• Login
  • Register
Jumat, 31 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Permendikbud Hanya Mengatur Tindak Kekerasan Seksual, Bukan Tindakan Asusila!

Publik saat ini sedang terbelah antara pro dan kontra, menanggapi frase “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
14/11/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
suami memukul istri

Islam

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tadi malam, di hadapan para kader ulama perempuan, aku berbiacara tentang logika “mafhum mukhalafah” yang sekarang sedang viral. Sebagaimana kita tahu, publik saat ini sedang terbelah antara pro dan kontra, menanggapi frase “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia.

Secara substansi, sesungguhnya semua kelompok setuju bahwa kekerasan seksual (KS) itu pelanggaran martabat kemanusiaan yang dilarang semua agama dan bertentangan dengan nila-nilai Pancasila dan semua budaya luhur Indonesia.

Dalam Islam, substansi Permendikbud ini, tentang pencegahan KS dan perlindungan korban, sudah selaras dengan nilai-nilai ketauhidan, visi Islam rahmatan lil ‘alamain, dan misi akhlaq karimah. Lebih khusus, perlindungan dan pemulihan korban adalah bagian dari karakter maqashid syari’ah dalam melindungi kelompok mustadh’afin.

Namun, frase “tanpa persetujuan korban” yang menjadi jantung bagi konsep kekerasan seksual justru dipermasalahkan. Frase ini, bagi yang setuju, adalah penting karena untuk membedakan antara kejahatan pidana kekerasan dan pemaksaan, dimana yang satu adalah pelaku dan yang lainnya adalah korban, dengan dosa asusila yang kedua belah pihak bisa dianggap berdosa.

Bila frasa “tanpa persetujuan korban” dihilangkan, maka unsur pidana pemaksaan akan hilang, dan secara karakter akan sama dengan dosa asusila. Pada gilirannya, korban akan sama-sama dianggap bersalah, dan rentan ikut dikriminalisasi.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI
  • Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual
  • Membincang Perempuan Pemimpin, dan Pemimpin Perempuan

Baca Juga:

Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

Membincang Perempuan Pemimpin, dan Pemimpin Perempuan

Frase ini juga penting untuk mengantisipasi berbagai pihak yang justru mengganggap korban kekerasan seksual telah menyetujui. Dari berbagai pengalaman kelompok pendamping, ada banyak kasus dimana perempuan korban KS tidak langsung melapor karena mengalami ketakutan dan trauma. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun. Begitu ia mencoba melapor, justru disalahkan dan dianggap SETUJU karena cukup lama mendiamkan tanpa membuat laporan.

Persetujuan dalam hal ini, bukan datang dari korban, tetapi didefinisikan orang lain di luar dirinya. Frase “tanpa persetujuan korban” ingin menegaskan bahwa hanya korban yang berhak mengungkapkan SETUJU atau TIDAK SETUJU, bukan orang lain.

Sementara bagi yang kontra, frase ini dianggap melegalkan seks bebas dan zina. Frase “tanpa persetujuan korban”, berarti jika ada persetujuan bisa menjadikan aktivitas seks yang haram menjadi BOLEH. Permen, dengan demikian, membolehkan aktivitas seks yang disetujui bersama, atau suka sama suka, atau dikenal juga sebagai seks bebas. Logika kesimpulan seperti ini, dalam Ushul Fiqh, dikenal dengan istilah “Mafhum Mukhalafah”, atau memahami kebalikan dari yang tertulis.

Nah, aku mendiskusikan logika ini di kalangan kader ulama perempuan yang diadakan Fahmina, tadi malam. Apa maknanya? Apa contohnya? Bagaimana dampaknya jika logika ini digunakan untuk memaknai berbagai ayat al-Qur’an dan teks-teks Hadits. Dalam Ushul Fiqh, logika “mafhum mukhalafah” ini diperdebatkan, secara konsep maupun praktik. Bolehkah diadopsi dan sejauhmana bisa dipraktikkan.

Kita ambil contoh satu ayat yang relevan dengan Permendikbud di atas. Yaitu surat an-Nur (24: 33), yang artinnya: “Janganlah kalian PAKSA para perempuan muda (hamba sahaya) kalian untuk MELACUR, jika mereka MENGINGINKAN kesucian (dari pelacuran), karena kalian mencari keuntungan dunia. Barangsiapa yang memaksa mereka, maka sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (kepada para perempuan tersebut) setelah mereka dipaksa”.

Coba, jika logika yang sekarang dipakai untuk menyerang Permendikbud, itu dipakai untuk memahami ayat ini. Apakah ayat ini bisa dianggap membolehkan perempuan melacur ketika TIDAK DIPAKSA, atau boleh melacur jika atas keinginan sendiri? Karena ayatnya secara tekstual berbicara: Jangan Paksa mereka melacur. Nah, gimana kalau tidak dipaksa?

Atau apakah boleh melacur jika para perempuan itu TIDAK MENGINGINKAN kesucian, tetapi justru memang MENGINGINKAN pelacuran? Bukankah ayatnya secara literal berbicara: JIKA MEREKA MENGINGINKAN KESUCIAN?

Coba, betapa berbahaya-nya kesimpulan dari ayat ini, jika menggunakan logika “mafhum mukhalafah” yang sekarang digunakan untuk menyerang Permendikbud tersebut. Logika ini, sesungguhnya masih sumir jika digunakan untuk menyimpulkan bahwa frase “tanpa persetujuan” menunjukkan bolehnya aktivitas seks yang “dengan persetujuan”. Karena frase “tanpa persetujuan” ini sesungguhnya diungkapkan dalam konteks pidana pemaksaan. Bukan dalam pernyataan tentang aktivitas seks yang boleh dan tidak boleh.

Frase “tanpa persetujuan korban”, sesungguhnya, juga ada dalam kajian fiqh jinayah mengenai konsep “ikrah” atau paksaan. Dalam kitab at-Tasyri’ al-Jina’ (Juz 2, hal. 563), Abdul Qadir Audah menyatakan bahwa pemaksaan adalah “tindakan seseorang terhadap orang lain yang menghilangkan KERELAANnya dan merusak PILIHANnya (fi’lun yaf’aluhu al-insanu bi ghairihi fa yazulu ridhahu aw yufsidu ikhtiyaruhu)”.

Persetujuan adalah bagian dari kerelaan dan pilihan seseorang. “Tanpa persetujuan” sama persis dengan “tanpa kerelaan” yang diungkapkan ulama fiqh mengenai konsep “paksaan”.

Dengan demikian, Permendikbud ini secara substansi, karena mencegah KS dan melindungi korban, adalah sudah sangat tepat dan sesuai dengan Syari’ah Islam. Sementara ketakutan bahwa frase “tanpa persetujuan korban” akan melegalkan zina adalah sama sekali tidak berdasar. Karena di lingkungan kampus juga sudah ada kode etik yang melarang segala tindakan asusila, di samping ada norma-norma agama, budaya, dan tentu saja ada KUHP.

Lebih dari itu, dalam Islam, melindungi korban, melalui Permendikbud ini adalah kemaslahatan yang nyata, penting, dan genting, sementara kekhawatiran melegalkan zina, dari Permendikbud ini,  adalah asumsi. Suatu kemaslahatan yang sudah nyata tidak boleh ditinggalkan karena ada kekhawatiran keburukan yang masih asumtif (al-mashlahah al-haqiqiyah laa tutraku li al-mafsadah al-mauhumah).

Menurut hematku, Permendikbud ini secara khusus hanya mengatur tindak kekerasan seksual, bukan tindakan asusila apapun. Sesuatu yang hanya mengatur suatu pidana tertentu, seperti KS ini, tidak bisa dianggap lalu menyetujui dosa atau pidana lain yang tidak diaturnya, seperti seks bebas, zina, narkoba, atau yang lain. Tidak sama sekali. Permendikbud ini hanya tentang pencegahan kekerasan seksual dan perlindungan korban. Sangat jelas, bahwa pencegahan kekerasan seksual adalah syar’i dan perlindungan korban adalah juga Islami. Wallahu a’lam. []

Tags: IndonesiaPenanggulangan Kekerasan SeksualPencegahan Kekerasan SeksualPerguruan TinggiPerlindungan KorbanPermendikbud No.30 Tahun 2021
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir, biasa disapa Kang Faqih adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun, salah satu wakil ketua Yayasan Fahmina, dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan ISIF Cirebon. Saat ini dipercaya menjadi Sekretaris ALIMAT, Gerakan keadilan keluarga Indonesia perspektif Islam.

Terkait Posts

Kontroversi Gus Dur

Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu

30 Maret 2023
Ruang Anak Muda

Berikan Ruang Anak Muda Dalam Membangun Kotanya

29 Maret 2023
Flexing Ibadah

Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Penutupan Patung Bunda Maria

Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria

26 Maret 2023
Zakat bagi Korban

Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

25 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Goethe Belajar Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hikmah Puasa dalam Psikologi dan Medis: Gagalnya Memaknai Arti Puasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bulan Puasa: Menahan Nafsu Atau Justru Memicu Food Waste?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja
  • Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam
  • Nafkah Keluarga Bisa dari Harta Istri dan Suami
  • Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu
  • Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist