• Login
  • Register
Selasa, 13 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Nizar Qabbani Sastrawan Arab yang Mengenalkan Feminisme Lewat Puisi

Nizar Qabbani telah menjadi penulis yang produktif sepanjang hidupnya. Sebagian besar karya-karyanya bernuansa perempuan dan feminisme

Hilda Rizqi Elzahra Hilda Rizqi Elzahra
05/02/2023
in Figur
0
Nizar Qabbani

Nizar Qabbani

2.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id –  Nizar Qabbani, penyair Arab Kontemporer yang mendapat julukan ”Raja Penyair” ini karyanya banyak mewakili perasaan dan problematika perempuan Timur Tengah. Nizar Qabbani lahir di Damaskus, tepatnya di sebuah kawasan bernama Mundzinah Syahm pada tanggal  21 Maret 1923 dan wafat di London 30 April 1998. Awalnya ia adalah seorang diplomat, Ia sempat bertugas di Kairo, Ankara, Peking, London, dan Madrid lantas berhenti pada 1966 dan mendirikan penerbitan sendiri di Beirut.

Nizar Qabbani telah menjadi penulis yang produktif sepanjang hidupnya. Sebagian besar karya-karyanya bernuansa perempuan dan feminisme. Latar belakang yang mempengaruhi ia menjunjung tinggi hak-hak perempuan adalah ia telah menyaksikan sendiri bagaimana kakak kandungnya yang seorang perempuan bunuh diri sebab dijodohkan secara paksa. Peristiwa tersebut memantik empati seorang Nizar Qabbani.

Penyair berdarah Arab totok ini mengabdikan hidupnya untuk menulis beberapa karya yang membuat dunia Sastra Arab bangga kepadanya. Para aktivis perempuan sepakat jika beliau adalah tokoh feminis. Namun karya-karya tersebut dianggap sangat kontroversial, banyak pihak-pihak yang tidak setuju bahkan sampai menyerang Nizar. Salah satunya Syeikh Ali Musthafa al-Tanthawi. Beliau menyerang Nizar dan juga puisi-puisinya yang berbeda dari penulis-penulis pada masanya.

Salah satu kritikan Syekh Ali Musthofa al-Tanthawi terhadap Nizar yang dimuat dalam majalah Al-Risalah edisi 661 (1964).

“Di Damaskus terdapat satu buku kecil yang baru terbit, sampulnya elok, halus, dan buku itu berhiaskan pita layaknya pinggang-pinggang penari dan penyanyi semasa jajahan Prancis. Di dalamnya memuat kata-kata semacam puisi yang mengandung gambaran-gambaran tolol, busuk dan mengesankan kekafiran. Sebuah buku sonder imajinasi karena penulisnya berontak tumpul dan tak berpendidikan”. Tulis Tanthawi.

Baca Juga:

Dr Nahla Shabry: Qawwamun bukan Pemimpin yang Mendominasi Perempuan

Sejarah Kartini (1879-1904) dan Pergolakan Feminis Dunia Saat Itu

Kritik tanpa Kesalingan: Ketika Patriarki Jadi Senjata Sepihak

Nenengisme: Gerakan Perempuan Akar Rumput

Puisi Nizar Qabbani

Memang puisi-puisi karya Nizar menggunakan bahasa ‘ammiyah (lokal), karena bukan tanpa alasan Nizar tidak menggunakan bahasa Arab fusha, penggunaan diksi yang terkesan ekstrem bertujuan untuk menimbulkan efek kejutan bagi masyarakat Timur Tengah terhadap realitas yang menyudutkan para perempuan.

Menurutnya, budaya yang menyebabkan kesengsaraan sudah tidak relevan lagi. Dengan bahasa yang terkesan vulgar inilah harapannya para pembaca mulai menyadari  kekeliruan mereka dan kembali menghargai setiap privasi perempuan dengan bahasa yang banyak diketahui masyarakat di sana.

Di antara puisi-puisinya yang terkenal adalah Puisi ”Asyhadu An La Imra’ata Illa ‘Anti” yang merupakan puisi tentang perempuan. Perempuan dalam puisi ini tertuang berdasarkan pandangan penyair terhadap relasi suami istri terutama keistimewaan yang sang perempuan miliki.

Dalam puisi terebut Nizar Qabbani ingin mendeskripsikan sosok  perempuan  yang  ada  di sampingnya. Di mana ia selalu  menemani di berbagai  dinamika  persoalan  krusial  di Timur  Tengah pada  masa  penjajahan. Berikut adalah sebagian bait dari Asyhadu An La Imra’ata Illa Anti

Aku bersaksi tiada perempuan selain engkau

Yang melepaskan diriku dari

belenggu

Yang mengayomi tubuhku

yang berbicara denganku seperti berbicara dengan gitar

Peran Penting Perempuan

Pada  bait  ini  sosok  perempuan  memiliki  peran yang  penting,  karena  sosok  perempuan  dapat melepaskan belenggu atau ikatan, dapat mengayomi  ataupun  melindungi,  dan  mampu berbicara  atau bertukar gagasan. Ibarat gitar yang menjadi harmoni untuk melengkapi pembicaraan dengan pasangan.

Tidak hanya itu, ada banyak sekali karya yang ia hasilkan dari produktivitasnya itu. Seperti Republic of Love (membahas cinta dan sejarah wanita dalam budaya Arab). Arabians Love Poems (membahas puisi romantis), I Write the History of Women Like So (membahas sejarah wanita), dan sebagainya.

Anak-anak muda menyambut dengan positif karya-karya Nizar. Bagi mereka puisi-puisi tersebut menggemakan protes atas penderitaan yang mereka alami. Tujuannya agar perempuan mampu menyuarakan pendapat dan haknya yang terbelenggu oleh adat.

Membebaskan Melalui Puisi

Di Jazirah Arab, budaya patriarki ini sudah ada sejak zaman Arab Jahiliyah. Di mana perempuan tempatnya pada posisi yang kurang menguntungkan. Perempuan Arab harus menghadapi sebuah kondisi di mana kehadirannya tidak lebih baik daripada laki-laki.

Pada saat itu, patriarki yang menimbulkan ketidakadilan gender masih menjamur di sana yang relasinya digambarkan dengan istilah “suargo nunut, neroko katut” dan peranannya seperti istilah “konco wingking“. Masyarakat Timur Tengah mendistraksi perempuan demikian, sama seperti di Indonesia. Mereka menganut hegemoni patriarki. Di mana kekuasaan berada dalam tangan suami di segala peran.

Salah satu puisi yang sempat terkenal dan berubah menjadi lagu adalah “Asbaha Indi al-Ana Bunduqiyah” (Telah Ada di Sisiku Sepucuk Senapan) yang terbit di tahun 1968 dan pernah Ummi Kultsum sang diva legendaris  Timur Tengah senandungkan.

Muhammad Abdul Wahab seorang musisi Timur Tengah yang terkenal di masa itu mengaransemen puisi tersebut menjadi sebuah lagu. Kemudian menyanyikan lagu tersebut dengan nuansa sendu. Namun di akhiri dengan nuansa penuh semangat bangsanya untuk terus melawan ketidakadilan.

Dengan demikian, Nizar ingin memberitahu masyarakat, bahwa puisi dapat dijadikan wasilah untuk membuka tabir yang telah tertutup dalam suatu fenomena dan memberikan solusi agar Timur Tengah lebih baik ke depannya dengan mengatakan

“Cinta di Arab seperti penjara, dan saya ingin membebaskannya. Saya ingin membebaskan tubuh, rasa, dan jiwa Arab menggunakan puisi,” ungkap Qabbani. []

Tags: feminismeFeminisme IslamFeminisme MuslimLaki-laki FeminisNizar QabbanipatriarkiPuisi
Hilda Rizqi Elzahra

Hilda Rizqi Elzahra

Mahasiswi jelata dari Universitas Islam Negeri Abdurrahman Wahid, pegiat literasi

Terkait Posts

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

9 Mei 2025
Rasuna Said

Meneladani Rasuna Said di Tengah Krisis Makna Pendidikan

5 Mei 2025
Tokoh Muslim Penyandang Disabilitas

Jejak Tokoh Muslim Penyandang Disabilitas

1 Mei 2025
Nyai Nur Rofiah

Nyai Nur Rofiah: Keadilan Hakiki di Tengah Luka Sosial Perempuan

30 April 2025
Jamilah binti Abdullah

Jamilah binti Abdullah: Kisah Perempuan yang Mendampingi Dua Syuhada

27 April 2025
Nyai Fatmah Mawardi

Nyai Fatmah Mawardi, Mengurai Jejak Ulama Perempuan Madura

26 April 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan
  • Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version