Mengapa masih saja terjadi konflik di antara umat Islam, mengapa masih saja terjadi radikalisme, ekstrimisme hingga berujung pada tindakan terorisme, padahal al-Qur’an memerintahkan kita untuk hidup damai. Kita sering melihat dan mendengar baik di media sosial maupun di non medsos kasus-kasus intoleransi, saling menyesatkan, saling mengkafirkan antar sesama hanya karna suatu perbedaan yang sangat mendasar.
Bukankah Nabi kita, Kanjeng Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk saling “rahmah” saling cinta kasih tanpa memandang status keragaman yang melekat pada diri manusia. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Anfal ayat 61 mengatakan:
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Jika kita menghayati ayat di atas, sungguh indah sekali Allah mengajarkan perdamaian sebagai jalan menuju hakikat ketakwaan kepadanya, bisa juga sebagai jalan menuju cinta kepadanya. Karena memang manusia yang cinta damai adalah sosok manusia yang benar-benar hubb, tresno kepada Tuhan dan Rasul-Nya.
Bukan hanya itu saja, manusia yang cinta perdamaian juga adalah sosok manusia yang memanusiakan manusia, meng-alamkan alam semesta. Intinya tidak saling menghakimi, melainkan saling mengasihi-menyayangi.
Dalam kesempatan yang berbahagia memperingati hari perdamaian dunia dari Desa untuk dunia, kaum pemuda penggerak yang bermajlis dalam Forpeka (Forum Pemuda Kenanga) mengadakan peringatan hari perdamaian dunia pada Malam Senin, 20 September 2020 di Masjid JM Kenanga dengan tema: “Nilai-nilai perdamaian dalam perspektif Islam dan budaya lokal yang di dukung penuh oleh Fahmina Institute.
Dalam acara itu menghadirkan dua narasumber yang sangat pakariyah, yaitu Kang Rosyidin (Fahmina Institute) dan Kang Kholiq (Tokoh Kenanga) peserta perangkat desa dan tokoh-tokoh kenanga lainnya. Pesertanya juga sangat plural, ada yang dari Ansor, Banser, Forpeka, Fatayat, IPNU-IPPNU, Lingkar Studi Nusantara dan OKP lainnya.
Keragaman peserta menunjukkan bahwa pemuda Kenanga dan masyarakat Kenanga sangat mencintai perdamaian. Karena memang perdamaian itu lahir dari pluralitas atau keragaman. Semakin beragama akan semakin berbeda, sehingga ketika semakin berbeda akan semakin mencintai, kemudian semakin mencintai akan semakin mendamaikan. Lalu wujudlah damai itu indah. Tentu dalam konteks ini adalah terwujudnya desa damai untuk dunia.
Dalam pesan kedamaian, kang Rosyidin berkata: “Apapun perbedaan diantara kita, kita harus menjalin hubungan sosial yang romantis tanpa melihat apa status sosialnya, agamanya, budayanya dll”.
Kang Kholiq juga berkata: ” Sang pendamai akan bisa mendamaikan situsi kondisi yang keruh bahkan sangat keruh, kecuai dia bisa mendamaikan dirinya sendiri, yaitu melawan hawa nafsunya. Jangan liat perbedaan tapi lihatlah tujuan bersamanya.”
Sangat bijak bestari sekali pesan-pesan kedamaian yang disampaikan oleh para pecinta damai itu sebagaimana mana semangat al Qur’an mengajarkan perdamaian di atas tadi. Pandangan budaya lokal juga responsif dalam menyikapi soal perdamaian, banyak pesan-pesan damai yang harus kita internalisasi dan ditablighkan kepada khalayak ramai. Sebut saja budaya lokal Sulukan, yaitu Suluk Rante Sejati yang dibacakan oleh Putri Utami Azizah dalam acara itu.
Pesan damai yang terkandung dalamnya sangat kuat sekali, yaitu nilai kerukunan sebagai jalan perdamaian yang terkandung dalam makna simbolik Rante Sejati. “Rante” artinya kerukunan dan “Sejati” artinya hakikat. Jadi rante sejati adalah tentang ajaran hakikat kerukunan. Oleh karena itu bisa dikatakan “Manusia Rukun adalah Manusia Damai”.
Mengenai kata Rante sendiri sebenarnya diambil dari gelar salah satu pembabad (pendiri) desa Kenanga, yaitu Syekh Anwar Musyadad atau Syekh Ahmad atau Syekh Kanjeng Zubair yan berasal dari Syam yang bergelar Ki Buyut Tuwah Rante atas pemberian gurunya, yaitu Mbah Kuwu Sangkan dan Kanjeng Sinuhun Sunah Gunung Jati.
Bisa kita baca, kita paham dan kita kampanyekan bahwa Islam adalah agama kedamaian, agama yang mengajarkan perdamaian. Sedangkan budaya lokal adalah menggambarkan tipologi keluhuran manusia itu sendiri. Budaya yang baik akan menjadi manusia budaya yang baik, begitupun sebaliknya budaya yan buruk akan menjadi manusia budaya yang buruk. Mari kira rekatkan pelukan, satukan pandangan dan damaikan hati untuk weujudkan harmonisasi Insani. []