• Login
  • Register
Jumat, 11 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Kritik tanpa Kesalingan: Ketika Patriarki Jadi Senjata Sepihak

Islam tidak mengajarkan relasi yang timpang. Sebaliknya, Islam menekankan prinsip kesalingan dalam segala aspek, termasuk dalam rumah tangga.

Muhaimin Yasin Muhaimin Yasin
13/04/2025
in Personal
0
Kesalingan

Kesalingan

1.8k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Seorang perempuan muda yang belum menikah sedang berbincang dengan temannya yang telah menikah. Temannya mengeluhkan suaminya yang mengingatkan soal makanan yang terlalu asin. “Dia pikir aku ini koki? Laki-laki tuh emang patriarki, maunya dilayani terus,” keluh sang istri. Mendengar itu, si perempuan muda ikut mengangguk, “Makanya aku takut nikah, nanti juga dipaksa jadi pelayan.”

Padahal, dalam percakapan lebih lanjut, suami temannya itu kerap membantu mencuci piring, memandikan anak, bahkan sesekali memasak saat hari libur. Dengan komentar tentang rasa makanan itu, secara langsung laki-laki kita sebut sebagai orang yang memiliki sifat patriarki.

Tuduhan itu sebenarnya muncul dari kacamata yang sudah terpenuhi bias, apalagi diperkuat oleh narasi media sosial yang cenderung mengeneralisasi laki-laki sebagai pihak yang selalu menuntut.

Fenomena ini adalah potret sederhana dari banyak kekeliruan dalam memahami patriarki. Tuduhan terhadap laki-laki sebagai pelaku penganut patriarki sering muncul dari penilaian sempit dan emosional. Bertambah dengan pengaruh media sosial yang mempengaruhi standar berpikir dengan referensi yang tidak jelas sumbernya.

Kesalahan Persepsi tentang Patriarki

Patriarki sejatinya adalah sistem sosial yang menempatkan satu gender di atas gender lain secara struktural. Namun, dalam praktik sehari-hari, istilah ini sering terpakai sembarangan. Suami yang belum sempat mencuci piring, atau istri yang merasa lelah dan tidak mendapat bantuan, langsung terseret dalam label patriarki.

Baca Juga:

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

Kuasa Suami atas Tubuh Istri

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

Kesalahan ini muncul karena makna patriarki kita reduksi menjadi tindakan kecil dalam rumah tangga. Padahal, patriarki lebih dalam dari itu. Ia menyangkut ketimpangan akses, peluang, dan representasi dalam ruang publik. Menyederhanakan patriarki menjadi soal masak-memasak atau cuci piring justru mengaburkan masalah yang sebenarnya.

Lebih menyedihkan lagi, label patriarki kadang menjadi alat untuk menyerang pasangan. Alih-alih membangun ruang diskusi, yang terjadi justru saling menyalahkan. Ini menjauhkan dari semangat perubahan dan menciptakan hubungan yang penuh ketegangan.

Islam dan Prinsip Kesalingan

Islam tidak mengajarkan relasi yang timpang. Sebaliknya, Islam menekankan prinsip kesalingan dalam segala aspek, termasuk dalam rumah tangga. Dalam QS At-Taubah:71, Allah berfirman:

“Dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain…” (QS. At-Taubah: 71)

Ayat ini menampilkan pedoman bahwa relasi laki-laki dan perempuan bersifat mutual. Bukan dominatif. Bukan pula hierarkis. Tapi saling menjadi penolong, mitra, dan penguat satu sama lain. Ini sejalan dengan konsep mubadalah, yakni memandang laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara.

Hadis Nabi memperkuatnya dengan ungkapan Nabi Muhammad Saw yang mengumpamakan, bahwa orang beriman, baik laki maupun perempuan itu laksana satu tubuh yang memiliki fungsi masing-masing. Saling membutuhkan satu sama dengan yang lain. Sebagaimana Imam Muslim meriwayatkan dari Nu’man bin Basyir:

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling membantu seperti satu jasad, apabila salah satu anggota menngeluh sakit, maka seluruh anggota jasad itu merasakan demam dan tidak tidur.”

Selain itu prinsip dan pilar pernikahan dalam Islam meniscayakan pernikahan sebagai kemitraan, kesalingan, dan kerja sama antara suami dan istri. Keduanya dituntut dapat merasakan nikmat sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Nabi Muhammad SAW adalah teladan kesalingan. Beliau membantu pekerjaan rumah, berdiskusi dengan istri-istrinya, dan membangun rumah tangga sebagai ruang kasih sayang dan kemitraan. Tidak ada dominasi, tidak ada paksaan. Justru ada dialog, saling percaya, dan saling menguatkan.

Menolak Sistem, Bukan Menyakiti Pasangan

Perjuangan melawan patriarki seharusnya menyasar sistem, bukan individu. Jika pasangan belum memahami pentingnya kesalingan, ajak dialog. Edukasi dengan empati jauh lebih efektif daripada tudingan dan sindiran.

Mengkritik pasangan tanpa memberi ruang diskusi justru merusak hubungan. Banyak suami akhirnya memilih diam karena merasa apapun yangia lakukan dianggap salah. Istri pun merasa tidak didengar. Saling menyalahkan hanya memperbesar masalah.

Kesetaraan membutuhkan proses. Tidak semua orang langsung paham. Maka, bersikap adil adalah sarana untuk bersabar dan belajar terbuka satu sama lain. Bangun rumah tangga dari rasa saling percaya, bukan saling tuding. Sebab perubahan tidak bisa terjadi dalam satu malam atau dengan mudah seperti membolak-balikkan telapak tangan.

Rumah tangga adalah ruang paling konkret untuk melawan patriarki. Tapi itu hanya mungkin terjadi jika ada dialog, bukan konflik. Lebih baik menemukan kesepakatan bersama, daripada saling memaksakan. Lebih baik saling percaya, bukan saling curiga.

Kesalingan Menjadi Jalan Tengah

Menghadapi realitas rumah tangga hari ini, kita perlu berhenti menyederhanakan masalah dan mulai membangun kesadaran bersama. Islam sudah memberi petunjuk jelas: relasi yang adil lahir dari kesalingan.

Maka, saat suami belum sempat mencuci piring, atau belum bisa membantu pekerjaan domestik, jangan buru-buru menyebutnya patriarki. Dan ketika istri meminta tolong, jangan pula menganggapnya menuntut berlebihan. Saling bantu adalah wujud cinta. Saling mengerti adalah bentuk ibadah.

Jika kita ingin mengakhiri patriarki yang menindas, maka mulai dari rumah sendiri. Dengan dialog, dengan kasih sayang, dan dengan prinsip mubadalah. Karena di situlah transformasi kita mulai.

Tidak perlu menunggu sempurna. Cukup saling belajar, saling memperbaiki. Karena keadilan kita mulai dari kemauan untuk memahami. Dan rumah tangga adalah ladang pertama untuk mewujudkannya. []

 

Tags: istrikeluargaKesalinganmenikahpatriarkiRelasisuami
Muhaimin Yasin

Muhaimin Yasin

Pegiat Kajian Keislaman dan Pendidikan. Tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Terkait Posts

Berhaji

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Life After Graduated

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

10 Juli 2025
Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Pernikahan Tradisional

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

8 Juli 2025
Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berhaji

    Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam dan Persoalan Gender
  • Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata
  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam
  • Peran Perempuan dan Perjuangannya dalam Film Sultan Agung
  • Tauhid: Fondasi Pembebasan dan Keadilan dalam Islam

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID