumnya menggunakan lamaran sebelum nikah, maka suku Sasak menggunakan tradisi ‘mencuri’.

Tradisi ini nyaris sudah dikenal masyarakat manapun di Indonesia. Bukan hal baru lagi bagi mereka. Tapi, pengetahuan teman-teman luar Sasak itu tak ubahnya bagai melihat rumah dari bagian luarnya. Hanya tahu bahwa itu rumah, tidak lebih. Berbeda dengan taman-teman suku Sasak yang mengerti sampai seluk-beluknya.

Tradisi ‘mencuri’ di Lombok tak hanya tentang keragaman masyarakat kita, tentang kekayaan budaya yang telah dicekoki sejak lama bahwa itu merupakan sebuah keindahan. Tak hanya itu. Bahkan, jika diamati lebih dalam, kita akan temukan satu sistem yang cukup meresahkan. Terutama bagi para perempuan. Hebatnya, mereka mampu menyembunyikannya serapi mungkin. Konstruk budaya telah memaksa perempuan-perempuan Sasak harus tersenyum.

Di Lombok, ada satu tradisi pernikahan yang dipegang kuat hingga hari ini. Yaitu tentang kebebasan ‘mencuri’ sepupu perempuan dari jalur ayah (dalam bahasa Sasak disebut ‘Pruse’). Sebenarnya, tradisi mencuri pengantin perempuan, umumnya dilakukan atas kehendak dan kerelaan perempuan tersebut. Sehingga, dianggap kriminal bila melarikan anak orang tanpa persetujuan si anak.

Namun, berbeda dengan ‘mencuri’ pruse (bahkan, di beberapa daerah berlaku juga pada sepupu lewat jalur ibu yang disebut ‘Pisak’). Mereka para calon mempelai pria dan keluarga, berhak mengambil pruse atau pisak–nya secara paksa. Yang tak habis pikir, masyarakat suku Sasak mengantongi slogan yang cukup mengakar kuat sampai hari ini. Slogan itu berbunyi, Lamun pruse beu tejeuk lantong lasahn, “Kalau pruse itu bisa digotong bersama kasurnya”.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid
  • Poligami Bukan Tradisi yang Dilahirkan Islam
  • Membincang Perempuan Pemimpin, dan Pemimpin Perempuan
  • Ketika Mahasantriwa SUPI ISIF Belajar Keberagaman

Baca Juga:

Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

Poligami Bukan Tradisi yang Dilahirkan Islam

Membincang Perempuan Pemimpin, dan Pemimpin Perempuan

Ketika Mahasantriwa SUPI ISIF Belajar Keberagaman

Maknanya, bahwa hubungan sebagai pruse (sepupu melalui jalur ayah) antara kedua calon mempelai, membolehkan kesewenang-wenangan bagi pihak laki-laki untuk ‘mencuri’ paksa perempuan yang hendak dinikahinya. Walau harus dengan menggotong pruse itu bersama tempat tidurnya. Kalimat terakhir ini hanya metafora semata. Artinya, pihak laki-laki punya kuasa penuh untuk mengambil calon istrinya kapan saja, dalam kondisi apapun. Suka ataupun duka.

Problem besarnya juga-selain tentang pemaksaan nikah di atas-bahwa hal ini seolah mendapat pembiaran dari para tokoh agama. Kendati mungkin karena saya belum menanyainya secara khusus terkait ini. Tetapi setidaknya, saya tidak pernah mendengar seorang tokoh agama pun menyuarakannya.

Dan, rasanya ini cukup sebagai bukti atas dugaan saya itu. Walaupun saya harus menanggung keresahan batin atas prasangka buruk tersebut. Sehingga, berkali-kali saya mesti mengolah hati, bahwa bisa saja ini bukan sebuah pembiaran. Melainkan tentang metode dakwah yang diterapkan secara bertahap. Namun, saya kembali membatin, ‘Lalu, sampai kapan tradisi ini akan terus dipercayai benar oleh masyarakat awam?

Cukup banyak tragedi, juga kisah duka yang saya dengar dan saksikan lantaran pernikahan paksa semacam ini. Bahkan, tak sedikit tali kekeluargaan (antara pihak laki-laki dan perempuan) yang terputus dan tak akur lagi karena adat istiadat tersebut. Lalu pertanyaannya, bagaimanakah uraian agama lebih dalam terkait pemaksaan semacam ini?

Secara umum, agama tidak membenarkan adanya pemaksaan. Hatta dalam hal beragama. Sebagaimana pada penggalan surah al-Baqarah (256) yang berbunyi, La ikraha fiddin, “Tak perlu ada paksaan dalam beragama”. Karena sudah jelas mana yang benar dan yang tidak. Umat hanya tinggal memilih antara keduanya.

Legalisasi penerapan konsep pemaksaan, hanya berlaku di beberapa hal saja. Seperti urusan utang-piutang yang tak kunjung dibayarkan, mengambil hak zakat dari para hartawan yang enggan berzakat, ketok palu perceraian terhadap suami yang telah bersumpah tak menggauli istrinya (sumpah ilak) di samping ia tak berkenan menjatuhkan talak, dan seterusnya.

Adapun urusan pernikahan, agama melarang keras terjadi pemaksaan di sana. Sebab, hal itu dapat merusak misi Tuhan di muka bumi ini. Yaitu menciptakan kedamaian, kerukunan dan kenyamanan hidup. Tentu, untuk mewujudkannya dimulai dari keluarga yang harmonis. Mengingat, tatanan masyarakat yang baik tergantung pada baik dan tidaknya hubungan rumah tangga dalam masyarakat tersebut.

Kiai Faqihuddin Abdul Qadir dalam Manba’ussa’adah (hal. 18) mengatakan:

والإكراه في الزواج سواء إكراه الرجل أو المرأة يورث البغضاء والحقد وهو يتنافى بمقاصد النكاح ألا وهي السكينة والمودة والرحمة. ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إنّ في ذلك لآيات لقوم يتفكرون

Artinya, “Pemaksaan dalam urusan nikah, baik kepada laki-laki maupun perempuan, dapat menumbuhkan kebencian dan dendam, dan itu bertentangan dengan high politic sebuah pernikahan; sakinah, mawadah dan belaian kasih sayang. Allah Saw berfirman, ‘Dan, di antara tanda kebesaran-Nya, ialah saat Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan menjadikan kasih sayang di antara kalian. Sungguh, di sana terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi mereka yang berpikir’.”

Saya tertarik dengan logika berpikir Kang Faqih saat menafsiri surah al-Baqarah ayat (232) tentang teguran keras al-Qur’an kepada para wali nikah (bapak, kakek, dan seterusnya) yang enggan menikahkan putrinya yang telah usai menjalani masa idah setelah ditalak. Ayatnya berbunyi:

وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهنّ فلا تعضلوهنّ أن ينكحن أزواجهنّ إذا تراضوا بينهم بالمعروف

Artinya, “Dan, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu sampai idahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah lagi dengan calon suaminya, jika memang telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik…”

Poinnya, para wali nikah tidak boleh enggan menikahkan putri-putrinya-yang selesai menjalani idah-dengan calon pilihannya sendiri. Biarkan mereka menggenap lagi dengan siapa pun yang cocok menurut mereka. Jangan dihalang-halangi.

Lalu, bagaimana dengan para wali yang memaksa mereka menikah dengan orang yang tidak disukainya, atau bahkan dibencinya? Tentu lebih tidak boleh lagi. Dalam Ushul Fiqh, teori ini disebut mafhum muwafaqah dengan spesifikasi fahwa al-Khithab atau mafhum aulawi. Yaitu memaknai teks-teks agama (al-Qur’an maupun hadist) dengan pemaknaan yang tidak keluar dari maksud teks, bahkan membidik tujuan yang jauh lebih besar daripada bidikan teks tersebut.

Tujuan Allah dalam surah al-Baqarah (232) di atas, yaitu agar jangan sampai ada orang yang menghalangi misi-Nya dalam menebar kasih sayang dan kedamaian di persada ini melalui anugerah cinta yang diberikan kepada sepasang hamba-Nya. Jangan sampai terjadi.

Apalagi orang-orang yang berupaya merusak misi tersebut dengan cara memaksa putra-putrinya menikah dengan orang yang tidak ia cintai, bahkan dengan orang yang dibencinya. Singkatnya, menghalangi misi Tuhan saja tidak boleh, dilarang keras. Lebih lagi bila berani merusaknya. Na’udzubillah, semoga kita bukan termasuk sebagai penghalang dan perusak misi luhur itu. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []

Tags: BudayaIndonesiaNikahNusantaraSuku SasakTradisi
Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (Letih-Semangat Demi Hak Perempuan) di Lombok, NTB.

Terkait Posts

Peminggiran Peran Perempuan

Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

21 Maret 2023
Marital Rape

Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?

21 Maret 2023
Dinafkahi Istri

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

20 Maret 2023
Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Perempuan Harus Berpolitik

Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik

19 Maret 2023
Pembuktian Perempuan

Cerita tentang Raisa; Mimpi, Ambisi, dan Pembuktian Perempuan

18 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rethink Sampah

    Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan Juga Wajib Bekerja
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan
  • Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri
  • Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist