Mubadalah.id – Perkembangan pendidikan saat ini seakan mengalami penurunan makna jika dilihat dari kenyataan problem yang muncul. Usaha mencerdaskan pikiran, akal, dan akhlak manusia menuju pada keadaan yang lebih baik merupakan makna pendidikan. Namun dalam kenyataannya, lembaga pendidikan belum mampu menangani masalah bullying, dan perundungan. Beberapa kasus menyatakan korban bullying di lingkungan sekolah masih terus bermunculan. Hal ini memunculkan praduga, apa pendidikan di negeri ini telah berada di jalan yang sesuai pencapaian tujuan?
Refleksi Pendidikan Anak
Tujuan pendidikan di Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun apakah benar cerdas yang dimaksud hanya fokus pada pembentukan kecerdasan intelektual (IQ)? Memahami definisi pendidikan seakan perlu menarik nafas dan mengatur jeda untuk membangun kembali makna pendidikan yang sesungguhnya. Apa yang penting?
Banyak orang tua menginginkan anak-anaknya tauladan atau juara di sekolah (read: pintar). Mereka nyaris bangga jika anak mereka mendapat juara kelas. Sering mereka melakukan banyak hal supaya anaknya pintar (intelektual).
Tanpa disadari, orang tua tengah memperalat anak-anak untuk memuaskan keinginan mereka. lalu dimana hak anak jika banyak kewajiban yang dibebankan kepada mereka? Lalu bagaimana nasib anak yang tidak mendapat juara kelas? Beberapa diantara orang tua merasa malu atau tak segan-segan menganggap anaknya “Bodoh.”
Pelabelan “Bodoh” bagi anak oleh orang tua dimaksudkan untuk membuat anak lebih termotivasi belajar. Alih-alih semangat, banyak yang menyerah dan marah hingga menyimpan dendam terhadap orang tua. Lembaga sekolah pun demikian, apresiasi berlebih terhadap juara kelas nyatanya memunculkan stratifikasi sosial di lingkungan pendidikan disebabkan lahirnya julukan Si Pintar dan Si Bodoh.
Pintar sering diukur dari tinggi rendahnya IPK atau nilai rapor. Maka tak heran jika banyak yang berlomba belajar memecahkan masalah ilmu eksak dibanding bidang lainnya (menganaktirikan ilmu lain), karena dianggap tidak begitu penting. Ada pula yang memandang belajar ilmu agama tidak dapat membantu seseorang mencapai cita-cita (bentuk penghakiman terhadap impian seseorang). Padahal setiap orang memiliki cita-cita mulia dengan cara dan alur yang berbeda. Inilah pentingnya AQ sebagai penyeimbang.
Anak, tidak cukup hanya pintar intelektual (IQ). Pintar namun akhlak less di tengah masyarakat menjadi aib atau sampah masyarakat. Orang-orang menjadi tidak respek. Padahal hidup bukan hanya persoalan belajar dan mendapatkan nilai terbaik. Jika selesai masa studi di lembaga sekolah, anak-anak akan kembali ke lingkungan keluarga atau sosial tempat ia dibesarkan. Masyarakat tidak akan bertanya seberapa banyak nilai IPK, nilai rapor. Mereka cenderung menagih “Seberapa bermanfaatkah ilmu anda bagi kami?”
Benar saja yang dikatakan Neil Postman dalam bukunya “Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah” (2019), proses pendidikan bagi anak diibaratkan seperti sosok tanpa mengenal belas kasih. Kehidupan di sekolah telah kehilangan maknanya, peran fungsi pendidikan bagi kehidupan anak didik berpengaruh terhadap perkembangannya.
Pendidikan di lembaga sekolah sudah seharusnya memperhatikan kecerdasan AQ anak. Kesuksesan anak sebagian besar tidak karena basis keilmuan atau kepintarannya. Bila anak merasa gagal, apakah mereka memiliki plan B, C, dan D?
Kecerdasan AQ untuk Bertahan Hidup
Kecerdasan intelegensi (IQ) harus diimbangi dengan kecerdasan lainnya, sebut saja AQ yaitu Adversity Quotient. Dalam pandangan Stoltz (2000) dipahami sebagai kemampuan untuk bertahan hidup, kemampuan menghadapi kesulitan, atau kemampuan melihat masalah sebagai peluang.
Untuk menyeimbangkan potensi yang dimiliki anak, maka penting membekali mereka dengan kecerdasan AQ. Intelegensi jika tidak disandingkan dengan AQ, kemungkinannya anak menjadi rentan lemah ketika dihadapkan dengan masalah.
Menjadi pintar memang sering diidam-idamkan, namun menjadi sosok yang mampu membaca peluang adalah privilege. Pintar dan cerdas secara intelektual namun minim di AQ, ia rentan stress atau menyerah dalam kehidupan.
Pentingnya kecerdasan AQ dengan melatih nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai agama. Pada setiap materi pelajaran, guru sebaiknya menanamkan nilai-nilai positif untuk perkembangan AQ anak. Anak yang memiliki kecerdasan AQ, cakap dalam membaca masalah sebagai solusi. Kemampuan ini jarang dimiliki anak. Ekspektasi orang tua terhadap anak perlu disadari, anak bukanlah robot orang tua ataupun alat.
Salah satu kunci bertahan hidup menjaga komunikasi sosial. Beberapa nilai yang biasanya dimiliki oleh anak dengan kecerdasan AQ; Anak menjadi lebih semangat, percaya diri, memiliki rasa ingin tahu tinggi, penuh semangat, gembira, dan memiliki motivasi tinggi menggapai cita-cita.
Melatih potensi kecerdasan diri di masa anak-anak merupakan masa yang tepat. Masa anak-anak merupakan masa penting pembentukan konsep diri serta kemampuan mengenal diri. Banyak orang tua yang berlomba-lomba menyekolahkan anak serta les privat supaya mahir dalam keilmuan. Namun jarang yang fokus pada pembentukan AQ.
Sikap memanjakan anak oleh orang tua bukan keputusan yang tepat. Anak yang terlampau dimanja cenderung bergantung dan takut. Ia susah mengenal kemampuan diri dan mengenal kemampuannya. Lalu manakah yang harus didahulukan, IQ atau AQ? Tidak ada yang didahulukan, IQ dan AQ harus seimbang karena keduanya saling melengkapi. []