Komnas Perempuan (2019) mencatat setidaknya ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang terjadi dan dilaporkan selama tahun 2018. Artinya, setiap hari sekurang-kurangnya ada 955 perempuan Indonesia yang menjadi korban tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Indonesia dalam situasi darurat kekerasan seksual. Mau diem-diem bae?
Stereotip bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah agaknya melahirkan bahaya yang sangat serius. Seiring karakter mereka yang mudah disinggung, diancam, disakiti, dan sebagainya. Dari sinilah awal mula sebab seringkalinya mereka terus-terusan menjadi sasaran empuk terhadap tindak kejahatan yang dilakukan oleh berbagai oknum. Salah satunya adalah pelecehan seksual.
Sudah barang tentu semua tindak kejahatan tak terkecuali pelecehan seksual akan mendapatkan balasan berupa hukuman. Sementara jerat hukum tidak memberikan efek jera bagi mereka secara signifikan, yang ada malahan kejahatan ini kita saksikan makin merajalela.
Aksi-aksi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap wanita semakin marak terjadi di negeri ini. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pun mengatakan bahwa “semua orang dilahirkan bebas dan dengan martabat yang setara”. Pasal ini menjelaskan tentang pemberdayaan perempuan, karena pada realitasnya sekarang perempuan selalu disalahkan dan dijadikan sasaran perilaku kejahatan.
Namun, segala bentuk aturan yang ada, yang tadinya bertujuan untuk mencegah dan meminimalisir tindak kriminalitas, ternyata kini faktanya tidak memberikan efek jera apapun. Kejahatan tersebut telah ada di mana-mana, dengan berbagai cara dan prosesnya yang berbeda-beda.
Cabul, pelecehan seksual, dan seperti semacamnya itu sebenarnya tidak se-enteng kedengarannya. Lebih dari sekedar pemerkosaan, ada juga hal-hal sebelum dan setelah terjadinya perlakuan itu, semisal tindakan pemaksaan, pemerasan, penganiayaan, bahkan tak jarang juga berujung pada pembunuhan.
Kasus pelecehan terjadi yang terjadi saat ini sungguh miris. Dan lebih lagi saat kita semua mendapati bahwa sebagian masyarakat yang mendengar pengakuan korban, alih-alih menghargai, korban malah disudutkan.
Dibilang “suruh siapa mau” lah, dibilang “pakaiannya tak senonoh” lah. Gak sadar apa mbak, mas, itu malah bikin korban semakin terpuruk. Dan, si pelaku merasa mendapat pembelaan. Apa harus kasus seperti ini terjadi pada diri sendiri atau orang terdekat dulu baru punya rasa empati sama korbannya?
Kalau kita tidak lupa, kejadian tak senonoh ini pernah terjadi di Rejang Lebong, Bengkulu pada seorang gadis berumur empat belas tahun yang berinisial YY. Gadis ini mengalami perlakuan sadis yang akhirnya meregang nyawa setelah diperkosa secara bergiliran oleh 14 pria.
Empat belas pemuda laknat tadi melakukan perbuatan keji tersebut setelah menenggak minuman keras berjenis tuak dan menonton video porno yang mereka tonton melalui telepon genggam. Kejadian tersebut terjadi pada 2 April 2016, mayat YY baru ditemukan hampir seminggu setelahnya, dan baru ramai diberitakan pada awal Mei 2016. Ini menandakan kurangnya perhatian masyarakat terhadap kasus-kasus memprihatinkan seperti itu gaes. Mau sampai kapan?
Seringkali masalah seperti ini bikin kita jadi gagal fokus. Orang-orang cenderung mencari salah siapa dari kasus beginian. Apakah akibat kelalaian si korban, atau emang dasar kesalahan murni si pelakunya aja? “Ya salah dua-duanya lah, dimana-mana kucing disodorin ikan ya nyamber.”
Kadang saya bingung sama pandangan kaya begitu, kok bangga banget gitu ya dianggep kucing, lah situ manusia kok bukan kucing. Heran. Manusia kan punya aturan, etika, moral, norma, dogma. Pada dikemanain itu semua?
Walhasil, korban banyak ruginya. Udah korban, disudutkan juga. Udah jatuh ketiban tangga pula. Tapi, klarifikasinya begini, jika emang kejadian seperti pelecehan itu salah korban yang diangggap terlalu mencolok atau tidak senonoh dalam berpakaian, bagaimana terhadap contoh kasus lain yang mana korbannya adalah perempuan yang masih anak-anak, dan berpakaian seragam sekolah? Apakah tetap mau disalahkan Mbak? Mas?
Informasi berikut ini saya harap bisa bikin mereka yang suka nyalahin pakaian si korban pelecehan seksual bisa ‘nyerah’. Ada sebuah penelitian di Brussel, Belgia, yang meneliti sebuah museum yang memamerkan sebanyak 18 baju korban pemerkosaan.
Baju yang dipamerkan tidak ada yang terlalu terbuka atau seksi. Ada piyama, seragam polisi, dan celana jeans. Bahkan, ada juga baju anak My Little Poni. Pameran ini membawa sebuah pesan, bahwa model baju bukanlah pemicu pemerkosaan atau pelecehan seksual.
Banyak korban pelecehan seksual yang disalahkan, akibat baju yang mereka pakai. “Saya waktu itu mengenakan seragam dan bersenjata lengkap, namun tetap tidak bisa menghindari pemerkosaan”, ungkap salah seorang polisi wanita yang pernah menjadi korban pemerkosaan saat sedang menjalankan tugasnya. Jadi, sekali lagi, apakah pelecehan dipicu oleh korbannya?
Sayangnya hanya segelintir kasus yang diangkat ke permukaan publik. Namun kasus serupa yang terjadi di negeri ini sudah sangat banyak. Jadi, Apakah kita akan terus menyalahkan korban atau justru kita sebagai sesama manusia yang peduli harus lebih menegaskan aturan kepada seluruh masyarakat.
Dengan demikian diharapkan bisa saling melindungi agar tindak kejahatan tidak lagi terjadi kepada siapapun, dan pihak manapun. Karena sebagaimana yang kita ketahui bersama sesama manusia. It’s not based on gender, saling melindungi itu harus dilakukan. []