Kesehatan reproduksi seringkali disalah-artikan secara sempit sebagai hubungan seksual saja, sehingga mayoritas orang tua merasa keberatan atau tidak pantas membicarakan isu tersebut kepada anaknya yang masih remaja. Padahal isu kesehatan reproduksi sendiri membicarakan keadaan kesehatan fisik, mental, dan social yang sangat penting untuk dipahami oleh remaja. Hal ini dikarenakan remaja mengalami masa pubertas yang berpotensi menjadi lebih ekspresif dalam mengeksplorasi organ dan perilaku seksualnya.
Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah orang yang berusia 12 hingga 24 tahun. Masa remaja juga dapat dikatakan peralihan dari masa anak menjadi dewasa, yang mana proses pengenalan dan pengetahuan kesehatan reproduksi sebenarnya sudah dimulai pada masa ini. Namun, kenyataannya banyak remaja yang takut membicarakan kesehatan reproduksi, khususnya kepada orang tua karena takut dimarahi, malu, atau dihukum. Jika remaja yang aktif secara seksual enggan membicarakan kesehatan reproduksi, bisa jadi dapat meningkatkan perilaku seks berisiko dan mengakibatkan risiko terkena penyakit menular seksual.
Berbagai penelitian pun menunjukkan bahwa remaja pada usia dini terjebak dalam perilaku reproduksi yang tidak sehat, salah satunya seks pra nikah. Adapun data dari Yayasan Kusuma Buana menunjukkan 10% – 30% remaja yang belum menikah di 12 kota besar di Indonesia menyatakan pernah melakukan hubungan seksual.
Dari data di atas setidaknya kita dapat melihat adanya pergeseran nilai mengenai hubungan seksual sebelum menikah, terutama pada perempuan meskipun laki-laki juga rentan. Sebelumnya pernah ada anggapan bahwa hubungan seksual itu hanya bisa dilakukan jika ada hubungan emosional yang dalam dan terikat oleh pernikahan.
Anggapan itu kemudian bergeser karena perilaku seksual remaja tidak hanya terbatas pada jenis hubungan seksual sebelum menikah, tetapi juga pada perilaku seksual lain seperti touching yang menjadi awal mula terjadinya hubungan seksual dan seolah menjadi suatu hal yang wajib dalam menjalankan hubungan antara remaja laki-laki dan perempuan. Dari perilaku seksual tersebut pada akhirnya banyak diantara remaja yang harus kehilangan masa remajanya dan harus menjadi orang tua dini. Bahkan hal yang lebih krusialnya lagi remaja perempuan harus duduk sebagai pasien di klinik aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkan.
Selain itu, remaja perempuan harus menerima sanksi social yang lebih menyudutkan perempuan dibandingkan laki-laki. Perilaku seksual remaja yang menyimpang dan semakin hari meningkat ini terjadi karena kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi ataupun perilaku seksual yang benar. Dalam hal ini, orangtua sebagai orang terdekat memiliki peranan yang sangat penting dalam menjelaskan kerugian hubungan seksual pra-nikah dari segala sisi, dari potensi penyakit yang dapat ditularkan melalui perilaku seks yang berisiko, hingga konsekuensi dari ketidaksiapan mental dan finansial dalam memulai kehidupan rumah tangga serta kehamilan yang tidak direncanakan.
Ketika orang tua menyampaikan pengetahuan seputar masalah kesehatan reproduksi ini pun tidak hanya wajib bagi remaja perempuan saja. Remaja laki-laki juga harus mengetahui serta mengerti cara hidup dengan system reproduksi yang sehat. Pergaulan yang salah juga pada akhirnya dapat memberi dampak yang merugi pada remaja laki-laki.
Dalam menyampaikan informasi mengenai kesehatan reproduksi ini pun, orang tua perlu menyaring sumber informasi agar pengetahuan yang diberikan kepada remaja akurat dan tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan. Meskipun membicarakan kesehatan reproduksi dengan anak dianggap tabu, mungkin akan lebih baik jika orang tua yang menyampaikannya memiliki prinsip keterbukaan, sehingga remaja juga akan lebih nyaman dan terbuka kepada orang tua mengenai kesehatan reproduksi.
Lalu, apa saja yang seharusnya orang tua informasikan mengenai kesehatan reproduksi kepada remaja? Berikut diantaranya:
Pertama, pahami karakter remaja sebelum diberikan informasi kesehatan reproduksi. Terdapat dua hal krisis yang umum terjadi pada remaja, yaitu masalah yang berkaitan dengan sisi individualnya dan seksualitasnya. Dari sisi individual, remaja sedang mengalami krisis identitas. Umumnya remaja akan menarik diri dari keluarga dan mencari sesuatu yang baru dan satu frekuensi dengan dirinya melalui teman-temannya.
Dalam hal ini, orang tua setidaknya harus memiliki peran sebagai teman yang terpercaya, sehingga remaja ini bisa menerima dengan mudah informasi mengenai kesehatan reproduksi. Dari sisi seksualitas, remaja sedang mengalami masa perkembangan baik secara biologis, fisik, maupun mental. Untuk sisi biologisnya remaja sedang mengalami perkembangan kemampuan reproduksi, dari sisi fisiknya terlihat adanya pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder yang memicu perkembangan mentalnya, yaitu hasrat seksual.
Sehingga dengan adanya perkembangan mental inilah remaja akan mudah tertarik dengan lawan jenisnya yang lebih melihat pada bentuk fisik dibandingkan kepribadiannya. Ketika perubahan ini tidak dipahami orang tua dan menafikan keberadaan naluri seksual remaja tersebut serta lebih memilih untuk menghindari pembicaraan mengenai kesehatan reproduksi, maka tindakan ini secara tidak langsung akan menjadi langkah yang kontra produktif untuk proses pendidikan selanjutnya.
Kedua, berikan informasi kepada remaja bahwa naluri seksual adalah fitrah. Keberadaan naluri seksual pada manusia merupakan sesuatu yang tidak bisa dinafikan atau dihapuskan. Namun bukan berarti naluri seksual ini dibebaskan tanpa adanya aturan. Islam pun cenderung memandang bahwa naluri seksual ini harus terpenuhi, hanya saja bagaimana cara pemenuhannya yang kemudian diatur oleh Islam. Dorongan manusia untuk bergaul dengan lawan jenis pun bukan hal yang dilarang oleh Islam, tapi kembali lagi pemenuhan yang sifatnya berkaitan dengan seksual telah diatur oleh Islam, sebut saja dalam pernikahan.
Ketiga, memahamkan terjadinya pemenuhan naluri seksual yang salah. Orang tua dapat memberi pemahaman kepada remaja untuk mengatur interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Interaksi yang diatur ini bertujuan untuk menjaga terjadinya upaya atau interaksi yang berpotensi meningkatkan hasrat seksual serta dalam rangka memenuhi kebutuhan masing-masing untuk kemaslahatan bersama-sama di tengah masyarakat.
Terdapat salah satu hadits yang mungkin sering kita dengar juga bahwa kita dianjurkan berpuasa untuk mengontrol atau mengendalikan gejolak hasrat seksual bagi seseorang yang belum menikah. Puasa ini dilakukan agar kita juga bisa meningkatkan kemampuan mengendalikan diri.
Keempat, pahamkan bahwa tujuan penciptaan naluri seksual adalah reproduksi. Islam memandang proses reproduksi merupakan bagian dari menjaga kelangsungan generasi manusia. Lahirnya manusia baru pun adalah sesuatu yang patut disyukuri sekaligus tercakup amanah untuk keluarganya. Amanah tersebut berkaitan dengan kewajiban memberi nafkah, pengasuhan, persusuan, pendidikan, perwalian, dan lainnya yang mengiringi suatu proses reproduksi manusia.
Proses reproduksi inilah yang kemudian di dalam ajaran Islam tidak boleh dilakukan sembarangan, karena di dalamnya terdapat tanggung jawab yang harus disempurnakan. Islam menetapkan bahwa sebuah proses reproduksi merupakan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang harus dilakukan dalam bingkai pernikahan.
Namun, bukan berarti kesiapan reproduksi ini menjadi parameter manusia menikah dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan seksual saja. Jika merasa belum mampu dari sisi lain untuk menikah, sebagaimana yang kita tahu untuk meningkatkan self control dapat melakukannya dengan puasa.
Dari sini dapat dipahami juga bahwa ajaran Islam tidak pernah meletakkan kenikmatan berhubungan seksual di luar pernikahan. Justru ajaran Islam meletakkan kenikmatan berhubungan seksual ini sebagai anugerah atau rezeki halal lain yang diberikan oleh Sang Pencipta yang dilakukan dengan cara yang sesuai dengan aturan dan perintah-Nya.
Kelima, pahamkan risiko perilaku seksual yang menyimpang. Jika berhubungan seksual dalam pernikahan adalah anugerah dan rezeki halal, maka ajaran Islam menempatkan hubungan seksual di luar penikahan ke dalam dosa besar. Orang tua dapat memberikan pengertian kepada remaja bahwa perilaku seksual yang menyimpang bukan merupakan bentuk ekspresi ketakwaan kepada Sang Pencipta. Selain itu, orang tua dapat memberikan pemahaman risiko secara fisik, mental, dan social.
Secara fisik, khususnya perempuan yang rentan dengan potensi organ reproduksinya rusak hingga menyebabkan kematian. Maka dari itu, penting juga untuk remaja mengetahui organ reproduksinya, baik bagian luar maupun dalam. Lalu, mental dan social pun kemungkinan besar remaja mengalami perasaan yang tidak nyaman karena bersalah dan berdosa, malu, depresi, dan pesimis. Belum lagi akan menjadi bahan gosip di lingkungannya yang berpotensi meningkatkan risiko kematian juga.
Dengan memahami kenapa remaja itu penting memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi, setidaknya kita membantu memutus rantai pergaulan berisiko, kehamilan tidak diinginkan serta perilaku seksual yang menyimpang. Selain itu, remaja bisa lebih aware untuk menjaga dan merawat organ reproduksinya demi keberlangsungan kehidupan manusia selanjutnya.
Ajaran Islam pun mensyaratkan demikian, yakni proses reproduksi tidak hanya berkaitan dengan hubungan seksual saja, tapi ada pemenuhan tanggung jawab jika ada manusia baru lahir, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan proses reproduksi harus dipersiapkan dengan matang dan terencana. []