Bagi kami yang hidup di luar pulau Jawa, hidup berdampingan dengan suku dan agama yang heterogen adalah sesuatu yang mengasyikkan. Bagaimana tidak, kami mempunyai banyak hari libur untuk hari besar keagamaan ataupun hari-hari besar perayaan budaya yang selalu ditunggu. Hari-hari yang penuh dengan kegembiraan dan suka cita. Hari-hari untuk berpakaian rapi dan bermain sepuasnya bersama teman-teman.
Sanggau, Kalimantan Barat. Di sanalah tempatku berasal. Beragam suku dan agama membaur di segala tempat publik, seperti sekolah maupun pasar, membuatku tidak canggung untuk berinteraksi dengan sesama. Elmo, teman sekelasku, ber-Papi-kan Ambon dan Mami seorang Minang, menjadi pelengkap keberagaman di kelas yang sebagian besar adalah Muslim.
Ketika pelajaran Agama dimulai di kelas, tidak ada yang melarangnya untuk tinggal maupun tetap, karena dia adalah bagian dari kami yang tujuan berangkat ke sekolah adalah untuk belajar, apa yang kami terima itu juga yang ia terima. Elmo juga tidak enggan untuk mempelajari materi yang disampaikan oleh Pak Ade Juandi di setiap pertemuannya.
Tidak ada kata-kata khusus, namun sikap para guru memberikan teladan pada kami muridnya untuk tidak membeda-bedakan atas segala perbedaan yang ada. Demikianlah seharusnya guru yang menjadi panutan.
Ketika hari Natal untuk umat Muslim datang (kelahiran Nabi Muhammad/Maulid), sekolah kami tidak ketinggalan untuk merayakannya, tidak hanya Elmo, murid beragama yang lain pun ikut berpartisipasi membawa bekal dan berpakaian ‘bebas’ untuk datang ke sekolah.
Kata Ayahku, Maulid juga merupakan hari Natal, Natalnya Nabi Muhammad Saw. Demikian pula ketika datang hari Natal bagi umat Nasrani, kami sekelas tidak luput untuk berduyun-duyun datang ke rumah Elmo dengan menggunakan baju lebaran tahun itu.
Niat kami tidak lain adalah untuk memanjangkan umur dengan bersilahturahmi, walaupun ada alasan lainnya, yakni mendapat angpo dari Papinya Elmo dan bisa membawa pulang air kalengan, saat itu air kalengan merupakan air berharga yang hanya dapat dinikmati pada hari-hari tertentu saja.
Mengapa kami datang pada hari tersebut? Karena seseorang dalam menerima tamu itu ada yang siap dan ada yang tidak siap, di antara waktu-waktu yang siap ialah seperti waktu kematian, kelahiran, hajatan, dan pada hari-hari besar keagamaan, dan kami bersilaturahmi pada saat Natal ke rumah keluarga Elmo juga karena alasan yang sama, yakni hari dimana keluarga Elmo siap untuk menerima kedatangan kami.
Bagi orang tua Elmo, kami juga adalah anak-anaknya, dan bagi orang tuaku, teman-temanku juga adalah anak-anaknya. Orang tua yang selalu memberikan nasihat-nasihat kepada anak-anak terkasihnya ini. (Semoga Papi Elmo senantiasa diberikan tempat terbaik di sisi-Nya, Amiiin). Ketika orang-orang mengharamkan ucapan Natal dan sejenisnya, Ayahku kepadaku dan teman-teman mengutip QS.Maryam ayat 33:
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa AS) pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”
Kita saja ketika ulang tahun ada yang ingat dan dirayakan sangat bersuka cita, apalagi ini untuk seorang Nabi yang wajib di-Iman-i. Demikian Ayahku bercerita. Bukan tentang umat mana yang harus merayakan, tapi bagaimana engkau menunjukkan pengertian dan mengasihi terhadap sesama. Tidak ada gunanya saling berseteru, toh adanya perbedaan juga merupakan kuasa dari-Nya yang harus disikapi dengan bijaksana untuk mendapatkan kebahagiaan semesta.
Selamat Natal, Elmo!