“Semua anak perempuan saya, cucu perempuan saya, anak-anak perempuan dalam keluarga besar Mbah Hasyim Asyari, kakeknya Gus Dur, tidak ada yang bersunat”.
Mubadalah.id – Kalimat tersebut diungkapkan Ibu Nyai Dr. (H.C.) Dra. Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid, M.Hum., dalam wawancaranya bersama Gatra, edisi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II dengan tajuk Perempuan, Agama dan Ulama. Ini Edisi Khusus terbit pada Lebaran yang redaksi cetak ulang.
Ini merupakan kerjasama dengan Rumah KitaB (Rumah Kita Bersama), dengan sejumlah revisi dan penambahan narasumber penting yang butuh dituliskan kiprahnya dalam gerakan perempuan di Indonesia. Tujuannya guna sambut helatan KUPI II akhir November 2022.
Sebagai lokomotif gerakan perempuan Islam adil gender di Indonesia, Ibu Nyai Sinta Nuriyah sendiri telah tercatat pula sebagai tokoh penting dalam upaya pencegahan praktik khitan atau sunat perempuan dalam laporan United Nations Population Fund (UNFPA) atau Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia tegas berpendapat bahwa khitan perempuan bukanlah ajaran Islam.
Hal itu merupakan tradisi yang sudah dipraktikkan sejak zaman jahiliyah, dan tak ada dalil agama yang menguatkan. Bahkan menurutnya Rasulullah sendiri tidak melakukan sunat pada putri dan cucu perempuannya. Rasulullah terekam dalam salah satu riwayat hadis tidak pernah menginginkan pelaksanaan sunat yang menyiksa perempuan.
Demikianlah bacaan turats Ibu Nyai Sinta Nuriyah tentang khitan perempuan. Karena sesungguhnya ia adalah pioner pengajian kitab-kitab kuning dengan perspektif adil gender tidak hanya di Indonesia, bahkan (mungkin) di dunia.
Apa yang ia upayakan dan menjadi pendapat serta pandangannya merupakan reaktualisasi atas sumber-sumber ajaran agama, justru agar kitab-kitab tersebut tetap terus bisa kita gunakan dan menjadi rujukan umat dalam mencari dan menemukan jawaban dari persoalan keagamaan yang lebih berkeadilan. Jauh dari interpretasi patriarkhi yang merugikan perempuan sekaligus kaum laki-laki sendiri.
Asal-usul Praktik Khitan Perempuan
Di kalangan masyarakat dunia yang mempraktikkan sunat perempuan, ada bermacam-macam alasan berbeda. Mulai dari alasan tradisi, adat-istiadat, kebiasaan, hingga alasan mengikuti ajaran agama.
Tetapi untuk mendapatkan alasan yang pasti, harus kita cari tahu dari mana asal-usul sunat perempuan itu berlaku. Namun hal itu hampir tidak mungkin kita temukan. Sebab praktiknya telah berlangsung berabad-abad di tengah masyarakat yang berbeda adat-istiadat, agama, wilayah, tempat tinggal, iklim, kebudayaan, ras, dan sebagainya.
Menurut ahli, pemberlakuan sunat perempuan pertama kali di kawasan Mesir, sebagai bagian upacara bagi perempuan yang telah beranjak dewasa. Ini merupakan akulturasi budaya antara penduduk Mesir dan Romawi yang telah bergumul saat itu. Dari sini tradisi sunat perempuan mulai mereka jalankan. Mereka gunakan kata infibulasi yang berasal dari bahasa Romawi ”fibula” yang artinya menyatukan atau menempelkan.
Saat itu, masyarakat Romawi menerapkan praktik infibulasi pada budak perempuannya untuk meningkatkan daya jual mereka di pasar. Sementara masyarakat Mesir mengadopsi praktiknya untuk tujuan membuat perempuan Mesir lebih mereka minati dan sekaligus menjaga kegadisan. Lambat laun, praktik sunat perempuan pun kelompok-kelompok agama tertentu melakukannya, dan jadi tradisi populer. Namun alasan agama bukan jadi alasan utama dalam setiap praktiknya.
Tiga Alasan Pelanggengan Praktik Khitan Perempuan
Alasan-alasan itu lebih kepada, pertama, persoalan identitas budaya. Khitan perempuan dianggap menjalankan tradisi budaya sebagai inisiasi bagi seorang perempuan memasuki tahap kedewasaan dan menjadi bagian resmi dari sebuah kelompok masyarakat.
Kedua, persoalan identitas Gender. Di sini ada anggapan praktik khitan akan berikan perbedaan jenis kelamin dan peran perempuan di masa depan dalam kehidupan perkawinan. ‘Pengangkatan’ klitoris dianggap sebagai proses penghilangan organ laki-laki pada tubuh perempuan, sehingga feminitasnya dinilai akan sempurna; dan kepatuhan serta kelemahannya akan segera terbentuk akibat trauma yang didapatkan dari berkhitan.
Ketiga, persoalan kontrol seksualitas serta fungsi reproduksi perempuan. Dengan khitan dipercaya perempuan akan dapat terkurangi hasrat seksualnya, sehingga tidak menjadi ‘jalang’ saat dewasa. Keempat, alasan kebersihan, kesehatan dan kesuburan. Di sini khitan dikaitkan tindakan penyucian diri bagi perempuan, sehingga dianggap jadi lebih subur dan mudah melahirkan.
Paham di Balik Khitan Perempuan
Persoalan paham atau ideologi di balik praktik khitan perempuan adalah hal yang paling rumit untuk kita buktikan. Sebab ideologi biasanya jadi alasan kuat yang tidak akan pernah muncul ke permukaan.
Namun Nawal El Saadawi telah lama dengan kritis membongkar persoalan ideologi di balik praktik khitan perempuan. Feminis muslim asal Mesir ini yang seorang dokter sekaligus, juga adalah korban praktik ‘eksisi’. Ia menyampaikan, sunat perempuan sesungguhnya adalah usaha menjaga ‘mitos’ keperawanan dan ‘mengebiri’ (mengurangi) hasrat seksual perempuan.
Ini adalah tindakan dominasi atas otoritas tubuh perempuan dalam masyarakat patriarkhal, yang tak segan memperalat kelemahan seksual perempuan sebagai tameng, legitimasi tindakan poligami.
Sedang tokoh feminis muslim Indonesia sendiri, seperti Farha Ciciek Assegaf juga lama berpendapat praktik sunat perempuan yang terjadi di seluruh dunia tidak lain adalah bentuk pertunjukan kekuasaan patriarkhi atas diri perempuan. Budaya ini teramat bernafsu untuk kontrol seksualitas dan tubuh perempuan. Jadi tidak peduli apakah praktik sunat dilakukan secara nyata, atau simbolis.
Bahkan yang simbolis inilah, seperti dengan gunakan kunyit (atau mencubit), justru menurutnya jauh lebih berbahaya, karena sebagai bentuk melanggengkan penjajahan abadi paham patriarkhal atas eksistensi perempuan secara terus-menerus, tanpa berdaya.
Praktiknya di Indonesia
Dalam laporan WHO (World Health Organization) 2018 tentang Female Genital Mutilation (FGM) atau Pemotongan/ Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), diperkirakan 200 juta perempuan dan anak perempuan di dunia pernah alami praktik khitan.
Dan ini tidak hanya dipraktikkan oleh umat beragama Islam saja. Perempuan non-muslim di wilayah Sub-Sahara Afrika, seperti Mesir, Sudan, Somalia, Ethiopia, Kenya, dan Chad juga mengalaminya. Bahkan bisa lebih ekstrem ketimbang negara Asia, seperti Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Di Indonesia data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2013, menyebutkan 51.2 % anak perempuan usia 0 -11 tahun alami P2GP. Studi ini memang tidak mewakili Indonesia secara keseluruhan. Namun memberi data prevalensi praktik P2GP di 10 provinsi/ kabupaten. Antara lain, Dumai, Meranti, Jambi, Bangka Belitung, Pandeglang, Lebak, Bogor, Banjar, Samarinda, Lombok, juga Gorontalo.
Sementara hasil kajian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada (PSKK UGM) dan Komnas Perempuan 2017 menunjukkan bahwa praktik P2GP di Indonesia setidaknya terjadi dalam 4 tipe. Tipe pertama dan ke-4 sebagai praktik dominan.
Pertama, klitoridektomi, yaitu penghilangan sebagian atau seluruh bagian dari klitoris (bagian kecil dan sensitif dari genitalia perempuan). Kedua, eksisi, yaitu penghilangan sebagian atau seluruh bagian klitoris dan labia minora (bagian dalam vulva yang berlipat), dengan atau tanpa memotong labia mayora.
Ketiga, infibulasi, yaitu penyempitan liang vagina dengan segel, dibentuk dengan cara memotong, mereposisi labia minora dan atau labia mayora, dengan cara menjahit, dengan atau tanpa memotong klitoris. Keempat, semua prosedur bahaya terhadap genitalia perempuan untuk alasan non medis. Sebagai contoh melubangi (pricking), menusuk (piercing), memotong (incising), menggores (scraping), dan katerisasi (cauterization).
Tak ada Manfaat dalam Khitan Perempuan
Studi PSKK dan Komnas Perempuan ini juga menyebutkan, cara padang praktik P2GP miliki manfaat bagi perempuan sangat bertentangan dengan bukti-bukti medis yang menunjukkan bahayanya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Secara khusus P2GP dengan memotong jaringan atau bagian organ genitalia yang sehat bisa berakibat infeksi, kerusakan organ reproduksi, gangguan kesehatan jangka panjang, bahkan kematian.
Secara psikologis sunat perempuan dilakukan untuk kurangi atau hilangkan sensitivitas jaringan daerah genital, terutama klitoris, untuk kontrol potensi seksual perempuan yang melekat sejak dilahirkan sebagai anugerah Tuhan.
Tapi justru tujuan inilah yang berdampak buruk bagi perempuan. Dalam jangka panjang perempuan akan cenderung tidak bisa menikmati relasi seksual dalam pernikahan. Bahkan dari sisi psikis juga dapat tinggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan, rasa rendah diri dan tidak sempurna.
Secara fisik, dampak langsungnya juga akan timbulkan rasa sakit, perdarahan, syok, tertahannya urin, serta luka pada jaringan sekitar organ genital. Perdarahan dan infeksi pada kasus tertentu akan berakibat fatal pula berupa kematian. Sementara, dampak jangka panjang selain rasa sakit dan disfungsi seksual, adalah termasuk timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat, atau kesulitan saat melahirkan.
Putusan Kongres Ulama Perempuan
Jika sudah demikian, pengalaman buruk perempuan yang dikhitan adalah bisa menjadi dalalah ghairu lafdziyah ‘aqliyah untuk menyatakan ada alarm bahaya atas praktiknya yang merugikan. Dengan begitu khitan perempuan tidak hanya harus kita tinggalkan. Bahkan, jika nyata membahayakan perempuan, ia bisa jatuh pada hukum haram.
Pada KUPI II, Musyawarah Keagamaan tentang perlindungan perempuan dari bahaya Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP). Hasilnya bahwa tindakan P2GP yang membahayakan dan tanpa alasan medis adalah haram. Musyawarah ini juga memutuskan bahwa semua pihak bertanggungjawab untuk mencegah tindakan P2GP yang membahayakan dan tanpa alasan medis, terutama individu, orang tua, keluarga, masyarakat, tokoh adat, agama, paraji atau sebutan lainnya, hingga pelaku usaha, tenaga kesehatan, pemerintah, dan negara. Hukum menggunakan wewenang dari semuanya untuk melindungi perempuan dari bahaya P2GP yang membahayakan tanpa alasan medis, menurut hasil Musyawarah ini, adalah wajib.
Sebagai ibunda dari dua putri, rasanya penulis beruntung sekali telah menerima sosialisasi tentang bahayanya khitan perempuan semenjak awal, 2009. Hingga penulis bisa melakukan pencegahan atas praktiknya pada kedua putri sendiri, dengan lakukan negosiasai terhadap lingkungan, keluarga, dan pasangan saat itu.
Akhirnya, untuk seluruh pembaca budiman; Selamat Peringati Hari Pergerakan Perempuan Nasional Indonesia 2022. Bergeraklah meski dari balik bilik rumah kecilmu. Demi masa depan anak-anak dan negeri tumpah darahmu; Hentikan sekarang juga praktik khitan perempuan yang masih mengancam. Wallu a’lam. []