Nyaris apatis dan putus asa terhadap isu feminisme kini menjadi hal yang lumrah karena terlalu banyak organisasi maupun komunitas feminisme yang cenderung “garis keras” dan nyaris selalu kontra terhadap paparan-paparan oknum tokoh agama yang menukil ajaran-ajaran agama untuk kepentingan ataupun kepuasan suatu gender tertentu. Bahkan ketika menikah, ada atau tidak ada unsur paksaan, pada akhirnya banyak perempuan memilih meneruskan tradisi dan budaya pernikahan di Indonesia yaitu suami mencari nafkah sedangkan istri mengurus dapur, kasur, dan sumur.
Beruntungnya, meskipun pada akhirnya setelah menikah, saya resign dan mengurus pekerjaan domestik di rumah, saya memiliki pasangan yang tetap memperbolehkan saya tetap menekuni hobi dan aktif berkegiatan sosial seperti aktif dalam pengajian ibu-ibu maupun mengikuti lokakarya kepenulisan. Sampai suatu hari akhirnya saya mengikuti pelatihan menulis dengan konsep Mubaadalah, yang mana setiap penulis diberikan materi tentang kesetaraan yang sumbernya berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits.
Saat itu saya baru ngeh! Ternyata ada sebuah lembaga Feminisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang selama ini menjadi perdebatan banyak pihak terlebih antara organisasi maupun komunitas Feminisme “garis keras” dengan oknum tokoh agama yang sering mencomot ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits yang lebih menguntungkan salah satu gender. Disadari atau tidak, dengan konsep Mubaadalah, Feminisme yang selama ini sering kali berhantaman dengan ajaran agama dan budaya, nyatanya justru berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Hadits.
Tidak ada kesenjangan maupun sikap radikal yang terlalu condong menguntungkan gender tertentu dalam konsep ini. Karena nyatanya dalam al-Qur’an dan al-Hadits pun menyebutkan bahwa sangat mudah berlaku baik, minimal contoh yang mudah adalah jika seseorang tidak ingin disakiti, maka jangan menyakiti. Melalui konsep Mubaadalah juga, akhirnya saya menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits berlian yang justru menjunjung tinggi nilai feminism namun selama ini ditutup-tutupi untuk kepentingan tertentu oleh segelintir tokoh agama.
Seperti halnya kasus poligami yang marak digemborkan oleh oknum agama dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits nabi untuk mengenyangkan hasrat seks belaka, nyatanya dalam konsep ini, akhirnya saya bertemu dengan hadits yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak rela jika putrinya dipoligami.
Andaikata tidak mengenal konsep Mubaadalah, menurut saya, setidaknya yang perlu dicermati tentang pro-kontra poligami adalah bukan poligaminya yang salah, karena Nabi juga melakukan poligami, yang tidak benar adalah ketika poligami sudah menyakiti suatu pihak, maka hal itulah yang tidak diridhoi oleh Allah.
Ketika ada yang merasa terdzalimi dalam poligami, maka Allah tidak menyukainya karena Allah berfirman dalam ayatnya (QS. an-Nisa:3) bahwa “jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka (kawinkanlah) seorang saja.”
Setelah mengikuti workshop kepenulisan Mubaadalah, setidaknya minimal konsep ini perlu saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan yang dilakukan secara rutin setiap hari akan menjadi sebuah kebiasaan yang dikemudian hari akan menjadi karakter dan mengubah tatanan budaya patriarki.
Jika nantinya budaya patriarki dalam keluarga kecil yang saya miliki pada akhirnya luntur setelah terus-menerus menerapkan konsep setara yang diusung oleh penggagas Mubaadalah, hal tersebut tidaklah cukup. Karena budaya adalah milik masyarkat, dan keluarga adalah salah satu komponen pokok dalam bermasyarakat, oleh karena itu perlu keluarga-keluarga lain yang juga harus menerapkan konsep mubaadalah.
Pada dasarnya, untuk membangun masyarakat terutama masyarakat yang peduli terhadap lingkungan dan isu-isu sosial maupun gender dalam kehidupan sehari-hari, perlu dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan berbasis masyarakat yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf serta kualitas hidup suatu masyarakat.
Dalam ilmu pemberdayaan masyarakat, untuk mencapai suatu keberhasilan suatu program pemberdayaan, diperlukan adanya penentuan golongan masyarakat yang didasarkan pada tingkat adopsinya terhadap suatu pembaharuan. Pembagian kelompok adopter ini dibagi berdasarkan kategori sebagai berikut: innovator, early adopter, early majority, late majority, dan laggard.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sedana (2012), diketahui bahwa adopter kategori early adopter dan early majority perlu diprioritaskan dalam pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kategori tersebut merupakan kategori yang mudah ditemukan masyarakat karena jumlahnya banyak dan perilakunya akan lebih mudah diikuti oleh kategori yang lainnya.
Early majority adalah masyarakat yang menyukai gagasan namun tidak mau melakukan inovasi sebelum ada yang mencobanya. Biasanya early majority memiliki karakter senang berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya, jarang mendapatkan posisi opinion leader namun beberapa di antaranya aktif dalam sistem lokal sosial.
Contohnya adalah anggota ibu-ibu PKK, ibu-ibu pengajian, pemuda desa. Sedangkan early adopter cenderung mudah untuk dipengaruhi karena mereka selalu mencari sesuatu yang dapat menguntungkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Early adopter memiliki karakter menjadi role model bagi masyarakat, opininya di dengar oleh masyarakat, memiliki akses dalam sistem lokal sosial, disegani dan dipandang sukses oleh masyarakat. Contohnya adalah perangkat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama.
Sebagai salah satu stakeholder dalam pemberdayaan masyarakat, tokoh agama menjadi sangat penting dalam hal ini. Hal tersebut dikarenakan tokoh agama menjadi salah satu faktor yang dipercayai dan tindak tanduknya diikuti oleh masyarakat. Tokoh agama juga memiliki waktu yang fleksibel dan sangat intens untuk bertemu dengan masyarakatnya, seperti ketika kultum setelah sholat lima waktu, khutbah jum’at, pertemuan ibu-ibu PKK, perkumpulan bapak-bapak, pengajian rutin warga, dan masih banyak lainnya.
Oleh karena itu, jika masyarakat selalu dipaparkan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits yang mengesampingkan suatu gender sehingga hak dan kewajibannya terdapat banyak ketimpangan dan kesenjangan, tentu paradigma dan budaya di masyarakat akan sama seperti apa yang dipaparkan oleh panutannya.
Namun jika ingin memiliki masyarakat yang pola hidupnya mengedepankan konsep Mubaadalah, maka salah satu kuncinya adalah memberikan pelatihan terkait ilmu dan konsep Mubaadalah kepada tokoh agamanya. Ketika konsep ini sampai kepada tokoh agama selaku penyebar ajaran agama, maka konsep ini akan lebih mudah diterima dan diterapkan oleh Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari karena adanya paparan yang rutin dilakukan oleh tokoh agama tersebut.
Berkaca dari hal ini, perkumpulan JMQH cenderung efektif untuk dijadikan salah satu ujung tombak penyebarluasan konsep mubaadalah karena di dalamnya terdapat perkumpulan masyarakat early adopter dan early majority yang terdiri dari para hafidzah yang tergabung dalam Jam’iyyah Mudarasatil Qur’an Lil Hafidzat (JMQH).
Berdasarkan data yang ada, terdapat 5.439 hafidzah yang terdaftar mengikuti pembacaan al-Qur’an di Masjid Agung Jawa Tengah pada 25 Juli 2019. Jumlah fantastis di atas akan sangat mudah menyebarluaskan konsep Mubaadalah jika menjadikan para anggota JMQH sebagai tongkat estafet konsep Mubaadalah.
Hal tersebut disebabkan, selain karena para hafidzah telah terorganisir mulai dari tingkat kecamatan, para hafidzah juga telah memiliki hafalan al-Qur’an yang akan memudahkan dalam proses pembelajaran konsep Mubaadalah.
Selain itu, anggota JMQH juga banyak yang menjadi tokoh agama di wilayahnya masing-masing. Tidak hanya menjadi tokoh agama, beberapa anggota JMQH yang tersebar di berbagai wilayah juga telah mempunyai pondok pesantren sehingga akan lebih memudahkan dalam menyebarluaskan konsep Mubaadalah ke generasi yang akan datang.
Salah satu cara yang dapat diterapkan untuk menyebarluaskan konsep mubaadalah dalam perkumpulan JMQH adalah dengan memberikan edukasi dan pelatihan writing class teori mubaadalah terhadap anggota JMQH yang memiliki ciri-ciri early adopter. Mengajarkan sholawat kesetaraan kepada setiap anggota JMQH agar dapat digaungkan di setiap pertemuan rutin. Mengadakan kajian kitab kuning berbasis mubaadalah seperti kitab-kitab yang berjudul Nabiyurrahmah, Sittin Al-‘Adliyah, dan Mambaus Sa’adah.
JMQH berdiri sekitar tahun 2012 dan hanya dengan 7 tahun yakni 2019, perkumpulan ini mampu tumbuh dan berkembang pesat hingga ribuan anggotanya diberbagai wilayah yang terorganisir mulai dari tingkat kecamatan. Waktu yang relatif singkat untuk sebuah perubahan. Bisa dibayangkan jika itu terjadi pada konsep mubaadalah yang disebarluaskan melalui perkumpulan ini. Subhanallah. Wallahu a’lam.[]