Mubadalah.id – Percakapan dua insan antara ayah dan anak perempuannya di puncak gunung di Norwegia membawa ingatan mitologi bangsa Skandinavia. “Gunung itu bernapas,” kata Tobias seraya meminta anak perempuannya, Tidemann, untuk memperhatikan secara seksama keberadaan Yang Hidup itu. Percakapan tersebut ada dalam Film Troll. Tentu Tidemann tidak menemukan apa-apa di sana, ia terlalu kecil untuk mengetahui petunjuk yang sangat abstrak dari ayahnya.
Scene awal itu membuka jalan cerita yang mempertemukan mitologi bangsa Skandinavia dengan dunia modern Norwegia. Adalah Troll, makhluk berwujud monster dwarf setinggi gedung kota metropolitan dan hidup di gua-gua pegunungan, menatap kepunahannya di film Troll (2022). Kepada anak-anak, ia dikenalkan sebagai monster pemangsa. Namun di dalam film Troll itu, posisinya sebagai makhluk rentan di dunia berteknologi canggih.
Secara umum, film itu lemah dalam menghadirkan karakter yang kuat setiap tokohnya, termasuk Troll itu sendiri. Penyajian plot yang begitu cepat menjadi faktor utama. Barang kali, yang membuat penonton mengambang di setiap adegan. Saya yakin film ini bukan ingin mengangkat mitologi (dalam arti yang akan saya jelaskan selanjutnya), melainkan berusaha mengapropiasi mitologi untuk menunjukkan kedigdayaan phallotechnology dan mengakhiri takhayul purba.
Saya melakukan decode terhadap code budaya yang hadir di sana. Selanjutnya, saya menaruh banyak curiga terhadap legitimasi kehancuran ekologi, secara simbolik, dengan kematian Troll di akhir film.
Apropriasi Mitologi, Peminggiran Ekologi
Mitologi atau mitos bukan bualan belaka, melainkan ia hidup dan menghidupkan masyarakat. Synergy between Myth and Local Wisdom in Ecology of Climate Change in Java, Indonesia (2021) menyebutkan empat fungsi mitos bagi masyarakat. Pertama, menyadarkan masyarakat atas kekuatan supranatural yang ada di sekitar mereka. Kedua, menjamin keberlangsungan hidup saat ini. Ketiga, berkontribusi pada pengetahuan masyarakat tentang alam semesta dan makhluk ciptaan Tuhan. Keempat, menata perilaku masyarakat terhadap alam.
Peran baik atau buruk makhluk mitologi, seperti Troll, memiliki makna dalam lanskap ekologi. Ini seperti penggambaran kecoa sebagai serangga menjijikkan dan harus dibunuh. Tapi di sisi lain ia memiliki fungsi pengurai dalam ekosistem. Lebih konkrit, misalnya, mitologi Ratu Kidul hidup dalam pikiran masyarakat bahwa ada kekuatan supranatural yang menguasai laut selatan. Dan, larung kepala sapi dalam tradisi petik laut di Pasuruan yang membimbing perilaku syukur masyarakat atas pemberian alam.
Mitologi Troll
Dalam folklore, penggambaran Troll bermacam-macam. Ia bisa memiliki sifat baik hati seperti yang digambarkan dalam film Frozen (2013) sebagai penolong, atau sebagai raksasa penghancur seperti perannya dalam film The Lord of the Rings (2003). Troll dalam Troll (2022) dikonstruksi menggunakan mitologi Skandinavia, yakni hidup di Gua dan berkamuflase menyesuaikan pegunungan batu. Ia muncul di malam hari untuk menghindari matahari, karena akan terbakar jika terkena sinarnya.
Tentu, film ini mengapropriasi mitologi Troll bahkan dengan konstruki karakter yang banyak meninggalkan celah, alias lemah. Sosok Troll hanya sebagai takhayul dalam alam pikir manusia modern. Karena ia makhluk takhayul, kemunculannya dianggap sebagai ancaman kehidupan manusia. Hubungan sosok mitologi itu dengan ekologi tidak banyak tergambar pada alam pikir tokoh manusia.
Barangkali hanya melalui tokoh Tobias yang dapat menjembatani alam pikir bangsa Nordik bahwa Troll menyatu dengan alam, menyesuaikan tubuhnya yang berkulit batu. Atau tokoh Tidemann yang berhasil mengungkap bahwa Troll mulanya tinggal di Gua dan berkelompok, sebelum akhirnya punah karena keserakahan manusia modern. Selain itu semua, hubungan manusia-Troll berwatak sinisme dan melanjutkan tradisi penghancuran yang bukan manusia (non-human).
Berlanjutnya Perseteruan antara Alam dan Phallotechnology
Kecanggihan teknologi lazimnya membantu kehidupan manusia, jika menggunakan nalar kebermanfaatan terhadap manusia per se. Seperti penolakan gagasan phallotechnology oleh Jane Caputi dalam Seeing Elephants: the Myths of Phallotechnology (1988) dan Stacy Alaimo dalam Ecofeminist in Interventions (1994), perlu kita sanggah. Kecanggihan teknologi, dalam gambaran Alaimo dan Caputi, dapat berdampingan dengan alam.
Absennya logika keserakahan manusia modern dan ekspansi kapital dalam gagasan Alaimo dan Caputi membawa bias antroposen. Dalam Troll, teknologi menunjukkan kedigdayaannya, bukan kemanfaatannya. Kecanggihan teknologi digerakkan berdasarkan nalar manusia modern yang serakah dan dominatif. Ini seperti mustahilnya menjaga keseimbangan ekologi dengan mengandalkan teknologi, tanpa memberi kesempatan proses alami human dan non-human.
Adegan proyek pembangunan jalur kereta api yang menembus gunung batu menggunakan bahan peledak menjadi gambaran sisi dominatif manusia atas alam. Rasionalisasi yang kita gunakan adalah pelayanan terhadap kelancaran serta kecepatan mobilitas manusia. Dan, yang tidak digunakan adalah logika alam sebagai entitas yang hidup.
Teknologi Menjadi Opisisi Alam
Alam, melalui simbolisasi Troll, dianggap sebagai non-human yang kontribusinya terukur dengan seberapa bermanfaat mereka terhadap manusia. Atau, dengan kehancurannya itu adalah manfaatnya bagi manusia.
Peledakan gunung batu merupakan awal mula kamuflase Troll yang manusia modern ketahui. Teriakan Troll ketika bom itu meledak melambangkan jeritan alam sekaligus menunjukkan bahwa alam itu hidup dan dapat merasakan sakit. Itu alasan Troll melakukan kamuflase, karena bagi manusia modern ia adalah ancaman kehidupan. Selain itu, kamuflase Troll adalah hasil dari trauma pengusiran dari tempat tinggalnya di gua dan kematian keluarganya karena ekspansi kekayaan manusia.
Teknologi militer, seperti rudal, misil, pesawat tempur, bom, adalah puncak phallotechnology. Sebagai gambaran alam yang tidak bisa mereka kendalikan, Troll menjadi sasaran tembak yang harus mereka matikan demi jaminan kehidupan manusia. Ini membawa pada logika terbalik, bahwa sebenarnya ketidakmampuan manusia mengendalikan hasrat pembangunanlah yang menganggu kehidupan Troll, yakni alam.
Pada akhirnya film ini bergerak pada tradisi masyarakat modern. Dengan kematian Troll, maka kedigdayaan teknologi tetap menjadi oposisi alam, yang sebelumnya Alaimo dan Caputi tolak. Kematian Troll karena sengatan matahari, dan bukan karena phallotechnology, tidak menghilangkan fakta bahwa egosentrisme manusia untuk hidup di alam telah menjebak Troll pada situasi yang mematikan, dus kepunahannya. (berbarengan)