• Login
  • Register
Jumat, 31 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Objektifikasi Tubuh Perempuan dibalik Clickbait Journalism

Segala upaya untuk mengeluarkan regulasi dan himbauan tak akan berdampak maksimal jika clickbait journalism masih tertanam di tubuh sebuah media

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
17/08/2021
in Publik
0
Perempuan

Perempuan

193
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berita mengenai capaian atlet di tengah pagelaran Olimpiade Tokyo 2020 tentunya menjadi berita yang paling ditunggu oleh seluruh masyarakat Indonesia. Baik perolehan medali maupun kekalahan dalam beberapa cabor menggugah atensi netizen dan pembaca. Ucapan selamat dan kebanggaan masyarakat Indonesia tampak dari banyaknya berita yang di re-share. Pun demikian dengan narasi optimisme dan pemberian semangat pada atlet yang gagal.

Namun ada yang berbeda dengan pemberitaan yang ditulis oleh Ridho Permana, seorang jurnalis dari media online viva news. Dengan memanfaatkan booming nya berita olahraga, ia justru menulis headline yang mengobjektifikasi tubuh atlet perempuan. Alih-alih memberitakan prestasinya, Ridho Permana justru membuat pemberitaan yang seksis bahkan cenderung cabul.

Headline yang ia tulis mengenai atlet perempuan antara lain, “Wow, Pose Menantang Maharatu Bulutangkis Pakai Bikini Bikin Ngilu”, “Bikin Ngilu, Aksi Latihan Bidadari Bulutangkis Australia Pakai Bra”, “Duh, Pose Mengangkang Pembulutangkis Cantik Kanada di Gym Bikin Ngilu”, “Pose Seksi Bidadari Bulutangkis Australia di Atas Ranjang Bikin Ngilu”. Kesemua berita tersebut memang sudah di takedown sehingga tak bisa diakses, namun jejaknya masih diabadikan oleh akun Instagram @lambe_turah.

Google Analytics dan Dilema Wartawan

Sama seperti stasiun TV yang bergantung pada rating atau jumlah penonton, media online juga membutuhkan banyak pengunjung untuk meningkatkan traffic situs. Semakin bagus angka pengunjung, akan semakin mudah menarik pengiklan. Semakin banyak pengiklan akan semakin aman kantong keuangan media. (Zainuddin, 2018) Maka tak heran, di tengah perkembangan new media yang semakin eksis ini, banyak kita jumpai headline yang mungkin saja mengandung kebohongan, cabul, maupun berita hoak.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja
  • Bisakah Perempuan Haid atau Nifas Mendapat Pahala Ibadah di Bulan Ramadan?
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

Baca Juga:

Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja

Bisakah Perempuan Haid atau Nifas Mendapat Pahala Ibadah di Bulan Ramadan?

Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

Kedatangan new media dan kekhawatiran hilangnya etika jurnalisme sebenarnya sudah diprediksi oleh Eko Maryadi, ketua umum AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Dalam buku Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika  ia mengungkapkan bahwa atas nama kecepatan dan meningkatkan traffic, berita online acapkali terjerembab dalam penyampaian informasi yang disinformatif. Tujuan utamanya tentu untuk memenuhi tuntutan redaksi dan untuk keberlanjutan media online dimana wartawan tersebut bekerja.

Kekhawatiran tersebut sangat beralasan karena berdasarkan penelitian (Garcia, dkk, 2017) tingginya traffic media online di 28 negara di Eropa justru dihasilkan dari judul yang provokatif, seksis, dan sensasional. Judul tak lagi menjadi elemen kunci namun menjadi pembujuk pembaca agar mengunjungi situs dan berlama-lama berselancar di dalamnya.

Pun demikian dengan yang dilakukan oleh Ridho Permana. Sebenarnya ia bukanlah satu-satunya wartawan yang menarasikan perempuan sebagai objek seksualitas. Ia hanya sedang apes saja karena tertangkap basah oleh influencer, akun gosip, dan berseliweran di akun social media beberapa public figure. Masih ada Ridho Permana lain yang melakukan hal serupa.

Meskipun demikian, apa yang dilakukan oleh Ridho Permana tetap bukanlah sesuatu yang bisa dimaklumi. Menggambarkan perempuan sebagai objek yang menggairahkan syahwat laki-laki bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Apalagi menebarkan narasi peyoratif terhadap perempuan berdasarkan kostum yang ia gunakan. Ia juga telah melanggengkan pandangan tradisional yang patriarkis dan dominative dalam relasi seksualitas laki-laki perempuan.

Dengan menghujat Ridho Permana, apakah masalah terselesaikan?

Ibarat ilalang yang keberadaannya sering mengganggu lingkungan, memotong ujung rumputnya tak akan bisa melenyapkan ilalang dalam jangka panjang. Selama akar masih tertanam, selama itu pula ilalang akan terus tumbuh berkembang. Maka menghujat dan memprovokasi Ridho Permana untuk segera menggantung pena sebenarnya sama sekali bukan solusi yang solutif.

Apalagi kita tidak mengetahui atas dasar apa Ridho Permana mengobjektifikasi tubuh atlet perempuan dalam pemberitaannya. Jangan-jangan memang begitulah anjuran dari dewan redaksinya, jangan-jangan itu satu-satunya cara untuk ia mampu bertahan di industry media, atau jangan-jangan bidang itu yang memang ia sukai, dan kemungkinan-kemungkinan lain di luar sepengetahuan kita.

Tak kurang-kurang regulasi yang dikeluarkan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Utamanya dalam merespon dan mengantisipasi fenomena degradasi jurnalistik di tengah gempuran new media. Antara lain dengan mengeluarkan “Pedoman Penulisan Berita Siber” yang digagas oleh oleh Dewan Pers dan menghimbau para redaktur untuk menempatkan etika dan prinsip jurnalistik sebagai dasar pemberitaan.

Melalui buku yang sama, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) juga menyerukan pada industry media untuk kembali pada filosofi awal lahirnya media masa. Yaitu sebagai penyalur aspirasi masyarakat dalam bidang politik dan demokrasi, memberikan informasi, dan sarana hiburan bagi masyarakat secara umum.

Segala upaya untuk mengeluarkan regulasi dan himbauan tak akan berdampak maksimal jika clickbait journalism masih tertanam di tubuh sebuah media. Kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa saat ini google analytics memang menjadi ukuran baku dalam melihat jumlah keterbacaan artikel, sehingga banyak media yang mengejar angka-angka didalamnya.

Namun industry media harus berani mengambil langkah opsional untuk mempertahankan keberlanjutan bisnisnya. Seperti meninggalkan pola pikir pragmatis menuju peningkatan kreatifitas dan kredibilitas media, pengoptimalkan konten, dan memperbanyak infografis di social media agar semakin banyak jumlah pengunjung. Jangan sampai etika jurnalisme diabaikan hanya untuk meraup keuntungan dan mengabaikan etika sebagai manusia.

Di tengah kesadaran literasi masyarakat Indonesia yang berbanding terbalik dengan penggunaan internet, bisnis clickbait journalism tentunya dapat memperkeruh relasi kebangsaan kita. Menurut Andreas F. Gual , 2018 terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan oleh clickbait journalism, antara lain: membodohkan pembaca, memunculkan hoak, dan memunculkan potensi konflik. Maka Kominfo sebagai pemegang amanat utama untuk memastikan ruang digital tetap sehat, juga harus menindak media-media yang berpotensi menimbulkan hoak, perpecahan, cabul, dan seksis.

Jika media tersebut dibiarkan, maka akan muncul media seksis, dan provokatif lainnya karena merasa mendapat lampu hijau dari polisi cyber. Selain itu, masyarakat juga harus meningkatkan kesadaran literasinya agar tidak terjebak dalam headline clickbait saja namun malas membaca konten. Apalagi dengan mudah menyebarkan berita hanya berdasarkan potongan judul saja.

Dengan kerjasama yang baik antara AJI, industry media, kominfo, dan masyarakat diharapkan para jurnalis tak lagi terlepas dari etika jurnalistiknya. Jangan sampai alasan komersial dijadikan sebuah alasan untuk meraup keuntungan dengan cara yang salah. []

 

 

 

 

Tags: AtletGenderkeadilanKesetaraanolahragaOlimpiade Tokyo 2020perempuan
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Konsep Ekoteologi

Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam

30 Maret 2023
Kasih Sayang Islam

Membangun Kasih Sayang Dalam Relasi Laki-laki dan Perempuan Ala Islam

29 Maret 2023
Ruang Anak Muda

Berikan Ruang Anak Muda Dalam Membangun Kotanya

29 Maret 2023
Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

28 Maret 2023
Tradisi di Bulan Ramadan

Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Goethe Belajar Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hikmah Puasa dalam Psikologi dan Medis: Gagalnya Memaknai Arti Puasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bulan Puasa: Menahan Nafsu Atau Justru Memicu Food Waste?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja
  • Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam
  • Nafkah Keluarga Bisa dari Harta Istri dan Suami
  • Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu
  • Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist