Beberapa waktu lalu seorang teman Kristiani bercerita perihal anaknya yang muram setelah pulang sekolah. Anaknya sedih gegara teman-teman kelasnya enggan memakan biskuit yang dia bawa setelah libur Natal. “Temanku tuh bilang gini bun, pak Guru bilang kalau kita ga boleh menerima makanan dari non muslim, keluh anaknya saat bercerita.
Hah…saya sontak kaget sekali mendengar ceritanya sekaligus merasa iba terhadap ibu dan anak ini. Apa semacam itu ajaran agama Islam di sekolah dasar? Lantas apa yang diceritakan sang guru tentang agama yang beraneka ragam di negeri ini, belum lagi menjelaskan tentang kepercayaan. Apakah toleransi diajarkan dalam bentuk ketakutan serta curiga terhadap satu agama tertentu?” Duh….lagian itu kan cuma biskuit yang biasa kita makan saat hari Raya, makanan halal.
Keponakan saya yang studi di Sekolah Dasar terpadu juga mengalami kecurigaan yang sama. “Itu orang Kristen ya, Tante?” dia bertanya dengan ekspresi tidak ramah dengan anak tersebut. Saya kembali kaget karena saat seusianya, saya bermain dengan siapa pun tanpa pernah memikirkan temanku agamanya apa.
Makin naik tingkat pendidikan, kasus serupa muncul dalam bentuk lain misalnya tidak mau memilih ketua kelas atau ketua OSIS yang berbeda agama. Apakah pembelajaran agama islam saat ini ikut andil dalam menyumbang segregasi pergaulan?
Munculnya banyak kasus tentang perundungan atau bullying terhadap siswa minoritas merupakan tanda bahwa virus intoleransi makin mewabah di sekolah. Kasus intoleransi yang terjadi di beberapa sekolah, mengindikasikan bahwa sekolah sebagai laboratorium peradaban belum mampu mencontohkan bagaimana hidup berdampingan dengan kemajemukan yang menjadi kekayaan bangsa ini. Secara tidak langsung guru mungkin ikut andil dalam menularkan virus intoleransi tersebut.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dalam Kompas, 2 Januari 2020 menyebutkan banyak guru yang belum memahami relasi berbangsa, bernegara dan beragama. Koordinator JPPI Nasional mengungkapkan karena kurangnya pemahaman guru terhadap ketiga relasi tersebut mengakibatkan guru memberi indoktrinasi pada siswa bahwa ada agama ataupun suku bangsa yang dinilai lebih baik daripada yang lain sehingga seolah berhak berbuat semaunya.
Alih-alih mengajarkan Bhineka Tunggal Ika apalagi membuka ruang diskusi, guru malah menebar virus tidak ramah terhadap siswa yang berbeda.
Sebagai pendidik atau guru ada yang perlu dibenahi dalam mengajarkan kecerdasan sosial generasi penerus bangsa ini. Berikut adalah beberapa hal yang seyogyanya dimiliki atau dipahami seorang guru.
Pertama, Guru harus paham tentang sejarah terbentuknya negara Indonesia. Negara ini dibentuk sebagai negara demokratis yang berlandaskan Pancasila. Founding father kita menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga wawasan kebangsaan tentang kemajemukan itulah yang menjadi landasan kita berbangsa dan bernegara.
Kedua, Guru harus mengajarkan moderasi beragama, sehingga dengan menerapkan proses moderasi beragama akan terbentuk sikap toleransi. Dalam buku Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI (2019) menyebutkan bahwa jika dalam Islam ada konsep wasathiyah, dalam Kristen ada konsep golden mean.
Dalam tradisi agama Buddha ada Majjhima Patipada. Dalam tradisi agama Hindu ada Madyhamika. Dalam Konghucu juga ada konsep Zhong Yong. Begitulah, di dalam semua agama, selalu ada ajaran “jalan tengah” dalam beragama untuk mendukung persatuan dan kesatuan di Negara ini.
Ketiga, Guru atau pendidik harus memahami bahwa bangsa Indonesia memiliki modal sosial yang harus dilestarikan. Modal sosial yang dimaksud berupa nilai kearifan lokal, keanekaragaman budaya dan adat istiadat, serta budaya gotong-royong yang diwarisi masyarakat Indonesia secara turun temurun.
Pengetahuan tentang modal sosial yang sudah mengakar dengan tradisi Nusantara tersebut penting untuk dipahami oleh seorang guru demi menciptakan kehidupan yang harmoni dalam keragaman budaya, etnis, dan agama.
Mari menjadi pendidik atau guru yang ramah untuk semua, mengajarkan toleransi dalam relasi umat beragama. Lebih baik mencari persamaan daripada fokus mencari-cari perbedaan. Alloh menyapa kita lewat Qs. al-Hujurat: 13, kenapa Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, bukan untuk membanggakan diri dengan nasab atau keturunan kita melainkan untuk saling mengenal dan berelasi dengan sesama manusia.
Penggalan bait puisi dari Eko Poceratu berjudul “Tak harus sedarah untuk menjadi Saudara”, semoga semakin memantik rasa toleransi kita.
Apa katong harus seagama, baru bisa dibilang sesama
Apa katong mesti sedarah, baru bisa dibilang saudara
Apa katong harus sekandung, baru bisa dibilang gandong
Apa katong mesti sesuku, baru bisa dibilang satu tungku
Apa katong mesti seiman, baru bisa dibilang saling cinta
Apa katong mesti seajaran, untuk saling mengerti perasaan
Kalau baku sayang sedangkal itu, bagaimana kasih bisa menyatu?
Apa beta harus Jakarta, baru dibilang Indonesia
Apa beta harus makan nasi, baru disebut NKRI
Kalau keadilan seperti itu, bagaimana perasaan bisa menyatu?
Apa katong harus makan nasi, untuk jadi manusiawi
Apa katong harus satu ras, untuk jadi manusia waras
Kalo kemanusiaan sedangkal itu dan kebinatangan sedalam laut
Bagaimana cinta akan terselami?…