• Login
  • Register
Sabtu, 14 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Padungku, Kesalingan dalam Keragaman di Tanah Poso

Menjadikan momentum padungku sebagai ajang refleksi untuk membangun rasa toleransi dengan sesama manusia dan bagaimana mengimplementasikannya agar pesan-pesan perdamaian dapat diaktualisasikan.

Nurul Annisa Ladjadji Nurul Annisa Ladjadji
24/09/2020
in Publik, Rekomendasi
1
245
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Indonesia memang Negara yang kaya akan warisan budaya dan tradisi. Keanekaragaman budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Hampir semua daerah atau suku bangsa di Indonesia memiliki tradisi yang berbeda dan menjadi ciri khas daerah masing-masing.

Tak terkecuali, tradisi tahunan yang berasal dari kota Poso. Salah satu kota di provinsi Sulawesi Tengah. Tradisi itu bernama Padungku. Salah satu budaya yang tetap lestari dan eksis hingga saat ini, kemudian dimaknai secara turun-temurun. Kebudayaan ini berasal dari nenek moyang suku Pamona yang mayoritas berada di Poso, dan menyebar hingga ke daerah sekitar Poso, seperti Tojo una-una, Morowali, dan Morowali Utara.

Padungku secara harfiah berasal dari bahasa Pamona, yang berarti semua sudah selesai, sudah rapi, sudah tertib. Padi sudah tersimpan di lumbung, alat-alat pertanian seperti pemaras padi, ani-ani, alat pembajak, mesin penggiling, semua sudah dibersihkan, sudah dirapikan, dan ditempatkan di kolong rumah (bawah rumah).

Padungku diadopsi oleh gereja menjadi pesta ucapan syukur setelah panen raya. Dalam ajaran di Alkitab-Kristen ditekankan adanya persembahan kepada Tuhan lewat hasil jerih payah umat-Nya. Jika dalam sejarah Alkitab diceritakan bahwa korban persembahan tersebut adalah hasil pertama dan terbaik lalu dibakar. Saat ini persembahan hasil panen dipersembahkan kepada gereja dengan cara menyerahkan hasil panen kepada gereja.

Semisal ada petani baru saja panen padi di sawah. Maka sepersepuluh panen atau panenan awal diserahkan kepada pihak gereja. Gereja akan melelang hasil persembahan tersebut agar terwujud dalam bentuk uang agar mudah dalam penyimpanan. Usai persembahan ke gereja lalu diadakanlah Padungku. Semua petani mengolah padi yang mereka panen dan simpan, terutama padi pertama yang dipanen dan disimpan di lumbung.

Baca Juga:

Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?

Merawat Toleransi, Menghidupkan Pancasila

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

Hasil olahan itu dimakan bersama-sama dengan seluruh warga desa melalui Molimbu. Molimbu adalah kegiatan makan bersama dimana seluruh penduduk membawa makanan masing-masing dari rumah mereka dan saling membagikan makanan untuk dimakan bersama-sama di Lobo atau baruga desa (balai desa). Sejak tahun 2000-an praktis tidak lagi diselenggarakan Molimbu, sebaliknya pesta panen raya dilakukan di rumah masing-masing penduduk.

Waktu penetapan Padungku ditetapkan dengan bermusyarawah bersama untuk mencari waktu yang tepat. Biasanya Padungku dilakukan dua bulan setelah panen usai. Pada tahun 2020 ini Padungku serentak Kabupaten Poso baru saja dilakukan seminggu yang lalu, yaitu 11 september. Masing-masing desa memiliki waktu Padungkunya sendiri-sendiri, bergantung pada hasil panen dan kesepakatan bersama.

Padungku mayoritas dirayakan beragama Kristen. Walaupun begitu pesta ucapan syukur ini bisa dilakukan semua orang. Padungku bagi warga Poso biasanya digunakan sebagai acara silaturahmi. Pasca konflik di Poso, Padungku menjadi ruang public alternative yang mempertemukan Muslim, Kristen, dan Hindu di Poso.

Merayakan dan bersyukur atas panen yang hasil utamanya adalah “pae” atau beras. Olehnya, nasi bambu atau nasi Jaha atau biasa disebut juga Inuyu (bahasa local Poso) adalah nasi khas yang menjadi olahan wajib saat Padungku. Nasi bambu ini terbuat dari beras ketan dicampur santan kelapa dan garam yang digulung dengan daun pisang kemudian dimasukkan ke dalam ruas bambu lalu dibakar sampai matang.

Di setiap Padungku setiap rumah pasti membakar nasi bambu dan menjadikannya sebagai menu utama. Lalu ada juga menu lainnya seperti burasa, waje, dan winalu. Desa yang merayakan padungku, biasanya juga pada malam harinya akan mengadakan tarian Dero (tarian yang berasal dari Kabupaten Poso) yang biasanya dibawakan saat ada acara-acara adat lainnya. Inilah budaya warga yang benar-benar masih menjunjung tinggi kearifan lokal.

Dalam tradisi Padungku, setiap keluarga menyiapkan banyak makanan dan setiap orang dari berbagai desa serta tempat dapat berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain, setiap rumah akan terbuka untuk umum, sanak-saudara, kerabat, bahkan untuk orang yang mereka tidak kenal atau yang tidak bersaudara sekalipun mereka akan menerimanya dan menjamunya dengan setulus hati saat berkunjung, untuk makan dan minum selama satu hari penuh. Di seluruh isi desa. Yang ada adalah kekeluargaan. Muslim, Kristen, Hindu, semuanya.

Jika Muslim yang bertamu, atau orang yang tidak bisa memakan makanan seperti daging anjing, daging babi dan lainnya, yang tidak biasanya dihidangkan di meja nasional Indonesia. Tidak usah kuatir, sudah menjadi budaya di tanah Sintuwu Maroso ini rasa toleransi di jujung tinggi, akan ada meja khusus yang tentunya berlabel Halal, dan dimasak oleh seorang Muslim.

Selesai Mangkoni (makan) tidak lengkap rasanya kalau tidak Mangkeni (bungkus dan bawa pulang), saat berpamitan setiap tamu yang berkunjung padungku diharuskan membawa apa yang tuan rumah berikan bahkan dipersilahkan membungkus sendiri apa yang ada di meja makan. Sehingga tak asing kalau selesai padungku, orang-orang membawa pulang seruas atau dua ruas nasi bambu dan kue kering yang diberikan tuan rumah sebagai oleh-oleh bagi tamu yang datang.

Padungku saat ini menjadi berbeda maknanya dan berbeda nuansanya, padungku tidak saja bagi petani namun juga bagi semua jenis pekerjaan lain. Pekerjaan lain seperti pedagang, guru, pegawai pemerintahan, buruh, sopir dan lain sebagainya. Masing-masing orang akan menyesuaikan diri dengan cara menyisihkan dari pendapatannya untuk Padungku.

Sehingga tidak hanya petani yang usai panen, tetapi semua orang bisa melakukan Padungku walau tidak harus panen. Padungku menjadi jembatan bertemunya orang-orang lintas agama, generasi, profesi, jabatan, strata sosial, suku dan perbedaan lain yang dilebur dalam pesta hasil panen. Tradisi padungku merupakan bentuk perwujudan rasa ketersalingan antar umat manusia. Bagaimana kita membangun rasa toleransi dan menghargai perbedaan dalam kebersamaan.

Menjadikan momentum padungku sebagai ajang refleksi untuk kita membangun rasa toleransi dengan sesama manusia dan bagaimana kita mengimplementasikannya agar pesan-pesan perdamaian dapat diaktualisasikan. Saling menghormati dan menghargai umat beda agama melaksanakan ibadah agamanya adalah bentuk menyetarakan diri kita bahwa sebagai manusia semua bersaudara. Perbedaan bahkan keragaman bukanlah sumber konflik, melainkan modal sosial untuk terus maju bersama. []

Tags: Indonesiakearifan lokalkeberagamantoleransiTradisi Nusantara
Nurul Annisa Ladjadji

Nurul Annisa Ladjadji

Terkait Posts

Palestina-Israel

Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?

14 Juni 2025
Job Fair

Job Fair, Pengangguran Struktural, dan Nilai Humanisme

14 Juni 2025
Humor

Humor yang Tak Lagi Layak Ditertawakan: Refleksi atas Martabat dan Ruang

13 Juni 2025
Nikel Raja Ampat

Penambangan Nikel di Raja Ampat: Ancaman Nyata bagi Masyarakat Adat

12 Juni 2025
Tanah Papua

Nikel di Surga, Luka di Tanah Papua

12 Juni 2025
Kak Owen

Kak Owen Hijaukan Bogor Lewat Aksi Menanam 10.000 Pohon

12 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

    Ketika Rumah Tak Lagi Aman, Rumah KitaB Gelar Webinar Serukan Stop Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Job Fair, Pengangguran Struktural, dan Nilai Humanisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pearl Eclipse: Potret Keberanian Perempuan Dalam Bela Negara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ayat Al-Qur’an tentang Relasi Suami dan Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?
  • Bagaimana Mewujudkan Perkawinan yang Kokoh dan Penuh Kasih Sayang?
  • Pearl Eclipse: Potret Keberanian Perempuan Dalam Bela Negara
  • Ayat Al-Qur’an tentang Relasi Suami dan Istri
  • Job Fair, Pengangguran Struktural, dan Nilai Humanisme

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID