Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan ahli fikih hukuman bagi pelaku kekerasan dan perkosaan, maka para ahli beragam pendapat.
Madzhab Hanafi memandang bahwa jika pemaksaan itu bersifat penuh, ia tidak mendapat hukuman hudud, sebaliknya jika tidak penuh, ia mendapat hukuman hudud. Paksaan tidak penuh dapat kita artikan sebagai paksaan yang ancamannya di bawah ancaman penuh.
Pendapat terkuat dari Syafi’iyah membebaskan hukuman hudud terhadap laki-laki yang mendapat pemaksaan untuk berzina, paksaan penuh atau tidak. Sebagian Malikiyah memberikan bentuk syarat ancaman, jika ancamannya mati, maka ia terbebas dari hukuman hudud. Untuk ancaman selainnya, tetap mendapat hukuman had.
Persoalan yang tersisa adalah mengenai pelaku pemaksaan yang bebas, dalam arti tidak mendapat paksaan dari pihak lain. Terhadap persoalan ini jawaban fikih adalah mengacu pada teks al-Qur’an yang jelas. Dan ini telah mendapatkan kesepakatan dari seluruh ahli fikih. Pelaku pemerkosaan dengan kekerasan mendapat hukum ganda:
Pertama, hukuman atas perzinahan, yaitu cambukan 100 kali atau rajam di hadapan halayak.
Kedua, hukuman penganiayaan (jika ia menganiaya atau melukai anggota tubuhnya), yaitu qisas, ia boleh membalasnya dengan hukuman yang sebanding dengan perbuatannya. Apabila terbatas pada ancaman, maka hukumannya adalah ta’zir. Dalam hal ini keputusan hakimlah yang menentukan hukumannya.
Hirabah
Kemungkinan lain dari tindak kejahatan perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan seperti yang terjadi pada peristiwa medio Mei itu dan sejenisnya, adalah Hirabah. Ini mungkin mengherankan banyak orang, mengingat bahwa Hirabah selalu diartikan sebagai perampokan atau penjarahan yang dilakukan secara terang-terangan dengan suatu kekuatan yang mengalahkan.
Ia juga sering dikatakan sebagai pencurian besar. Dalam arti lain yang menjadi obyek paling sentral dari tindakan ini adalah menjarah, mengambil harta benda disertai kekuatan memaksa dan terang-terangan. Meskipun dalam prosesnya tindakan atau perbuatan ini dapat berakibat pada aksi pembunuhan, pelukaan/penganiayan atau pemaksaan dengan ancaman sematamata. Hampir semua ahli fikih mendefinisikannya seperti ini.
Pandangan ini memang merujuk pada dasar hukum al-Qur’an yang menyatakan:
اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ
Artinya: Sesungguhnya balasan terhadap mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta mengadakan kerusakan di muka bumi ialah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau diasingkan ke luar tempat tinggalnya. (QS. al-Ma’idah ayat 33). []