Mubadalah.id – Masyarakat Muslim Indonesia pastinya mengenal siapa Sunan Drajat, salah satu Wali Songo yang makamnya terletak di pesisir Lamongan ini merupakan anak dari Sunan Ampel Surabaya, dan juga saudara dari Sunan Bonang.
Jika kita menziarahi makamnya yang berada di Desa Paciran ini, maka kita akan menjumpai petuah-petuahnya yang ditulis pada papan kayu yang berada di sekitar pesareannya. Ada satu rangkaian petuah yang syarat akan makna, dan siapapun sangat mengenal petuah atau wasiat ini. Wasiat ini dikenal dengan Catur Piwulang.
Catur Piwulang lahir dari pengamalan terhadap ajaran agama yang luhur, disertai kondisi sosial masyarakat setempat yang menjadi konteksnya. Maka tidak heran jika Sunan Drajat dikenal sebagai sosok yang humanis juga agamis. Mendapati daerah dakwah yang masyarakatnya miskin, membuat Sunan Drajat memiliki pendekatan yang khas dalam penyebaran agama Islam di Paciran. Metode dakwah yang digunakan oleh Sunan Drajat adalah metode yang sangat penting, dan juga merupakan metode yang paling toleran, karena menyentuh kebutuhan dasar manusia.
Jika meminjam istilah Abraham Maslow, pelopor aliran psikologi humanistik, yang terkenal dengan konsep teori hirearki kebutuhan, Sunan Drajat memenuhi kebutuhan paling dasar yang dibutuhkan oleh manusia, yakni kebutuhan-kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, tempat untuk istirahat, pakaian, dan lain-lain.
Hal ini tampak sepele, namun Catur Piwulang adalah wujud dari toleransi yang tinggi, karena tidak sekedar berkata-kata, atau menghargai semata, namun turut andil dan berpartisipasi dalam menjembatani perbedaan yang ada. Perbedaan yang dimaksud lagi-lagi adalah perbedaan dasar yang kerap luput dari perhatian kita semua. Empat unsur Catur Piwulang tersebut adalah:
Pertama, wenehono teken marang wong kang wuto (berilah tongkat kepada orang yang buta). Jika pada umumnya kalimat ini ditafsirkan menggunakan penafsiran majazy, saya sedang ingin menggunakan pemaknaan secara hakikat lafadznya saja. Iya, kalimat ini secara harfiah dan zahir menyatakan, bahwa orang yang buta adalah orang yang membutuhkan bantuan.
Orang buta di sini adalah simbol dari orang-orang yang terlahir dengan kekurangan yang terdapat pada anggota tubuhnya secara jasmani, atau dikenal juga sebagai kaum difabel. Konstruk sosial kerap menempatkan mereka sebagai kaum yang cacat atau tidak normal, sehingga tidak jarang dari mereka menjadi bahan olokan dan tertawaan orang-orang di sekitarnya.
Mereka dengan kondisi khusus ini merupakan kaum yang rentan, kaum yang sering dipinggirkan dan dinomor duakan, tidak sering juga kemampuan yang mereka miliki diremehkan bahkan tidak dihargai. Mereka membutuhkan tempat dan ruang untuk menjadi pribadi yang utuh pula, oleh karena itu, Sunan Drajat menempatkan hal ini menjadi urutan teratas di antara komponen Catur Piwulang. Tidak lain karena kekurangan fisik seseorang adalah takdir Tuhan yang diberikan sejak ia lahir, takdir ini melekat sepanjang hidupnya, hingga menjadi hal wajib bagi siapapun untuk menghargai, menghormati, serta membantu mereka.
Sekalipun tidak dapat memberikan bantuan apapun, setidaknya tidak menjadi mereka bahan olok-olokan yang menyakitkan dan mengecilkan hati mereka, seperti yang ditulis Syeikh Abu Nu’aim Al-Ashhabani, ahli hadis Persia w. 430 H, dalam kitab Hilyatul Awliya fi Thabaqat al-Ashfiya’ jilid 4 hal. 51 yang artinya: “Sesungguhnya dosa yang paling besar di sisi Allah setelah syirik adalah perbuatan mengolok-ngolok.”
Kita sangat bersyukur, di negeri ini, pemerintah mulai memberikan pelayanan-pelayanan yang ditujukan bagi kaum difabel, sehingga mereka dapat memaksimalkan potensi diri sebagai bentuk syukur atas anugrah yang diberikan Tuhan YME kepada mereka. Bahkan melalui Stafsusnya, Kak Angkie Yudistia, pemerintah mencoba membuktikan bahwasanya penyandang disabilitas tidak lagi dapat dipandang sebelah mata, kita semua sama, makhluk Tuhan dan warga Negara yang dijamin secara konstitusional.
Kedua, wenehono mangan marang wong kang luwe (berilah makan kepada orang yang kelaparan). Tanpa kita sadari, masih banyak orang di sekeliling kita yang masih tidak mampu memenuhi kebutuhan akan makanan dan minuman untuk kesehatan jasmaninya. Terlebih pada kondisi wabah saat ini, banyak kepala keluarga yang di-PHK, kehilangan mata pencahariannya, bahkan kehilangan asa untuk mencari sesuap nasi.
Mereka yang tidak dapat memenuhi hajat diri untuk makan dan minum sehari-harinya merupakan kelompok yang disorot pada banyak ayat Alquran. Mereka adalah orang-orang yang berhak menerima zakat, sedekah, dan pemberian dalam bentuk akad lainnya dalam ranah syara’.
Bahkan Allah Swt. Kerap mengiming-ngimingi pahala yang bilangannya tidak terduga bagi mereka yang dengan kedermawanannya mau memberikan makanan kepada kaum fakir dan miskin ini, bahkan juga Allah Swt. mengutuk mereka sebagai pendusta agama jika enggan memberi makan kaum fakir dan miskin, sebagaimana QS. Al-Ma’un ayat 1-3 yang artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Mereka adalah orang yang meghardik anak yatim. Dan enggan memberi makan orang miskin.”
Adanya makanan untuk dimakan menyebabkan seseorang merasa kenyang, jika perut seseorang telah kenyang, seseorang akan dapat dengan mudah menjalani hidupnya. Ia akan melakukan kewajibannya dengan baik sebagai khalifah di muka bumi saat perutnya sudah terisi dengan makanan yang halal. Perut yang terisi membuat seseorang dapat beribadah dengan baik, belajar dengan baik, bekerja dengan baik, dan beramal dengan baik.
Jika kita mau menelisik kembali, tidak sedikit kasus kriminal yang terjadi karena adanya dorongan untuk dapat memenuhi kebutuhan perut, ben pawone ngebul. Hal ini terjadi karena desakan-desakan dasar yang kerap sebagai sesama kita lewati. Di sinilah ruang kosong yang harus senantiasa kita perhatikan. Bukan toleransi yang jauh, namun bentuk toleransi yang sangat begitu dekat, yakni menghargai dan berempati kepada mereka yang kelaparan dengan memberinya makanan atau jalan agar mereka mendapatkan makanan. Toleransi yang tidak jauh dari mulut, yakni berupa kebutuhan perut.
Bentuk toleransi ini juga wajib semua manusia lakukan dan wujudkan pada diri sendiri. Seseorang kadang merasa cukup, saking cukupnya atas rizki yang diterima, tidak sedikit yang lalai untuk mengisi perutnya, sehingga banyak dari kita semua yang terkena penyakit lambung dan pencernaan. Bahkan untuk diri sendiri, terkadang manusia kurang memiliki rasa toleransi yang berarti.
Ketiga, wenehono busono marang wong kang wudo (berilah pakaian kepada orang yang telanjang). Lagi-lagi, nampaknya sepele, namun jika kita mampu merasakan, masih banyak di sekeliling kita yang memerlukan sandang yang layak guna untuk sehari-hari. Saat manusia pada umumnya menjadi konsumtif akan pakaian yang dikenakan, tanpa sua dan kata, banyak mata yang menatap asa. Terlebih pakaian yang digunakan untuk ibadah.
Tanpa kita sadari, sikap yang kita lakukan terhadap diri terkadang membuat beberapa yang lain berkecil hati. Maka tidak menjadi suatu kerugian, jika ada yang sekiranya membutuhkan sandang berada di antara kita, dengan sukarela tangan ini memberikannya. Agar tubuh-tubuh yang lain juga bisa merasakan hangat dalam kedinginan, sejuk dalam suhu yang panas, dan terhindar dari debu maupun bakteri yang dapat membahayakan jiwa.
Banyak kisah kedermawanan para Sufi perihal ini, dalam manqabahnya, Syekh Abdul Qadir al-Jilani juga tidak ragu untuk memberikan jubah kebesarannya yang bertahtakan batu-batu mulia kepada mereka yang membutuhkan, lagi-lagi, ini adalah puncak toleransi yang paling tinggi dan paling dekat dengan kita semua. Bagaiamanapun, pakaian memiliki banyak fungsi bagi pemakainya, tidak saja bernilai etis dan sosial, tetapi juga kesehatan.
Keempat, wenehono ngiyup marang wong kang kudanan (berilah tempat berteduh bagi orang yang kehujanan). Tempat berlindung merupakan kebutuhan primer semua makhluk hidup. Sungguh menyakitkan seandainya kita tidak memiliki tempat untuk berteduh, namun tidak sedikit dari kita yang merasakan hal ini. Adanya jaminan pemerintah terhadap kaum papa, juga kemudahan kepemilikan hunian bagi keluarga-keluarga baru adalah salah satu ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan dasar ini. Kebutuhan yang mungkin hanya pemerintah yang memiliki biaya, wewenang, dan kuasa untuk merealisasikannya.
Menjadi toleran, walaupun sederhana, bukanlah perkara mudah, terlebih di era saat ini, oleh karena itu dibutuhkan keterlibatan banyak pihak agar kelompok rentan dan harus diperhatikan ini mendapatkan kesejahteraan secara merata. Semua manusia tidak ada yang sempurna, kita diciptakan untuk saling menghargai, saling membantu dan saling mengisi kekurangan yang kita miliki, tidak lain adalah untuk mewujudkan kehidupan yang saling membahagiakan di antara semua makhluk seluruh alam.
Mewujudkan Catur Piwulang ini sama artinya dengan mewujudkan stabilitas keamanan dan perdamaian, karena pada umumnya konflik hadir atas sekat-sekat yang ada di antara hal-hal tersebut.
Mengutip perkataan Rumi yang menjadi nasihat Buya Husein Muhammad, “Allah mengajarkan kami untuk memberi dan tidak untuk meminta.” Agamawan yang mewujudkannya adalah agamawan dengan pengamalan agama yang mendalam, dan Sunan Drajat adalah buktinya, ia mengajarkan bagaimana bertoleransi dengan mengedepankan maqshid syariah untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis manusia. Seperti namanya, Sunan Drajat, semua kemuliaan atas drajat yang ia miliki sudah seharusnya diikuti dan diamalkan. []