Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang inspirasi metode interpretasi mubadalah, maka metode ini terinpirasi dari tradisi interpretasi klasik mengenai pemikiran logika hukum (ta’lil al ahkam).
Dalam ushul fiqh, yang kentara adalah pembahasan dengan metode qiyas, mafhum muwafaqah, mafhum mukhalafah, mashlahah, istihsan, dan terutama maqashid al-syariah.
Pembahasan metode-metode ini menekankan bahwa teks memiliki makna dan tujuan yang bisa dicerna oleh akal pikiran manusia (ma’qul al-ma’na) laki-laki dan perempuan.
Sebab, teks tentang suatu hukum akan menjadi sia-sia jika tidak mengandung alasan, logika, atau tujuan dari hukum tersebut. Para ulama klasik telah menjelaskan hal demikian dan menawarkan berbagai metode tersebut untuk menemukan makna dan tujuan dasar ini.
Bagi ulama klasik, teks-teks ini juga merupakan kesatuan yang utuh, kohesif, dan saling mendukung satu sama lain. Salah satu metode untuk memastikan kohesifitas ini adalah dengan mengembalikan pemaknaan hal-hal yang parsial kepada hal-hal yang prinsipal.
Seperti dalam dualisme muhkam (kokoh) dan mutasyabih (ambigu), maka yang kedua harus dimaknai sesuai dengan yang pertama.
Kesalingan
Dalam konteks ini, menurut Kang Faqih, teks-teks yang eksplisit menegaskan kesalingan adalah yang muhkam, jika sesuai penggunaan istilah ini. Sementara yang lain adalah mutasyabih yang harus dikembalikan pemaknaannya pada yang pertama.
Inspirasi yang kentara adalah pembahasan mengenai bagaimana suatu lafal (kata dan kalimat) memberi makna dalam ushul fiqh, yaitu tema mengenai dalalat al-alfazh.
Sekalipun ada perbedaan terminologi antara Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i, tetapi keduanya menegaskan bahwa suatu lafal bisa mencakup jauh atau lebih dari yang terlihat dalam susunan tekstual-literalnya.
Dalam terminologi Mazhab Syafi’i, yang juga biasa mayoritas ulama ushul fiqh pakai, makna itu terbagi dua.
Ada yang tersurat (manthuq) dan ada yang tersirat (mafhum). Makna yang tersurat adalah yang dapat kita pahami langsung dari struktur kalimatnya. Sementara yang tersirat adalah dari luar struktur kalimatnya, yaitu melalui logika (‘illah) hukum yang terkandung di dalam makna tersebut. *
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.