Mubadalah.id – Nabi Muhammad SAW hadir membawa semangat Al-Qur’an yang menentang praktik zalim terhadap perempuan, termasuk pemaksaan pernikahan yang kala itu sudah menjadi kebiasaan lumrah di masyarakat Arab.
Pada masa itu, perempuan dinikahkan tanpa diminta persetujuannya, lalu terjebak dalam ikatan rumah tangga yang tak pernah mereka inginkan. Mereka memang tidak dikubur hidup-hidup seperti tradisi jahiliyah terdahulu, tetapi dikubur dalam kehidupan yang menyesakkan, terampas kebebasan dan kehendaknya.
Nabi SAW menghapus praktik ini. Beliau menegaskan bahwa perempuan berhak menentukan pilihan dalam pernikahan. Dari sudut pandang sosial saat itu, langkah ini adalah sebuah revolusi besar yang memulihkan harkat dan martabat kemanusiaan perempuan.
Al-Qur’an juga hadir membatasi praktik poligami yang sebelumnya tanpa kendali. Dari segi kuantitas, syariat hanya memperbolehkan maksimal empat istri, itu pun dengan syarat ketat yang terkait erat dengan perlindungan anak-anak yatim agar tidak mereka zalimi atau hinakan.
Dari segi kualitas, Al-Qur’an menggarisbawahi keharusan berlaku adil dalam poligami, sebuah standar yang begitu tinggi. Hingga akhirnya menegaskan monogami sebagai bentuk kehidupan berkeluarga yang lebih dekat pada keadilan. “Monogami adalah lebih dekat untuk tidak berbuat zalim,” simpul Al-Qur’an.
Gagasan besar Al-Qur’an tentang perempuan dan keadilan gender ini hanya akan terus hidup jika kita tafsirkan secara holistik. Tafsir yang membaca keseluruhan teks dengan memperhatikan kedalaman makna dan realitas sosial yang mengitarinya.
Bahkan, tafsir yang bertumpu pada tujuan kemanusiaan, menempatkan etika sosial sebagai inti dari spiritualitas Islam. Sebab, pengabdian manusia kepada sesama sejatinya adalah puncak pengabdian kepada Allah SWT. []