• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Perspektif Berbeda dalam Menyikapi Mereka yang “Mengganggu”

Ada banyak orang tua, mungkin salah satunya orang tua saya, mengkhawatirkan anaknya yang belum menikah

Nadhira Yahya Nadhira Yahya
25/06/2024
in Personal
0
Perspektif Berbeda

Perspektif Berbeda

819
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ada ungkapan yang menyebutkan bahwa manusia bisa lebih baik dari malaikat, dan bisa jadi lebih buruk dari setan. Hmm, seram sekali ya rasanya kalau sampai lebih buruk dari setan.

Menurut kalian kenapa kira-kira orang bisa menjadi jahat? Bukankah kita sering mendengar bahwa pada dasarnya manusia itu baik, dan fitrah manusia itu pasti mengarah kepada hal-hal yang baik. Lalu, kenapa ada orang jahat?

Sebenarnya, saya lebih percaya bahwa manusia memiliki keduanya. Manusia, memang memiliki potensi baik dan buruk. Karena selain memiliki akal, manusia juga memiliki nafsu. Oleh karena itu, dalam perspektif berbeda manusia bisa menjadi baik dan juga buruk, tergantung mana potensi yang lebih mereka ikuti. Lalu, baik atau buruknya manusia, biasanya tergantung pada perbuatannya.

Entah mengapa, tampaknya ada orang-orang yang suka sekali menghina. Menghina juga salah satu dari perbuatan jahat, karena tindakan tersebut bisa menyakiti orang lain, atau, minimal ya mengganggu.

Lalu, apakah mereka tahu bahwa mereka bisa saja menyakiti orang lain? Kalau sudah tahu, kok masih mereka lakukan? Nah inilah perspektif berbeda  yang ingin saya telusuri. Jangan-jangan, mereka tidak sadar akan perbuatannya?

Baca Juga:

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Pandangan Epictetus

Epictetus dalam bukunya Discourses menjelaskan bahwa kita bisa saja menyakiti seseorang tanpa sadar. Hal tersebut terjadi karena perbedaan pola pikir dan juga kebiasaan antar diri kita dan juga orang lain. Orang lain mungkin berfikir bahwa yang dia lakukan tidaklah buruk, sehingga tidak akan menyakiti orang lain. Tapi bagi orang yang lain, hal tersebut bisa jadi hal yang buruk, sehingga ia pun merasa tersakiti.

Pernahkan kita merasa terganggu saat orang lain bertanya “kapan nikah?” Apalagi jika pertanyaan itu terlontarkan berkali-kali. Toss bagi kalian yang sudah berusia 20 tahun ke atas tapi belum menikah. Kita pasti sama-sama paham rasanya. Bohong jika saya berkata tidak pernah terprovokasi.

Nyatanya, dulu saya memang sempat sangat kesal dengan pertanyaan modelan seperti itu. Tapi, entah karena sudah terbiasa atau sudah mulai eneg, sekarang saya memilih sikap untuk tidak meresponnya. Atau cukup merespon dengan kalimat “doakan saja”. Se-simple itu, beres. Tidak perlu lagi marah-marah.

Di sini, saya mencoba menyadari suatu fakta bahwa saya dan orang-orang yang mendesak saya untuk segera menikah, memiliki pandangan yang berbeda.

Saya berfikir, bisa jadi mereka memang mengkhawatirkan saya yang belum memiliki pasangan, karena mereka memiliki pandangan bahwa seseorang harus memiliki pasangan agar bahagia. Tapi, mereka juga tidak mengetahui bahwa sebenarnya, saya tidak juga menderita, hanya karena belum atau tidak memiliki pasangan.

Kekhawatiran Orang Tua

Ada banyak orang tua, mungkin salah satunya orang tua saya, mengkhawatirkan anaknya yang belum menikah. Hal ini menurut saya sebenarnya selain karena memang mereka berharap anaknya bahagia, tapi itu juga kerap kali disebabkan oleh tekanan dari luar atau masyarakat pada umumnya. Karena kalau kita tanyakan kepada orang tua, pasti mereka hanya berharap anak mereka bahagia.

Sayangnya, lingkungan membangun pikiran para orang tua, jika anaknya belum juga menikah, maka mereka tidak bahagia, mereka tidak laku, anak mereka akan dibanding-bandingkan, dan lain sebagainya. Itulah masalahnya. Oleh karena itu, banyak kemudian pernikahan yang terkesan buru-buru, lalu berujung kandas. Orang tua pun pasti menyesal.

Beruntungnya, orang tua saya bukanlah tipikal orang tua yang menuntut agar anaknya cepat menikah, hanya karena umur yang sudah terpaut cukup untuk menikah, dan banyaknya omongan yang berdatangan dari banyak orang. Walaupun yaa, kadang-kadang hal tersebut dibahas juga. Tapi mereka tetap memberikan ruang untuk saya melakukan apa yang saya inginkan. Saya sangat berterimakasih pada mereka.

Di sini saya ingin mengatakan bahwa selama seorang anak merasa bahagia-bahagia saja, seharusnya tidak penting, mereka mau segera menikah atau tidak. Karena bukan itu satu-satunya cara agar bahagia. Bukankah setiap orang punya waktu dan jalannya masing-masing?

Bagi sebagian orang, menikah seakan wajib. Padahal menikah hukumnya adalah sunnah. Jika menikah hukumnya wajib, tentu saja tidak akan ada seorang pakar agama yang tidak menikah. Namun faktanya, banyak loh pakar agama yang memilih untuk tidak menikah, dan memfokuskan dirinya untuk beribadah kepada Tuhan, dan menyebarkan kebaikan kepada sesama.

Filosofi Teras

Dalam bukunya Filosofi Teras, Henry Manampiring mencoba memberikan tips dari hidup dengan prinsip kaum stoa, bahwa kita memang seharusnya tidak perlu terprovokasi terhadap pendapat orang lain, salah satunya adalah terkait pertanyaan kapan nikah ini.

“Ketika ada yang menyakitimu, atau berkata buruk tentangmu, ingatlah bahwa dia bertindak dan berbicara karena mengira itu memang tugasnya. Ingatlah bahwa tidak mungkin dia mengerti sudut pandang kita, tetapi hanya sudut pandang dia sendiri. Karenanya, jika dia melakukan kesalahan dalam menilai, sebenarnya dialah yang dirugikan, karena dia telah tertipu. Jika seseorang menganggap kebenaran sebagai sebuah kekeliruan, kebenaran itu sendiri tidak rugi, tetapi justru dia yang tertipu yang rugi. Dengan prinsip ini, kamu bisa dengan rendah hati menanggung orang yang menghina kamu, dengan cukup berkata, “itu kan menurut dia.” – Epictetus – []

 

Tags: Filosfi TerasKesehatan MentalLajangPemikiran FilsafatPerspektif BerbedaSelf Love
Nadhira Yahya

Nadhira Yahya

Terkait Posts

Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Pernikahan Tradisional

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

8 Juli 2025
Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Lebih Religius

    Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengebiri Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID