Mubadalah.id – Masih banyak orang beranggapan bahwa perempuan secara kodrati lebih rendah dibanding laki-laki. Sudah dari sono-nya, begitu kata mereka. Konon, ini adalah ketentuan Tuhan yang tak bisa diubah. Karena itu, perempuan tak layak memimpin urusan publik, apalagi menjadi pemimpin keagamaan. Bahkan mengubah pandangan ini dianggap sama saja dengan melawan takdir.
Padahal, jika kita menengok sejarah panjang umat manusia, realitasnya berbicara lain. Tidak setiap akal laki-laki lebih unggul atau lebih cerdas daripada akal perempuan, demikian juga sebaliknya. Sejarah dunia mencatat banyak contoh yang membantah klaim bahwa kepemimpinan hanya hak laki-laki.
Lihatlah Ratu Balqis dari Saba yang masyhur dalam tradisi Islam, Syajaratuddur yang pernah memimpin Mesir, atau Maryam ibunda Nabi Isa yang kita junjung tinggi karena kesalehan dan keberaniannya.
Dalam sejarah Islam sendiri, kita mengenal Aisyah binti Abu Bakar yang tak hanya menjadi istri Nabi Muhammad, tetapi juga periwayat hadis terkemuka, serta Rabi’ah al-Adawiyah dari Baghdad yang menginspirasi dunia tasawuf.
Perempuan Pemimpin Negara
Nama-nama besar di era modern pun menegaskan hal ini. Benazir Bhutto pernah memimpin Pakistan, Sheikh Hasina memimpin Bangladesh, dan di Indonesia kita memiliki Presiden kelima, Megawati Soekarnoputri.
Dalam catatan sejarah Nusantara, ada pula para sultanah Aceh seperti Taj al-Alam, Nur al-Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah, serta Cut Nyak Dhien yang menjadi pemimpin dalam perang melawan penjajah Belanda.
Bahkan sejak awal 2000-an, sejumlah negara secara berturut-turut dipimpin oleh perempuan, antara lain Bangladesh, Guyana, Irlandia, Selandia Baru, Sri Lanka, termasuk Indonesia. Semua ini membuktikan bahwa kecerdasan dan kapasitas kepemimpinan tidak ditentukan oleh jenis kelamin.
KH. Husein Muhammad dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren mengingatkan bahwa rendah atau tingginya akal perempuan sejatinya bersifat relatif. Sama sekali bukan kodrat yang tetap atau ketentuan Tuhan yang tak bisa ia ubah. Karena itu, ruang untuk memperbaiki keadaan selalu terbuka.
Pada akhirnya, semua tergantung pada bagaimana kita memandang dan memperlakukan perempuan: mau terus-menerus menstigma mereka, atau memberinya kesempatan setara untuk berkembang. []