Mubadalah.id – Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama terkait “hijab”. Hal yang lebih penting untuk menjadi perenungan adalah: apakah hijab dapat menjadi tolok ukur untuk menentukan kualitas adab seorang perempuan? Menurut pemikiran Qasim Amin sebelumnya di bagian pertama, jika yang termaksud dengan hijab di sini adalah penutup muka, maka ia tidak ada kaitannya sama sekali dengan adab seorang perempuan, tidak juga dengan level ketaatannya.
Artinya perempuan yang menggunakan penutup muka (cadar, niqab, burka) tidak otomatis menjadi orang yang lebih beradab, dan tidak juga menjadi orang yang lebih taat beragama. Hal ini karena tolok ukur adab dan ketaatan seseorang bukanlah hanya sekadar penutup muka. Karena kalau begitu tolok ukurnya sangat superfisial, melainkan tolok ukurnya adalah pekerjaan amal-amal kebaikan oleh seseorang tersebut.
Karena tolok ukur adab dan ketaatan beragama tidak dapat terukur dari penutup muka. Maka dapat kita katakan bahwa hijab dalam arti cadar dan niqab bukanlah perkara yang menajdi anjuran agama. “Kebenarannya adalah bahwa berniqab dan berburqa bukanlah hal yang Islam ajarkan sebagai bentuk ibadah, atau keberadaban. Melainkan keduanya adalah adat masa lalu sebelum Islam yang masih tetap ada setelahnya.
Hijab bukan Tolok Ukur Kesalehan Perempuan
Buktinya adalah bahwa adat ini [berniqab dan berburqa] tidak dikenal oleh banyak wilayah Muslim, dan bahwa ia pun dikenal pula oleh banyak orang Timur yang tidak beragama Islam.” Qasim Amin melanjutkan: “Adapun hal yang termasuk ajaran Islam adalah menutupkan kain kerudung ke dada (dharb al-khumur ‘ala al-juyūb) sebagaimana jelas dalam ayat [1 surat al-Nūr], dan tidaklah ada pada ayat ini makna burqa dan niqab.”
Dengan demikian alasan kewajiban menutup muka bagi perempuan dari segi dalil agama tidak terlalu kuat. Walaupun perlu penegasan di sini bahwa perdebatan mengenai kuat dan lemahnya dalil tentang hijab ini, terdapat perbedaan pendapat juga, dan akan panjang jika pembahasannya pada tulisan singkat ini.
Dari segi alasan historis, penutup muka bukanlah ajaran murni dari Islam. Melainkan ia sudah terkenal jauh sebelum Islam datang. Bahkan ia menjadi adat bagi orang-orang non-Islam. Dan adapun dari segi alasan logis yang kadang dibuat-buat, seperti misalnya takut menimbulkan fitnah.
Maka ia hanyalah alasan bagi para lelaki yang takut fitnah, “dan bagi mereka para lelaki yang takut fitnah itu seharusnya menundukkan pandangan [bukan malah mewajibkan penutup muka bagi perempuan], sebagaimana jika perempuan takut akan fitnah dari lelaki maka ia juga harus menundukkan pandangan.”
Hukum Keluarga dalam Pemikiran Qasim Amin
Pembahasan isu selanjutnya dalam pemikiran Qasim Amin dalam Tahrīr al-Mar’ah adalah hukum keluarga seperti masalah pernikahan dan talak. Bagian pertama tema ini Qasim Amin memulai dengan membahas masalah pernikahan, mulai dari definisinya yang menurut Qasim Amin agak bermasalah.
Kata Qasim Amin, “saya melihat kitab-kitab para ahli fikih bahwa mereka mendefinisikan pernikahan sebagai ‘akad yang membolehkan seorang laki-laki memiliki alat kelamin perempuan’, dan saya tidak menemukan di dalam definisi tersebut satu kata pun yang menunjukkan bahwa antara mempelai laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan memiliki sesuatu [tujuan] selain bersenang-senang melampiaskan nafsu [seksual].”
Dalam hal ini dapat terlihat perhatian Qasim Amin terhadap khazanah fikih klasik (turāts) dan sikap progresifnya dalam menelaah suatu masalah. Sejak dulu hampir tidak ada orang yang mengkritik definisi pernikahan. Karena ahli fikih sudah dianggap paling benar dalam merumuskan semua definisi dan hukum.
Namun Qasim Amin mencoba bersikap kritis dalam semua definisi dan hukum yang ia temui. Ia pertama-tama menelaah suatu hukum, mencari rujukannya, apa dalilnya, bagaimana metode pengambilan hukumnya, dan apakah hukum tersebut masih relevan.
Kritik terhadap Definisi Pernikahan
Dalam hal definisi pernikahan, Qasim Amin mempertanyakan kenapa tidak tercantum dalam definisi-definisi para ahli fikih klasik sesuatu yang lebih esensial seperti tujuan pernikahan sebagaimana tercantum dalam surat al-Rūm ayat 21 yaitu sakīnah mawaddah dan rahmah. Kalau yang menjadi definisi pernikahan hanyalah tentang seks, kata Qasim Amin, “maka tidak heran betapa pernikahan telah jatuh dalam posisi yang sangat rendah karena tujuan utamanya adalah tercapainya kesenangan laki-laki atas tubuh perempuan untuk kenikmatan semata.
Dan hal ini tentu akan diikuti oleh terciptanya hukum-hukum turunan yang berasal dari fondasi [tujuan pernikahan] yang buruk tadi.” Dengan hal ini Qasim Amin ingin menegaskan bahwa Islam mengajarkan pernikahan bukan untuk tujuan pelampiasan nafsu seksual, karena kalau begitu pernikahan akan menjadi ajaran yang rendah nilainya.
Selain mengkritik definisi pernikahan yang terkesan hanya berorientasi seksual, Qasim Amin juga mengkritik hukum talak yang selama ini dianggap hak prerogatif suami. Sebagaimana diketahui dalam fikih Islam, dari pembahasan pernikahan sampai pembahasan talak, hanya laki-lakilah yang memiliki peran yang signifikan, seperti menjadi wali nikah dan saksi yang mensyaratkan kelaki-lakian (al-dzukūrah) dalam sebuah akad; menjadi pemimpin dalam rumah tangga, dan menjadi pemegang kendali talak.
Semua ini mengesankan bahwa laki-laki adalah makhluk yang tercipta superior dan mendominasi, ia seakan boleh “membeli” perempuan, menyuruhnya melakukan apapun, dan “membuangnya” sekehendak hati. Seakan-akan perempuan hanyalah barang dagangan yang tidak memiliki jiwa. Tentu ini pada akhirnya akan mengesankan adanya suatu diskriminasi hukum dalam fikih Islam yang perlu kita teliti lebih jauh relevansinya.
Usulan Pemikiran Qasim Amin dalam Pemberian Hak-hak Perempuan
Dalam permasalahan talak/perceraian secara khusus, reformasi memerlukan dari dua sisi yang sama-sama penting: hukum Islam, dan hukum positif dan kenegaraan. Dalam hukum Islam, Qasim Amin mengusulkan dua cara untuk memberikan hak bagi perempuan untuk melepaskan diri dari suaminya, jika terjadi pembangkangan atau penelantaran kewajiban, yaitu:
Pertama, menggunakan mazhab yang membolehkan adanya hak gugat cerai bagi perempuan, seperti Imam Malik, ia membolehkan perempuan untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan kalau memang sang suami membangkang;
Kedua, menggunakan mazhab yang mainstream namun dengan syarat adanya perjanjian pada akad nikah bahwa perempuan mendapatkan hak gugatan cerai nantinya, dan pensyaratan seperti ini kesepakatan semua mazhab, dan Qasim Amin lebih condong memilih pandangan kedua ini.
Dalam hukum positif kenegaraan, Qasim Amin juga mengusulkan adanya reformasi hukum terkait permasalahan perceraian. Ia menganjurkan agar pemerintah merumuskan kebijakan yang memang memberikan hak bagi perempuan untuk menggugat. Qasim Amin bahkan menawarkan beberapa pasal yang harus ada dalam Undang-Undang jika akan terumuskan.
Pasal pertama, pasangan yang akan bercerai harus terlebih dahulu mengajukan gugatannya ke pengadilan agama. Pasal kedua, hakim memberikan penyuluhan, dan memberikan mereka waktu untuk berkontemplasi. Pasal ketiga, jika tetap tidak bisa berbaikan, maka hakim harus membicarakan permasalahan ini bersama keluarga pihak suami dan istri (mediasi).
Pasal keempat, kalau keluarga dari kedua belah pihak pun tidak dapat mencapai keputusan yang bulat, maka suami dan istri wajib menulis surat pernyataan perceraian kepada hakim. Dan pasal kelima, perceraian tidak boleh kecuali di depan hakim, dan minimal hadir dua orang saksi. Keputusan ini tidak bisa berlaku kecuali dengan surat keputusan resmi.
Pemikiran Qasim Amin Menjadi Pertimbangan Dunia Islam
Tawaran pemikiran Qasim Amin tentang masalah talak ini sangat terperinci. Sehingga sangat jelas terlihat bahwa ia begitu prihatin terhadap keadaan masyarakat dan pemerintah. Di mana masih memosisikan perempuan sebagai orang yang tidak memiliki kendali sama sekali dalam melepaskan diri dari suaminya.
Dan memang jika membaca semua pembahasan tema yang oleh Qasim Amin dalam kitabnya, keprihatinannya terhadap keadaan perempuan terlihat begitu jelas. Ia prihatin terhadap perempuan karena tidak boleh mendapatkan pendidikan yang layak (sedangkan laki-laki boleh). Tidak keluar rumah dengan bebas (sedangkan laki-laki bisa). Tidak menampakkan wajahnya (sedangkan laki-laki boleh). Tidak boleh menceraikan dan melepaskan diri (sedangkan laki-laki bisa).
Keprihatinan Qasim Amin ini untungnya telah sedikit banyak menjadi pertimbangan dunia Islam saat ini. Khususnya di Indonesia, tema-tema yang Qasim Amin bicarakan dalam kitabnya telah secara masif teraplikasikan. Perempuan sudah dapat hak sepenuhnya untuk berpendidikan, untuk tidak menggunakan penutup muka, dan untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.
Walaupun di negara-negara lain di Timur Tengah hal tersebut masih belum masif. Namun di Mesir secara khusus, tempat Qasim Amin menyuarakan gagasannya itu, tawaran-tawarannya telah banyak teraplikasikan.
Anjuran perempuan kini untuk berpendidikan tinggi, penutup muka dianggap hanya sekadar adat dan bukan kewajiban, serta perempuan boleh mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Hal ini terlihat begitu jelas dalam fatwa-fatwa Lembaga Fatwa Mesir (Dār al-Iftā’ al-Mishriyyah). Khususnya dalam fatwa-fatwa mantan Muftinya yang agung yaitu Syaikh Prof. Ali Jum’ah. []