• Login
  • Register
Senin, 12 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menyoal Relasi Kemiskinan dan Tingginya Angka Dispensasi Perkawinan di Ponorogo

Kampanye yang masif sekalipun tentang pencegahan perkawinan anak, akan berakhir sia-sia jika angka kemiskinan di Indonesia tetap tinggi

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
16/01/2023
in Publik, Rekomendasi
1
Dispensasi Perkawinan

Dispensasi Perkawinan

905
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belum lama ini, media nasional dan daerah banyak dihebohkan dengan pemberitaan mengenai tingginya angka dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Ponorogo. Karena kebetulan saya penduduk asli Ponorogo, banyak kolega di luar kota yang menanyakan kebenaran dari pemberitaan tersebut. Meskipun fakta tersebut pahit, namun realitas yang terjadi memang demikian adanya.

Dari tahun ke tahun, angka pemohon dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Ponorogo memang mengalami tren kenaikan. Angka pemohon tertinggi dalam tiga tahun terakhir ini, sebenarnya ada di tahun 2022 yaitu sebanyak 266 perkara.

Adapun di tahun 2023, mengalami penurunan sebanyak 30% yaitu sekitar 184 perkara. Mengawali tahun 2023, tercatat ada 7 pemohon dispensasi perkawinan yang saat ini sedang persiapan sidang dan dalam proses sidang. Lantas apa faktor utama yang menyebabkan tingginya permohonan dispensasi perkawinan di Kabupaten Ponorogo?

Keadaan Topografi dan Keterbatasan Akses

Berdasarkan data yang saya peroleh dari website resmi Pengadilan Agama Ponorogo, dari 184 pemohon dispensasi perkawinan, 70% diantaranya sudah dalam keadaan hamil. Sedangkan sisanya, mengajukan dispensasi perkawinan dengan alasan mendesak lainnya. Fakta lain yang luput dari sorotan media adalah keadaan topografis para pemohon dispensasi perkawinan.

Mayoritas mereka berasal dari wilayah pinggiran kota Ponorogo yaitu Kecamatan Ngrayun, Pudak, dan Slahung. Ketiga kecamatan tersebut berada di wilayah pegunungan dan memiliki akses infrastruktur yang membatasi mobilitas masyarakat.

Baca Juga:

Menikah di Usia Anak dan Trauma Melahirkan; Sebuah Refleksi

Praktik Perkawinan Anak versus Pergaulan Beresiko

Andai Waktu Bisa Diputar Kembali: Kisah Penyintas Perkawinan Anak (Part II)

Andai Waktu Bisa Diputar Kembali: Kisah Penyintas Perkawinan Anak

Kondisi topografis yang sedemikian rupa, berdampak pada rendahnya perputaran perekonomian. Hal ini pula yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah di berbagai wilayah pegunungan di Ponorogo. Mereka memiliki potensi alam yang melimpah di sector perkebunan dan pertanian, namun memiliki nilai distribusi yang rendah. Mereka juga memilih untuk tidak melanjutkan sekolah karena jarak tempuh yang cukup menyita waktu.

Kemiskinan sebagai Faktor Tingginya Permohonan Dispensasi Perkawinan

Selain angka dispensasi perkawinan, angka kemiskinan di Kabupaten Ponorogo juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Garis kemiskinan di tahun 2021 berada di angka Rp.341.090,00 ribu per kapita per bulan. Sedangkan jumlah penduduk miskin sebanyak 89,94 ribu jiwa dengan persentase sebanyak 10,26% dari total 969.456 penduduk.

Naasnya, berbagai pemberitaan mengenai tingginya angka dispensasi perkawinan di Ponorogo tidak sampai pada analisis faktor kemiskinan sebagai penyebab utama. Narasi yang berkembang saat ini berkutat pada pergaulan beresiko, minimnya pengawasan orang tua, kelonggaran pemberian dispensasi perkawinan dari Pengadilan Agama Ponorogo. Padahal, tingginya dispensasi perkawinan adalah dampak yang perlu kita cari faktor penyebab utamanya.

Berdasarkan data Kemenko PMK, factor kemiskinan dan angka putus sekolah menjadi alasan utama terjadinya perkawinan anak. Sedangkan penelitian dari Tin Herawati dari Fakultas Ekologi Manusia menyebutkan bahwa tekanan ekonomi menjadi faktor pendukung terjadinya perkawinan anak.

Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa wilayah pegunungan di Ponorogo. Akses ke sekolah sulit, biaya operasionalisasi pendidikan tinggi, pendapatan yang rendah, dan anggapan kuat bahwa menikah adalah solusi dari semua permasalahan masih kita yakini. Mayoritas orang tua terobsesi untuk memperbaiki perekonomian keluarga dengan cara mengawinkan anak perempuannya. Selain itu, dengan mengawinkan anak mereka yakini mampu mengurangi beban ekonomi keluarga. Meskipun pada faktanya, pernikahan tersebut hanya akan mewariskan kesulitan dan problematika turunan bagi rumah tangga.

Fenomena Gunung Es

Tingginya angka dispensasi perkawinan di Ponorogo bukan satu satunya kasus. Bagaikan fenomena gunung es, apa yang terjadi di Ponorogo hanyalah yang “kebetulan” muncul dan diketahui publik secara luas. Namun faktanya, daerah lain juga mengalami hal yang sama. Di wilayah Kabupaten Temanggung misalnya, permohonan dispensasi perkawinan mencapai angka 488 pemohon di tahun 2021, dan 250 pemohon di tahun 2022.

Sedangkan berdasarkan data nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), 20 per 1000 penduduk di Indonesia menikah di usia dini. Baik diawali dengan pernikahan sirri dan baru mengesahkan perkawinan jika usianya sudah mencukupi. Maupun menikah di usia dini dengan mengajukan dispensasi perkawinan.

Kampanye yang masif sekalipun tentang pencegahan perkawinan anak, akan berakhir sia-sia jika angka kemiskinan di Indonesia tetap tinggi. Selain itu, putusan MK yang menaikkan ambang batas usia perkawinan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki sebenarnya langkah yang efektif untuk menekan angka perkawinan anak.

Namun sayangnya, tidak ada acuan yang menjadi rujukan oleh hakim dalam menghadapi permohonan dispensasi perkawinan, kecuali atas dasar pertimbangan agama. Sehingga meskipun aturan kita perketat, namun putusan tetap sama yaitu terkabulkan. Selain faktor kemiskinan, putusan MK tersebut justru semakin menambah angka permohonan dispensasi.

Permasalahan perkawinan anak dan dispensasi perkawinan adalah masalah bersama yang harus segera kita rumuskan solusinya. Butuh kerjasama dari berbagai pihak, seperti pihak Dinsos yang harus massif melakukan pendampingan bagi kelompok ekonomi rentan, P2TP2A kabupaten juga harus melakukan pendampingan bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah.

Selain itu, dinas Pendidikan aktif juga harus melakukan pendataan angka anak putus sekolah untuk dikurangi setiap tahunnya. Pengadilan Agama juga harus menyusun standar penetapan permohonan dispensasi perkawinan. Dan yang tidak kalah penting,  tokoh agama tidak terus mendoktrin perkawinan sebagai alat menghindari zina. (bebarengan)

 

Tags: Dispensasi PerkawinanKasus Kawin AnakPengadilan agamaperkawinan anakPonorogo
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Barak Militer

Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

11 Mei 2025
Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Hari Raya Waisak

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

10 Mei 2025
Neng Dara Affiah

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

10 Mei 2025
Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pekerja Rumah Tangga

    Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?
  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia
  • Menyusui adalah Pekerjaan Mulia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version