Perihal Bercanda yang tidak selalu Mengundang Tawa Bahagia

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti suatu event akademik level nasional, sebagian besar pesertanya adalah dosen dan staf administrasi perguruan tinggi. Karena banyaknya materi yang akan disampaikan, sesi pada hari itu dibagi dua dan akan berlanjut usai istirahat salat dan makan siang.

Sekitar jam 2, para peserta pun masuk ke aula kembali. Sebelum memulai seminar, narasumber mewanti-wanti kami peserta agar menahan kantuk sebab ia paham betul bahwa saat sekarang adalah jam kritis dimana ia perlu banyak melemparkan bahan canda. Dan betul, sepanjang sisa waktu yang diberikan, professor tersebut mengeluarkan jokes andalannya yang membuat ruangan gerr penuh tawa.

Sayangnya dari sekian banyak lelucon yang dilemparkan, saya terus menerus dibuat mengernyitkan dahi karena apa yang ditertawakan tidak jauh-jauh dari bagian tubuh perempuan, stigma janda, dan hal-hal yang menyangkut hubungan intim. Di titik ini, saya hanya bisa bergumam pendek, “apakah frekuensi otak saya yang tidak bisa mencerna cerita orang secerdas beliau atau sesimpel itu selera bercanda kita?”

Seorang teman juga pernah menanyakan hal sama pada saya. Sebagai lelaki, dia merasa bahwa tema bercanda seperti tadi hanyalah bertujuan untuk mencairkan suasana dan agar membuat orang kembali fokus pada materi.

Namun, efek sampingnya, bila hal tersebut dilanggengkan, akan berdampak psikologis bagi perempuan. Contohnya saja, bagaimana treatment komunitas terhadap janda. Saking seringnya dijadikan objek humor, banyak individu dari kelompok rentan ini lalu tenggelam dalam depresi dan kemudian berusaha menutup diri dari lingkungan luar.

Sejumlah riset dalam jurnal psikologi menyatakan bahwa humor sexist yang kerap kali dilihat sebagai hal biasa dalam masyarakat kita, ternyata secara tidak langsung dapat mendorong pelecehan verbal dan non-verbal terhadap perempuan.

Bahkan, hal tersebut merefleksikan perilaku dan sikap diskriminatif yang berdampak buruk bagi orang di sekitar mereka. Penerimaan dan permakluman humor seperti ini kemudian juga melanggengkan budaya pemerkosaan yang sering tidak kita sadari: korban, utamanya perempuan pasti salah dalam tiap kasus perkosaan. Meski realitanya perempuan pun bisa menjadi subjek yang mengkulturkan humor seperti ini, bahkan candaan tersebut ditujukan tidak hanya lawan jenis, tapi ke sesama perempuan.

Di lain waktu, ketika saya mengajar, beberapa anak mencandai anak lain yang logat lokalnya kental sekali. Mereka enteng saja tertawa, namun ketika anak tadi maju presentasi, dia berusaha sekali untuk menahan suara, menjadi tidak percaya diri dan terlihat sekali ia merasa tidak nyaman menyampaikan pendapatnya di depan kelas.

Di titik itu, saya kemudian menyesal tidak segera menegur mereka. Sekilas, gurauan temannya tadi hanya lah angin lalu, namun bagi pihak yang menjadi objek. Dampak negatif terhadap psikologisnya ternyata luar biasa. Bahkan bila ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin, murid saya tadi tidak akan mau lagi berbicara secara lantang di depan umum karena ia takut akan menjadi bahan tertawaan kembali.

Melihat kondisi ini, tentu membiasakan bercanda dengan fisik, menertawakan karakter pribadi seperti tadi sebaiknya dihindari. Terlebih, bila di kemudian hari ternyata berdampak panjang secara psikologis yang membuat lingkungan sosial melihat pelecehan, seperti catcalling sebagai tindakan yang wajar.

Bila pun kita ingin membuat suasana lebih rileks, pilih tema dan topik umum yang sekiranya tidak mendegradasi karakter individu. Karena bercanda sesungguhnya adalah pencair suasana terbaik, tapi terkadang kita lupa: tidak semua orang mau hati dan perasaannya tersakiti. Tak heran, humor sexist, bukannya menimbulkan tawa, malah membuat orang akhirnya bermuram durja.

Di satu sisi, orang bisa tertawa lepas, di pihak lainnya orang tidak menyukai apa yang ia katakan. Dan sayangnya, kita tidak terbiasa jujur dan bercerita secara terbuka ketika diri kita tidak merasa nyaman. Padahal tidak semua orang dapat membaca alur pikir dan perasaan kita.

Pihak yang melempar jokes mungkin merasa biasa-biasa saja, tapi ternyata pihak lainnya merasa terluka. Jadi, alangkah indahnya bila kita dapat berusaha memahami kondisi, bukan untuk terlihat heroik dan setia kawan, tetapi untuk menimbulkan suasana nyaman, yakni relasi yang bahagia membahagiakan di antara sesama. []

Exit mobile version