Novel Hilda karya Muyassaroh Hafidzoh menjadi salah satu representasi bagi banyak pegalaman perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan kesulitan mendapat titik terang dalam penyelesaian kasusnya di mata hukum.
Alih-alih menyelesaikan kasusnya di mata hukum, tekanan yang dialami pihak perempuan datang dari berbagai sudut, baik tekanan dan keterpurukan dari dalam dirinya sendiri berupa tekanan fisik dan mental juga tekanan dari ligkungannya seperti tempat ia sekolah, tempat ia tinggal dan tempat ia bersosialisasi yang masih sulit membedakan antara pelaku dan korban serta sulit membedakan antara perkosaan dan perzinahan.
Ketika keterpurukan dan tekanan yang dialami menuntut rasa keadilan agar ada balasan bagi pelaku kekerasan seksual dengan melaporkannya ke pihak berwajib, ternyata menimbulkan tekanan lain. Proses hukum yang dilalui tidaklah mudah dan singkat. Saat pelaporan terjadi, maka terdapat pemeriksaan dari pihak polisi yang menyudutkan bahkan menyinggung pelapor dalam hal ini perempuan sehingga menjadi terguncang.
Kondisi tersebut dicontohkan penulis novel Hilda pada halaman 10, di mana polisi menanyakan barang seperti baju yang terkoyak atau saksi yang menyaksikan kejadian. Kemudian mengasumsikan bahwa kasus Hilda adalah bagian dari perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Sehingga laporan tidak dilanjutkan karena proses yang menambah keterpurukan bagi korban.
Dalam kasus nyata, pemeriksaan yang dilakukan polisi dapat berjalan hingga berjam-jam bahkan hingga dini hari esoknya seperti kasus Bunga yang diperkosa berkali-kali oleh pimpinan asrama tempat ia tinggal. Ketika kasus telah sampai di pengadilan, Bunga diminta menceritakan kronologis pahit yang pernah menimpanya.
Bahkan jaksa menyarakan Bunga untuk menikahi pelaku agar status anak menjadi jelas. Selain itu kasus ini juga telah menjadi sebuah berita di media. Hingga putusan tiba, hanya menghasilkan tuntutan yang rendah, yakni pidana kurang dari satu tahun penjara.
Dengan latar belakang kepahitan perempuan yang berhadapan dengan hukum, berbagai regulasi dan peraturan telah diterbitkan untuk memastikan kases terhadap keadilan dan peradilan yang bebas dari diskriminasi bagi perempuan dan anak seperti adanya SK Ketua Mahkamah Agung No. 88/KMA/SK/V/2016 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Perempuan dan Anak.
Perwakilan dari kelompok kerja tersebut mengikuti lokakarya Hakim Perempuan se-Asia Tenggara di Bangkok pada Juni 2016, yang memuat konsep dasar tentang gender, penerapan prinsp kesetaraan gender, panduan dalam menerapkan perspektif gender saat mengadili perkara, dan rekomendasi bagi negara peserta lokakarya untuk mengembangkan sistem peradilan yang sensitif gender.
Kemudian bentuk tindaklanjut dari lokakarya ini, MA berencana membuat peraturan terkait penanganan perempuan di pengadilan. Hingga pada 4 Agustus 2017 MA mensahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 03 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Sesuai dengan pasal 2, asas yang dijadikan pedoman hakim dalam mengadili perempuan berhadapan dengan hukum memberikan perlindungan lebih pada perempuan dengan adanya tiga tambahan asas hukum.
Pada umunya, dalam proses penegakan hukum harus berlandaskan pada empat asas yang terdiri dari persamaan di depan hukum (equality before the law), asas kepastian hukum (rechtssicherkeit), asas keadilan (gerechtigkeit), dan asas kemanfaatan (zweckmasigkneit).
Namun dalam peraturan ini ditambah pula dengan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi dan asas kesetaraan gender. Sehingga dalam asas non diskriminasi, hakim dilarang melakukan pembedaan, pengucilan, atau pembatasan atas dasar jenis kelamin.
Selanjutnya dalam pasal 4, perma ini memberi dasar bagaimana hakim seharusnya bertindak dan berperilaku di persidangan pada perkara perempuan, apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara perempuan seperti adanya ketidaksetaraan status sosial antara pihak yang berperkara, ketidaksetaraan dalam perlindungan hukum, ketidakberdayaan fisik dan mental, relasi kuasa, adanya riwayat kekerasan dari pelaku kepada korban atau saksi, dan dampak psikis.
Dalam aturan ini dibolehkan pemeriksaan audio visual jarak jauh, sehingga korban tidak melihat pelaku dalam satu ruangan dan dapat mengurangi tekanan, juga diberi kesempatan untuk memiliki pendampingan selama persidangan.
Kemudian melarang hakim menunjukkan sikap atau pernyataan yang bias gender, membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dan menanyakan riwayat seksual korban. Selain itu juga jika dalam pemeriksaan persidangan terdapat pihak yang bersikap atau pernyataan yang merendahkan perempuan, maka hakim dapat menegurnya.
Hakim juga dituntut untuk mempertimbangkan dan menanyakan kerugian, dampak kasus dan kebutuhan untuk pemulihan bagi korban. Hingga dituntut melakukan penafsiran perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender, menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang menjamin kesetaraan gender dan non diskrimani serta penerapan konvensi dan perjanjian internasional terkait kesetaraan gender yang telah diratifikasi.
Sehingga dengan adanya Perma No 3 Tahun 2017 ini memberikan angin segar bagi perempuan korban kekerasan seksual dalam meraih keadilan di mata hukum, juga dapat menambah kepekaan gender bagi hakim dan memperkaya kuantitas dan kualitas hakim dalam melahirkan hukum progresif yang ramah gender.
Terkait penerapannya, MA sudah membuat buku pedoman dan sosialisasi, namun hal ini masih belum dapat diterapkan maksimal tanpa adanya diklat atau pelatihan bagi para penegak hukum dan pengajar di bidang hukum serta sosialisasi yang masif untuk menerapkan asas hukum baru yang ada dalam perma ini. []