• Login
  • Register
Jumat, 23 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Muslimah Bukan Agen Moral: Menyoal Pakaian, Hukum Jilbab dan Tafsir Keagamaan

Kegelisahanku bukan persoalan tentang hukum jilbab dan tafsir keagamaan yang menyertai. Tetapi tentang bagaimana seseorang itu seharusnya memanusiakan manusia

Vevi Alfi Maghfiroh Vevi Alfi Maghfiroh
04/09/2023
in Personal
0
Hukum Jilbab

Hukum Jilbab

880
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Suatu hari ada yang mengirimiku pesan Direct Massage Instagram. Ia bercerita tentang kegelisahannya terkait aturan berjilbab saat nanti mengikuti seleksi, atau pada saat telah terpilih menjadi duta dalam sebuah ajang kontestasi.

Ia menyampaikan keinginannya untuk mendaftar. Namun di lain sisi ia khawatir tidak nyaman dengan aturan pakaian yang telah tim penyelenggara tentukan. Dari rangkaian pesan panjang tersebut, ia menanyakan saranku tentang apa yang harus ia pilih.

Setelah berpikir sejenak, aku menjawab pesan dan meyakinkannya untuk tetap maju mendaftar jika ia merasa mau dan mampu. Aku ingat betul pesan pamungkas yang kukirim padanya, “Jangan sampai aturan pakaian menjadi penghalangmu meraih apa yang kamu inginkan dan perjuangkan.”

Percakapan tersebut mengingatkanku dengan berbagai persoalan hukum jilbab yang akhir-akhir ini kudengar di berbagai media. Seperti yang baru-baru ini terjadi yang menimpa siswi di Lamongan, juga menimpa siswi di Cikampek. Di mana mereka mengalami diskriminasi hanya karena tidak berjilbab. Padahal kedua orang tuanya sebagai penganut penghayat kepercayaan.

Kegelisahanku bukan persoalan tentang hukum jilbab dan tafsir keagamaan yang menyertai. Tetapi tentang bagaimana seseorang itu seharusnya memanusiakan manusia. Yakni tidak merasa paling benar sendiri, dan menghargai pilihan orang lain tanpa ada paksaan yang menyakiti.

Baca Juga:

Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab

Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

Bolehkah Dokter Laki-laki Memasangkan Alat Kontrasepsi (IUD) kepada Perempuan?

Muslimah Bukan Agen Moral

Memotret kegelisahanku di atas, aku jadi teringat beberapa waktu lalu saat membaca buku terbaru Mba Maria Fauzi, Founder Neswa.id, yang berjudul ‘Muslimah Bukan Agen Moral.’ Di dalam pembahasan terkait penggalian penulis tentang ragam ekspresi kesalehan perempuan, aku ingat ada kalimat menarik dalam kata pengantarnya, tertulis:

‘Pakaian perempuan seringkali dijadikan standar moral dan religiusitasnya, bahkan dalam kehidupan sehari-hari perempuan dianggap menjadi penjaga moral bangsa, sehingga ia diatur sedemikian rupa dengan beragam aturan budaya dan penafsiran tentang agama.’

Dalam bukunya tersebut, Mbak Maria tidak mencoba mengulasnya dengan ragam penafsiran hukum jilbab para ulama. Tetapi lebih melihat pada realitas perempuan yang ada dan hidup di sekelilingnya.

Seperti kisah perempuan muslim yang tidak berjilbab namun mumpuni dalam pengetahuan keislaman. Seperti bisa mengaji, serta memiliki spiritualitas dan moral yang baik. Apakah lantas ia kita anggap sebagai bukan muslimah hanya karena tidak berjilbab?

Juga mengambil sudut pandang perempuan dan ibu-ibu di desa yang tidak berjilbab syar’i, sebagaimana perempuan kaum urban menengah ke atas. Di mana mereka bisa dengan mudah membeli dan memakai pakaian syar’i, karena tidak hidup dan tinggal di tempat dengan situasi kondisi yang sama.

Lagi-lagi pembahasan ini tidak menyoal hukum jilbab. Karena melihat segala sesuatu dengan kaca mata biner hanya akan mempersempit nilai ajaran agama sebagai rahmat bagi seluruh alam, rahmatan lil ‘alamin.

Mengutip istilah yang Mbak Maria sampaikan pada buku tersebut bahwa upaya penyeragaman cara beragama masyarakat, hanya akan menghasilkan agama yang gagal kita maknai secara menyeluruh. Dan kontruksi inilah yang kemudian menjauhkan nilai agama dengan realitas kehidupan masyarakat.

Potret Budaya Mengatur Tubuh dan Pikiran Perempuan

Sejenak aku juga menggali kembali ingatan dan pengalaman tentang bagaimana budaya yang kita ejawahtahkan melalui pendidikan. Lalu pengasuhan pun turut mengatur perempuan, bagaimana ia berpikir, dan bagaimana ia berpakaian.

Mungkin kita akan teringat bagaimana orang di sekeliling kita selalu mengatakan, ‘Jadi perempuan jangan grasa-grusu’. Atau ‘Yo mbok yo pakai baju yang sopan dan anggun, biar pantes.’

Entah tanpa kita sadari atau tidak, jika sesuatu itu kita katakan, dan kita lakukan berulang-ulang serta turun temurun, seakan-akan sesuatu itu menjadi hal yang normal. Normalisasi tentang pendidikan dan pengasuhan yang menuntut perempuan melakukan ‘ini’ dan ‘itu’ membuatnya lupa untuk menjadi diri sendiri yang utuh.

Chimanda Ngozi Adichie dalam bukunya ‘A Feminist Manifesto’ menyatakan tanpa masyarakat sadari, kita selalu menginvestasikan diri pada anak perempuan untuk menjadi ‘disukai.’ Perempuan sejak kecil telah kita besarkan dengan pandangan bahwa sikapnya yang menyenangkan itu sangat penting.

Orang-orang di sekeliling kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengajari anak perempuan agar mengkhawatirkan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka. Sementara anak laki-laki jarang, bahkan bisa jadi tidak pernah kita ajari untuk peduli tentang menjadi disukai dan menjaga diri.

Budaya kita bahkan dalam ceramah agama juga seringkali mengatur perempuan sedemikian rupa agar melakukan apa, harus menjadi seperti apa, dan tidak boleh memakai apa. Di mana perempuan hanya untuk menyenangkan dan membuat orang lain (laki-laki) tertarik padanya.

Pandangan-pandangan inilah yang kemudian menjadikan segala aturan dan kesalahan lebih sering kita limpahkan pada perempuan. Bahkan saat menjadi korban kekerasan dan pemerkosaan sekalipun, pakaian perempuan lah yang kita jadikan alasan sebagai faktor penggoda.

Atau bahkan saat membuat peraturan perlindungan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan di ruang publik, malah perempuan lah yang kemudian kita batasi aksesnya untuk keluar dan bergiat. Padahal seharusnya mengajarkan laki-laki untuk menjaga diri agar tidak menjadi pelaku. Sebagaimana nilai yang digaungkan dalam perspektif mubadalah.

Memahami Makna Aurat dalam Perspektif Mubadalah

Dalam perspsektif Mubadalah, upaya untuk menghindari kekerasan itu seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, agar bisa menjaga diri dan waspada secara bersama-sama. Tanpa menganggap salah satu pihak sebagai yang paling bahaya, sehingga kita atur dengan sedemikian rupa untuk menutup rapat semua tubuh dan pikirannya.

Menyoal tentang aurat, dalam buku Qiraah Mubadalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir hlm. 461 jika menggunakan perspektif QS. Al-Ahzab (33) ayat 13 menjelaskan bahwa aurat kita maknai sebagai segala sesuatu yang bisa menjadi celah bagi kerusakan dan kehancuran yang bisa kita manfaatkan.

Maka dalam pemahaman ini, persoalannya itu bukan tentang perempuan, tetapi pada ‘musuh’ atau orang lain yang memanfaatkan. Oleh karena itu yang kita butuhkan adalah perlindungan perempuan yang bermartabat, bukan pengekangan. Juga pemenuhan dan pemberdayaan hak-hak mereka, bukan pemerdayaan dan pemasungan.

Martabat Kemanusiaan Perempuan dalam Al-Qur’an

Jika kita meyakini agama sebagai pedoman nilai moral kehidupan, maka jangan pernah lupa ayat universal bagaimana Al-Qur’an menegaskan tentang martabat kemanusiaan perempuan.

QS An-Nahl (16) ayat 97 dan QS Al-Mu’min (40) ayat 40 secara gamblang menegaskan bahwa tolok ukur memuliakan seseorang itu bukan karena jenis kelaminnya. Melainkan keimanan dan amal perbuatannya.

Atau bahkan kita perlu mengingat kembali pesan hadist Shahih Muslim No. 6706, ‘Sesama muslim adalah saudara, tidak boleh saling menzhalimi, mencibir, atau merendahkan.’

Dalam pemaknaan yang lebih luas lagi, tentu saja bukan hanya berlaku antar sesama muslim. Tetapi kita pun tidak boleh merendahkan antar sesama manusia apapun agama dan keyakinannya. Apalagi merendahkan orang lain hanya karena pilihan pakaiannya. []

 

 

 

 

Tags: JilbabMuslimah Bukan Agen MoralperempuanReview BukuTafsir Keagamaan
Vevi Alfi Maghfiroh

Vevi Alfi Maghfiroh

Admin Media Sosial Mubadalah.id

Terkait Posts

Narasi Gender dalam Islam

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

22 Mei 2025
Jalan Mandiri Pernikahan

Jalan Mandiri Pernikahan

22 Mei 2025
Age Gap

Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

22 Mei 2025
Catcalling

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

21 Mei 2025
Berpikir Positif

Rahasia Tetap Berpikir Positif Setiap Hari, Meski Dunia Tak Bersahabat

21 Mei 2025
Puser Bumi

Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi

21 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hj. Biyati Ahwarumi

    Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Filosofi Santri sebagai Pewaris Ulama: Implementasi Nilai Islam dalam Kehidupan Sosial
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab
  • Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim
  • Yuk Belajar Keberanian dari Ummu Haram binti Milhan…!!!
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version