Mubadalah.id – Ketika menikah, orang akan berimajinasi bahwa tiap segi hidupnya bakal lebih baik, termasuk bagaimana memroses perasaan seksualnya. Akan tetapi, bagi sebagian perempuan, imajinasi tersebut bisa berubah total, kembang layu di atas ranjang dan hanya menjadi fantasi yang mustahil menjadi realitas faktual.
Kemuning (34 tahun, semua nama samaran), misalnya, selama sepuluh tahun menikah, tak sekali pun mencecap apa yang dia ketahui sebagai manisnya madu dari bunga ranjang.
Bagaimana tidak, suaminya kurang usaha, cekak pula dalam komunikasi untuk sekadar menanyakan “Aku harus ngapain, Beib?”. Yang signifikan, suaminya tak mampu bertahan lama kalau sudah masuk bertamu: baru juga lima menit, sudah buru-buru keluar saja. Kemuning pun malu-malu jika harus minta di-ini-itu-kan. Kata Kemuning, “Sudah nasib!”
Lain lagi dengan Magenta (27) yang mengaku seperti tertipu. Betapa tidak, suaminya yang gagah, pintar dan ganteng itu ternyata memiliki alat reproduksi hanya sepanjang jari kelingking manusia dewasa dan, ibarat burung, susah berkicau pula. “Kalau seperti itu, harusnya bilang di awal, biar istri tak menyesal,” katanya mantap.
Berbeda dengan Kemuning dan Magenta, Violet (38) memiliki suami yang secara fisik serba normal. Akan tetapi, sifat cueknya sampai ke urusan ranjang. Violet juga aslinya tak pernah jatuh cinta dan sulit mengembangkan kreativitas untuk mencintai suaminya.
Motivasinya menikah hanya supaya bisa menjadi istri salehah, dan saat itu suaminya memang terkenal sebagai aktivis mahasiswa yang baik. Sudah belasan tahun menikah, perempuan ini hanya sesekali saja menuju puncak. “Gimana lagi, istri kan harus melayani,” katanya.
Sementara itu, Pinky (32), yang mengawini duda mapan, merasa wajar suaminya diceraikan oleh istri pertamanya. Ternyata, di samping keras kepala, suaminya ini mengidap disfungsi seksual akibat diabetes. Meskipun membuahkan 2 orang anak, hasil “dinas malam” mereka tidak sanggup memuaskan darah muda Pinky. “Udah gitu, cuma sebulan sekali. Aduh, gimana ya, saya kan masih muda gini. Aslinya pengen melulu,” bebernya.
Perempuan dan Kebutuhan Seksual
Ada beberapa cerita perempuan lain dengan topik sama, tetapi kita cukupkan dengan itu dulu. Tak bisa kita pungkiri bahwa kehidupan pernikahan tanpa memang seks ibarat taman tanpa bunga. Mungkin bisa kita akali supaya tetap menarik dengan membuat pohon-pohon tanpa bunga tersebut sebagai labirin.
Akan tetapi, main di tengah taman labirin bisa bikin pusing, sama seperti keempat perempuan tadi yang sering diserang migrain. Tentu saja empat sampel tersebut tidak bisa kita jadikan generalisasi bahwa jika ada perempuan menikah mengeluh sedang migrain, itu buntut dari masalah di atas kasur.
Para perempuan tersebut akhirnya hanya bisa berfantasi. “Kalau lagi horny, hanya bisa ngelamun,” ujar Magenta, mantan kembang kampus. Dengan malu-malu, Kemuning mengatakan, “Pernah coba masturbasi, tapi gak nyaman.” Sementara itu, Violet sering berkhayal bisa klimaks dengan pria yang ia cintai dan mencintainya. Terakhir, si cantik Pinky sering merasa menyesal menikahi suami yang usianya terpaut belasan tahun.
Secara statistik, tingkat kepuasan seksual perempuan dengan suami memang cukup rendah. Sebanyak 64% perempuan mengaku tak puas secara seksual menurut survei APSHOW tahun 2008. Kita perlu data seperti ini supaya para lelaki tahu jika performanya di atas ranjang di bawah standar, mereka butuh berobat.
Sayangnya, hanya 13% pria dengan disfungsi seksual yang mencari pertolongan, dan diperkirakan sebanyak 20% pria punya masalah seksual. Oleh sebab itu, para calon pengantin mesti lakukan cek medis pranikah, dan calon istri bisa titip pesan ke dokter, “Dok, tolong: saya ingin tahu apakah semua sisi kelelakian calon suami saya berfungsi dengan saksama.”
Kembang tak Perlu Layu di Atas Ranjang
Sebetulnya, kembang tak perlu layu di atas ranjang jika ilalang yang memiliki disfungsi seksual mengakui dan terbuka sebelum pernikahan. Kedua, meskipun banyak pria memang hanya pandai bicara seks tapi tak berdaya saat beraksi, ketidakpuasan para perempuan tentu saja tak sepenuhnya salah laki-laki.
Seringkali sebagian perempuan juga malu-malu mengungkapkan perasaan seksualnya secara terbuka, termasuk fantasi-fantasi mereka. Hal ini sering terjadi karena ada stigma bahwa perempuan yang terbuka tentang kebutuhan seks adalah perempuan nakal—tentu saja stigma ini tidak berdasar.
Di sini, kita memerlukan keputusan untuk berani bicara terbuka dengan pasangan: terutama bagaimana perempuan ingin diperlakukan saat berhubungan badan.
Sayangnya, keahlian komunikasi mendalam tak pernah terberi percuma—hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah sadar. Di sinilah pentingnya belajar bersama-sama, bukan perempuan saja—kelas-kelas pernikahan yang saya fasilitasi selalu didominasi peserta perempuan.
Tak sedikit perempuan yang usai belajar tentang pernikahan, begitu sampai di rumah, suaminya malah dengan ketus menukas, “Kamu di sana hanya belajar bagaimana mendurhakai suami, ya?!”
Jika hanya satu yang belajar, biasanya memang tidak ada ketersambungan ide: di sekolah pernikahan sang istri belajar tentang konsep kesalingan (mubadalah) dan kesetaraan (adalah); di rumah suaminya masih kecanduan otoritas. Di sekolah pernikahan, sang istri belajar tentang seksologi dan kesehatan reproduksi; di rumah, sang suami kecanduan maskulinitas dan adrenalin.
Oleh sebab itu, para suami tidaklah patut membiarkan kembang layu di atas ranjang hanya karena terlalu egois untuk belajar, terlalu gengsi untuk bertanya, atau bahkan malu berobat jika ia perlukan. Perempuan adalah manusia utuh: dengan hak untuk kita sentuh dengan lembut, kita cintai dengan setara, dan terpuaskan tanpa harus merasa berdosa. Akan sangat menyakitkan bagi perempuan jika harus merasa dahaga di pelukan pria yang sah. []