Minggu, 2 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Perempuan Kurang Akal

    Perempuan Kurang Akal, atau Tafsir Kita yang Kurang Kontekstual?

    Menghapus Kata Cacat

    Menghapus Kata Cacat dari Pikiran; Bahasa, Martabat dan Cara Pandang terhadap Disabilitas

    Kurang Akal

    Saatnya Mengakhiri Mitos Perempuan Kurang Akal

    Fahmina

    Refleksi Perjalanan Bersama Fahmina; Ketika Mubadalah Menjadi Pelabuhan Jiwaku

    Kesaksian Perempuan

    Kesaksian Perempuan Bukan Setengah Nilai Laki-Laki

    Raisa dan Hamish Daud

    Berkaca pada Cermin Retak; Kisah Raisa dan Hamish Daud

    KTD

    Perempuan Korban KTD, Boleh Aborsi Kah?

    Kerentanan Berlapis

    Menggali Kerentanan Berlapis yang Dialami Perempuan Disabilitas

    Kesaksian Perempuan

    Menafsir Ulang Kesaksian Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Perempuan Kurang Akal

    Perempuan Kurang Akal, atau Tafsir Kita yang Kurang Kontekstual?

    Menghapus Kata Cacat

    Menghapus Kata Cacat dari Pikiran; Bahasa, Martabat dan Cara Pandang terhadap Disabilitas

    Kurang Akal

    Saatnya Mengakhiri Mitos Perempuan Kurang Akal

    Fahmina

    Refleksi Perjalanan Bersama Fahmina; Ketika Mubadalah Menjadi Pelabuhan Jiwaku

    Kesaksian Perempuan

    Kesaksian Perempuan Bukan Setengah Nilai Laki-Laki

    Raisa dan Hamish Daud

    Berkaca pada Cermin Retak; Kisah Raisa dan Hamish Daud

    KTD

    Perempuan Korban KTD, Boleh Aborsi Kah?

    Kerentanan Berlapis

    Menggali Kerentanan Berlapis yang Dialami Perempuan Disabilitas

    Kesaksian Perempuan

    Menafsir Ulang Kesaksian Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Perempuan dalam Keluarga Gus Dur Tidak Dikhitan

Ibu Nyai Sinta Nuriyah sendiri telah tercatat pula sebagai tokoh penting dalam upaya pencegahan praktik khitan atau sunat perempuan dalam laporan United Nations Population Fund (UNFPA)

Hafidzoh Almawaliy Ruslan Hafidzoh Almawaliy Ruslan
2 Februari 2025
in Featured, Personal
0
Khitan Perempuan

Khitan Perempuan

809
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Semua anak perempuan saya, cucu perempuan saya, anak-anak perempuan dalam keluarga besar Mbah Hasyim Asyari, kakeknya Gus Dur, tidak ada yang bersunat”.

Mubadalah.id – Kalimat tersebut diungkapkan Ibu Nyai Dr. (H.C.) Dra. Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid, M.Hum., dalam wawancaranya bersama Gatra, edisi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II dengan tajuk Perempuan, Agama dan Ulama. Ini Edisi Khusus terbit pada Lebaran yang redaksi cetak ulang.

Ini merupakan kerjasama dengan Rumah KitaB (Rumah Kita Bersama), dengan sejumlah revisi dan penambahan narasumber penting yang butuh dituliskan kiprahnya dalam gerakan perempuan di Indonesia. Tujuannya guna sambut helatan KUPI II akhir November 2022.

Sebagai lokomotif gerakan perempuan Islam adil gender di Indonesia, Ibu Nyai Sinta Nuriyah sendiri telah tercatat pula sebagai tokoh penting dalam upaya pencegahan praktik khitan atau sunat perempuan dalam laporan United Nations Population Fund (UNFPA) atau Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia tegas berpendapat bahwa khitan perempuan bukanlah ajaran Islam.

Hal itu merupakan tradisi yang sudah dipraktikkan sejak zaman jahiliyah, dan tak ada dalil agama yang menguatkan. Bahkan menurutnya Rasulullah sendiri tidak melakukan sunat pada putri dan cucu perempuannya. Rasulullah terekam dalam salah satu riwayat hadis tidak pernah menginginkan pelaksanaan sunat yang menyiksa perempuan.

Demikianlah bacaan turats Ibu Nyai Sinta Nuriyah tentang khitan perempuan. Karena sesungguhnya ia adalah pioner pengajian kitab-kitab kuning dengan perspektif adil gender tidak hanya di Indonesia, bahkan (mungkin) di dunia.

Apa yang ia upayakan dan menjadi pendapat serta pandangannya merupakan reaktualisasi atas sumber-sumber ajaran agama, justru agar kitab-kitab tersebut tetap terus bisa kita gunakan dan menjadi rujukan umat dalam mencari dan menemukan jawaban dari persoalan keagamaan yang lebih berkeadilan. Jauh dari interpretasi patriarkhi yang merugikan perempuan sekaligus kaum laki-laki sendiri.

Asal-usul Praktik Khitan Perempuan

Di kalangan masyarakat dunia yang mempraktikkan sunat perempuan, ada bermacam-macam alasan berbeda. Mulai dari alasan tradisi, adat-istiadat, kebiasaan, hingga alasan mengikuti ajaran agama.

Tetapi untuk mendapatkan alasan yang pasti, harus kita cari tahu dari mana asal-usul sunat perempuan itu berlaku. Namun hal itu hampir tidak mungkin kita temukan. Sebab praktiknya telah berlangsung berabad-abad di tengah masyarakat yang berbeda adat-istiadat, agama, wilayah, tempat tinggal, iklim, kebudayaan, ras, dan sebagainya.

Menurut ahli, pemberlakuan sunat perempuan pertama kali di kawasan Mesir, sebagai bagian upacara bagi perempuan yang telah beranjak dewasa. Ini merupakan akulturasi budaya antara penduduk Mesir dan Romawi yang telah bergumul saat itu. Dari sini tradisi sunat perempuan mulai mereka jalankan. Mereka gunakan kata infibulasi yang berasal dari bahasa Romawi ”fibula” yang artinya menyatukan atau menempelkan.

Saat itu, masyarakat Romawi menerapkan praktik infibulasi pada budak perempuannya untuk meningkatkan daya jual mereka di pasar. Sementara masyarakat Mesir mengadopsi praktiknya untuk tujuan membuat perempuan Mesir lebih mereka minati dan sekaligus menjaga kegadisan. Lambat laun, praktik sunat perempuan pun kelompok-kelompok agama tertentu melakukannya, dan jadi tradisi populer. Namun alasan agama bukan jadi alasan utama dalam setiap praktiknya.

Tiga Alasan Pelanggengan Praktik Khitan Perempuan

Alasan-alasan itu lebih kepada, pertama, persoalan identitas budaya. Khitan perempuan dianggap menjalankan tradisi budaya sebagai inisiasi bagi seorang perempuan memasuki tahap kedewasaan dan menjadi bagian resmi dari sebuah kelompok masyarakat.

Kedua, persoalan identitas Gender. Di sini ada anggapan praktik khitan akan berikan perbedaan jenis kelamin dan peran perempuan di masa depan dalam kehidupan perkawinan. ‘Pengangkatan’ klitoris dianggap sebagai proses penghilangan organ laki-laki pada tubuh perempuan, sehingga feminitasnya dinilai akan sempurna; dan kepatuhan serta kelemahannya akan segera terbentuk akibat trauma yang didapatkan dari berkhitan.

Ketiga, persoalan kontrol seksualitas serta fungsi reproduksi perempuan. Dengan khitan dipercaya perempuan akan dapat terkurangi hasrat seksualnya, sehingga tidak menjadi ‘jalang’ saat dewasa. Keempat, alasan kebersihan, kesehatan dan kesuburan. Di sini khitan dikaitkan tindakan penyucian diri bagi perempuan, sehingga dianggap jadi lebih subur dan mudah melahirkan.

Paham di Balik Khitan Perempuan

Persoalan paham atau ideologi di balik praktik khitan perempuan adalah hal yang paling rumit untuk kita buktikan. Sebab ideologi biasanya jadi alasan kuat yang tidak akan pernah muncul ke permukaan.

Namun Nawal El Saadawi telah lama dengan kritis membongkar persoalan ideologi di balik praktik khitan perempuan. Feminis muslim asal Mesir ini yang seorang dokter sekaligus, juga adalah korban praktik ‘eksisi’. Ia menyampaikan, sunat perempuan sesungguhnya adalah usaha menjaga ‘mitos’ keperawanan dan ‘mengebiri’ (mengurangi) hasrat seksual perempuan.

Ini adalah tindakan dominasi atas otoritas tubuh perempuan dalam masyarakat patriarkhal, yang tak segan memperalat kelemahan seksual perempuan sebagai tameng, legitimasi tindakan poligami.

Sedang tokoh feminis muslim Indonesia sendiri, seperti Farha Ciciek Assegaf juga lama berpendapat praktik sunat perempuan yang terjadi di seluruh dunia tidak lain adalah bentuk pertunjukan kekuasaan patriarkhi atas diri perempuan. Budaya ini teramat bernafsu untuk kontrol seksualitas dan tubuh perempuan. Jadi tidak peduli apakah praktik sunat dilakukan secara nyata, atau simbolis.

Bahkan yang simbolis inilah, seperti dengan gunakan kunyit (atau mencubit), justru menurutnya jauh lebih berbahaya, karena sebagai bentuk melanggengkan penjajahan abadi paham patriarkhal atas eksistensi perempuan secara terus-menerus, tanpa berdaya.

Praktiknya di Indonesia

Dalam laporan WHO (World Health Organization) 2018 tentang Female Genital Mutilation (FGM) atau Pemotongan/ Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), diperkirakan 200 juta perempuan dan anak perempuan di dunia pernah alami praktik khitan.

Dan ini tidak hanya dipraktikkan oleh umat beragama Islam saja. Perempuan non-muslim di wilayah Sub-Sahara Afrika, seperti Mesir, Sudan, Somalia, Ethiopia, Kenya, dan Chad juga mengalaminya. Bahkan bisa lebih ekstrem ketimbang negara Asia, seperti Filipina, Malaysia, dan Indonesia.

Di Indonesia data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2013, menyebutkan 51.2 % anak perempuan usia 0 -11 tahun alami P2GP. Studi ini memang tidak mewakili Indonesia secara keseluruhan. Namun memberi data prevalensi praktik P2GP di 10 provinsi/ kabupaten. Antara lain, Dumai, Meranti, Jambi, Bangka Belitung, Pandeglang, Lebak, Bogor, Banjar, Samarinda, Lombok, juga Gorontalo.

Sementara hasil kajian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada (PSKK UGM) dan Komnas Perempuan 2017 menunjukkan bahwa praktik P2GP di Indonesia setidaknya terjadi dalam 4 tipe. Tipe pertama dan ke-4 sebagai praktik dominan.

Pertama, klitoridektomi, yaitu penghilangan sebagian atau seluruh bagian dari klitoris (bagian kecil dan sensitif dari genitalia perempuan). Kedua, eksisi, yaitu penghilangan sebagian atau seluruh bagian klitoris dan labia minora (bagian dalam vulva yang berlipat), dengan atau tanpa memotong labia mayora.

Ketiga, infibulasi, yaitu penyempitan liang vagina dengan segel, dibentuk dengan cara memotong, mereposisi labia minora dan atau labia mayora, dengan cara menjahit, dengan atau tanpa memotong klitoris. Keempat, semua prosedur bahaya terhadap genitalia perempuan untuk alasan non medis. Sebagai contoh melubangi (pricking), menusuk (piercing), memotong (incising), menggores (scraping), dan katerisasi (cauterization).

Tak ada Manfaat dalam Khitan Perempuan

Studi PSKK dan Komnas Perempuan ini juga menyebutkan, cara padang praktik P2GP miliki manfaat bagi perempuan sangat bertentangan dengan bukti-bukti medis yang menunjukkan bahayanya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Secara khusus P2GP dengan memotong jaringan atau bagian organ genitalia yang sehat bisa berakibat infeksi, kerusakan organ reproduksi, gangguan kesehatan jangka panjang, bahkan kematian.

Secara psikologis sunat perempuan dilakukan untuk kurangi atau hilangkan sensitivitas jaringan daerah genital, terutama klitoris, untuk kontrol potensi seksual perempuan yang melekat sejak dilahirkan sebagai anugerah Tuhan.

Tapi justru tujuan inilah yang berdampak buruk bagi perempuan. Dalam jangka panjang perempuan akan cenderung tidak bisa menikmati relasi seksual dalam pernikahan. Bahkan dari sisi psikis juga dapat tinggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan, rasa rendah diri dan tidak sempurna.

Secara fisik, dampak langsungnya juga akan timbulkan rasa sakit, perdarahan, syok, tertahannya urin, serta luka pada jaringan sekitar organ genital. Perdarahan dan infeksi pada kasus tertentu akan berakibat fatal pula berupa kematian. Sementara, dampak jangka panjang selain rasa sakit dan disfungsi seksual, adalah termasuk timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat, atau kesulitan saat melahirkan.

Putusan Kongres Ulama Perempuan

Jika sudah demikian, pengalaman buruk perempuan yang dikhitan adalah bisa menjadi dalalah ghairu lafdziyah ‘aqliyah untuk menyatakan ada alarm bahaya atas praktiknya yang merugikan. Dengan begitu khitan perempuan tidak hanya harus kita tinggalkan. Bahkan, jika nyata membahayakan perempuan, ia bisa jatuh pada hukum haram.

Pada KUPI II, Musyawarah Keagamaan tentang perlindungan perempuan dari bahaya Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP). Hasilnya bahwa tindakan P2GP yang membahayakan dan tanpa alasan medis adalah haram. Musyawarah ini juga memutuskan bahwa semua pihak bertanggungjawab untuk mencegah tindakan P2GP yang membahayakan dan tanpa alasan medis, terutama individu, orang tua, keluarga, masyarakat, tokoh adat, agama, paraji atau sebutan lainnya, hingga pelaku usaha, tenaga kesehatan, pemerintah, dan negara. Hukum menggunakan wewenang dari semuanya untuk melindungi perempuan dari bahaya P2GP yang membahayakan tanpa alasan medis, menurut hasil Musyawarah ini, adalah wajib.

Sebagai ibunda dari dua putri, rasanya penulis beruntung sekali telah menerima sosialisasi tentang bahayanya khitan perempuan semenjak awal, 2009. Hingga penulis bisa melakukan pencegahan atas praktiknya pada kedua putri sendiri, dengan lakukan negosiasai terhadap lingkungan, keluarga, dan pasangan saat itu.

Akhirnya, untuk seluruh pembaca budiman; Selamat Peringati Hari Pergerakan Perempuan Nasional Indonesia 2022. Bergeraklah meski dari balik bilik rumah kecilmu. Demi masa depan anak-anak dan negeri tumpah darahmu; Hentikan sekarang juga praktik khitan perempuan yang masih mengancam. Wallu a’lam. []

Tags: bulan gus durFatwa KUPIgus durHasil KUPI IIKhitan PerempuanP2GP
Hafidzoh Almawaliy Ruslan

Hafidzoh Almawaliy Ruslan

Ibu dua putri, menyukai isu perempuan dan anak, sosial, politik, tasawuf juga teologi agama-agama

Terkait Posts

P2GP
Keluarga

P2GP, Warisan Kekerasan yang Mengancam Tubuh Perempuan

28 Oktober 2025
P2GP
Keluarga

P2GP, Praktik Berbahaya yang Masih Mengancam Anak Perempuan Indonesia

27 Oktober 2025
P2GP
Keluarga

P2GP: Antara Agama, Tradisi, dan Kekeliruan yang Terus Diwariskan

26 Oktober 2025
P2GP
Keluarga

P2GP, Praktik yang Mengancam Nyawa Perempuan

26 Oktober 2025
Praktik P2GP
Publik

Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP

24 Oktober 2025
Gus Dur dan Daisaku Ikeda
Aktual

Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

14 Oktober 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fahmina

    Refleksi Perjalanan Bersama Fahmina; Ketika Mubadalah Menjadi Pelabuhan Jiwaku

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saatnya Mengakhiri Mitos Perempuan Kurang Akal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Kurang Akal, atau Tafsir Kita yang Kurang Kontekstual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berkaca pada Cermin Retak; Kisah Raisa dan Hamish Daud

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kesaksian Perempuan Bukan Setengah Nilai Laki-Laki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan Kurang Akal, atau Tafsir Kita yang Kurang Kontekstual?
  • Menghapus Kata Cacat dari Pikiran; Bahasa, Martabat dan Cara Pandang terhadap Disabilitas
  • Saatnya Mengakhiri Mitos Perempuan Kurang Akal
  • Refleksi Perjalanan Bersama Fahmina; Ketika Mubadalah Menjadi Pelabuhan Jiwaku
  • Kesaksian Perempuan Bukan Setengah Nilai Laki-Laki

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID