Mubadalah.id – Di Ramadan yang penuh keberkahan ini, setiap orang merasa penting melakukan ibadah lebih sering dari bulan-bulan sebelumnya, karena ganjaran akan dilipatgandakan. Salah satunya adalah salat berjama’ah di masjid. Terlebih salat subuh yang godaannya sangat kuat, yakni ngantuk. Sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan salat berjama’ah di masjid. Lantas bagaimana hukum perempuan shalat di masjid?
Biasanya pengurus masjid memiliki pendekatan tersendiri agar masyarakat berbondong-bondong menjalankan salat subuh berjama’ah. Misalnya, memberikan sedekah berupa bahan pangan pokok yang menjadi kebutuhan dasar sehari-hari. Seperti masjid yang berada di sekitar rumahku.
Sebuah spanduk dengan ukuran cukup besar terpasang di depan jalan masuk halaman masjid, “Yuk Salat Subuh Berjama’ah! Di Masjid ini Tersedia Beras GRATIS untuk Setiap Jamaah Salat Subuh Laki-laki.” Ketika membaca tulisan di spanduk, sejenak aku termenung. Aku merasa ganjil. Mengapa yang disebut hanya jamaah laki-laki saja? Bagaimana dengan jamaah perempuan salat di masjid?
Lamat-lamat aku memahami keganjilan tersebut. Pertama, sebagian masyarakat meyakini bahwa perempuan salat lebih baik seorang diri di rumah. Sebaliknya, laki-laki dianjurkan lebih baik salat berjamaah di masjid. Namun, apakah itu benar?
Seringkali yang menjadi rujukan atas dasar pandangan di atas adalah hadis yang berbunyi “Sebaik-baik masjid bagi kaum perempuan adalah rumah mereka.” (HR Ahmad dari Ummu Salamah RA). Sayangnya, sebuah narasi tidak cukup hanya dipahami secara tekstual saja, sangat perlu memahaminya secara kontekstual juga.
Menilik konteks pada saat hadits tersebut hadir, dikarenakan kondisi Mekkah pada zaman pra-Islam atau Jahiliyah sangat tidak aman bagi perempuan salat di masjid. Belum ada listrik yang menerangi rumah atau jalan, dan kondisi lingkungan sekitar yang belum ramai dihuni oleh penduduk, sehingga perempuan sangat rentan diganggu.
Sedangkan jika dikaitkan dengan zaman sekarang, sudah tidak relevan lagi. Listrik sudah tercipta, jalanan tidak lagi gelap gulita, banyak hunian warga, dan masjid ada dimana-mana. Kondisi ini cukup aman bagi perempuan bepergian keluar rumah, termasuk salat berjamaah di tempat ibadah.
Selain argumen ini, hadits tersebut juga bisa dipatahkan dengan hadits nabi lainnya, yakni “Apabila para istri kalian atau perempuan meminta izin pergi ke masjid, maka berilah mereka izin.” (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim).
Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan 27 derajat pahala dari salat berjamaah di masjid. Keduanya sama-sama berhak menjadi hamba Allah SWT yang bertaqwa dengan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta, termasuk perempuan didalamnya.
Kembali mengkritisi spanduk masjid. Husnudzan saya, pengurus masjid ingin membantu masyarakat sekitar dengan membagikan beras. Namun, permasalahannya adalah mengapa hanya laki-laki saja? Apakah karena laki-laki sebagai pemimpin keluarga? Bagaimana dengan perempuan kepala keluarga?
Redaksi dalam spanduk itu jelas sangat tidak adil gender. Bersedekah tidak boleh memandang gender si penerima, tetapi yang terpenting adalah tepat sasaran bagi orang-orang yang membutuhkan.
Misalnya dengan menggunakan redaksi seperti, “Setiap satu kepala keluarga yang salat berjama’ah di masjid ini akan mendapatkan beras gratis.” Kalimat tersebut tidak hanya cerminan dari kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, tetapi juga mewujudkan pemerataan penerima bantuan agar semakin banyak keluarga yang terbantu.
Mengenai definisi pemimpin dalam keluarga, laki-laki selalu menjadi rujukannya. Padahal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tidak merujuk pada salah satu gender saja. Setiap manusia adalah pemimpin.
عن ابن عمر رضي الله عنهماعن النبى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – انه قَالَ – كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya, Dari Ibnu Umar RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayangnya, posisi kepala keluarga selalu disandangkan kepada laki-laki. Padahal, ada banyak perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga. Perempuan yang bercerai, suaminya meninggal atau sakit parah, mereka menjadi pemimpin atas keluarganya, tapi sebutan perempuan kepala keluarga ini kiranya masih asing di telinga masyarakat.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, sebanyak 11,44 juta keluarga dikepalai oleh perempuan. 15,7% dari total rumah tangga di Indonesia. Jumlah ini terus naik tiap tahunnya sejak tahun 2016.
Perempuan kepala keluarga juga berhak mendapatkan bantuan yang sama. Jika memberi bantuan dan mengajak kebaikan masih pilah-pilih memandang gendernya, perempuan yang pasti dirugikan. Sebaliknya, jika tanpa memandang gender, maka lebih banyak orang yang akan memperoleh manfaatnya kelak.
Demikian penjelasan terkait hukum perempuan shalat di masjid. Semoga bermanfaat. []