Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang konsep birr al-walidayn, maka ia mendefinisikan, konsep ini yang mewajibkan anak untuk berbakti, menghormati dan menyayangi kepada kedua orang tua.
Lebih lanjut, Kang Faqih menyebutkan, namum dalam pendekatan Mubadalah yang meniscayakan relasi kesalingan, adalah juga mewajibkan kedua orang tua untuk birr al-awlad, berbakti atau berbuat baik kepada anak-anak mereka.
Orang tua dan anak dituntut untuk saling menghormati, saling menyayangi, saling membantu, dan saling menguatkan. Hal ini sesuai dengan kapasitas, kemampuan, dan kesempatan yang tersedia. Yang kuat di antara mereka mendukung yang lemah.
Bisa jadi awalnya adalah orang tua kepada anak, dan kemudian bisa sebaliknya anak kepada orang tua.
Dalam kerangka maqashid al-syari’ah yang Mubadalah, perempuan dan laki-laki adalah subyek setara. Keduanya adalah sama-sama hamba Allah Swt yang menjadi khalifah di muka bumi.
Laki-laki dan perempuan juga adalah manusia yang utuh, dalam kaitannya dengan kebaikan-kebaikan yang harus hadir dalam kehidupan domestik maupuan publik, maupun keburukan-keburukan yang harus mereka hindari.
Keduanya juga berhak atas kebaikan dan harus partisipasi aktif dalam mewujudkannya (amr ma’ruf). Begitupun berhak terhindar dari keburukan dan harus partisipasi aktif dalam menghapuskannya dari kehidupan (nahy munkar).
Oleh karena itu, perempuan merupakan manusia utuh dan subyek yang setara. Pendekatan keadilan hakiki meniscayakan pertimbangan pada pengalamannya yang bisa berbeda secara biologis dan sosial dari laki-laki.
Dalam kalimat lain, kebaikan yang harus perempuan terima adalah yang berangkat dari pengalamannya yang khas dan bisa berbeda dari pengalaman laki-laki. (Rul)