• Login
  • Register
Jumat, 22 September 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Pribumisasi Islam, Sebuah Misi dalam Visi

Gus Dur mengajak pembaca memiliki kesadaran akan visi kehadiran ajaran Islam di muka bumi ini yang tidak saja untuk ‘lil-muslimin’, melainkan juga ‘lil-alamin’

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
11/09/2023
in Publik
0
Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam

800
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Selama hidupnya, Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) kerap mendapat label dengan berbagai sebutan. Seperti sebutan liberal, sesat, Syiah, agen zionis Israel dan lainnya. Sebutan-sebutan tersebut tersematkan padanya sebagai respon atas gagasan dan juga kebijakan yang ia buat selama menjabat sebagai presiden ke-4 Indonesia.

Bila kita amati kembali, label-label tersebut justru yang memberikan sesama umat Muslim sendiri. Adapun yang berbeda keyakinan maupun masyarakat kelompok minoritas, gagasan dan kebijakan Gus Dur merupakan pertolongan di balik diskriminasi kemanusiaan yang kerap memojokkan.

Apa yang salah dengan umat Muslim dalam memahami maksud pemikiran Gus Dur? Mengapa Gus Dur memiliki gagasan yang menimbulkan pro dan kontra? Apa yang sedang Gus Dur perjuangkan dalam gagasan-gagasan besar miliknya?

Jika kita membaca isi wawancara Don Bosco Salamun terhadap Gus Dur yang terdokumentasikan dalam Buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa, kita akan mudah memahami jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.

Sebuah pertanyaan kita ajukan tentang bagaimana ia ingin Tuhan kenal saat memanggilnya kelak. Dengan sangat sederhana Gus Dur menjawab, “Tulis di batu nisan saya: Di sini beristirahat seorang pejuang kemanusiaan sejati.”

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Negeri Zamrud Khatulistiwa dan Tantangan Keberagaman Indonesia
  • Agama dan Budaya: Transformasi Sosial Ala Gus Dur
  • Gus Dur dan Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender: Resensi Buku Gender Gus Dur
  • Ziarah: Siapakah yang Benar-benar Hidup, dan Siapa yang Benar-benar Mati?
    • Gus Dur Sang Pejuang Kemanusiaan
    • Sufisme Gus Dur
    • Islam dan Perubahan Sejarahnya
    • Islamisasi Budaya
      • Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya

Baca Juga:

Negeri Zamrud Khatulistiwa dan Tantangan Keberagaman Indonesia

Agama dan Budaya: Transformasi Sosial Ala Gus Dur

Gus Dur dan Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender: Resensi Buku Gender Gus Dur

Ziarah: Siapakah yang Benar-benar Hidup, dan Siapa yang Benar-benar Mati?

Gus Dur Sang Pejuang Kemanusiaan

Dibanding dengan diksi kalimat sejenisnya, Gus Dur hanya menekankan bahwa ia ingin kita kenal sebagai pejuang kemanusiaan saja. Penegasan Gus Dur ini sangatlah jelas, bahwa gagasan-gagasan yang lahir dari pemikirannya adalah untuk kemaslahatan, kebaikan juga kemerdekaan hidup manusia seluruhnya. Tanpa batas ras, bahasa, agama, negara, sosial, maupun budaya.

Karena baginya, siapapun yang terlahir sebagai manusia memiliki hak yang sama di balik keberagaman identitas yang ia punya. Gus Dur masih melihat, masih banyaknya tindakan diskriminasi antar manusia yang berdasarkan perbedaan identitas tersebut. Dengan tujuan mulia, juga dengan cara mulia, lahirlah gagasan-gagasan besar Gus Dur. Tidak lain tidak bukan, untuk memanusiakan manusia.

Demikian pula pada konsep Pribumisasi Islam yang ia gagas. Apabila melihat dari semangat perjuangan hidup Gus Dur, tentu tidak bijak bagi siapapun untuk langsung melabelinya. Saat Kiai Marzuki Wahid mengajak santri-santrinya memahami secara verbatim tulisan Gus Dur “Salahkah Jika Dipribumikan?” satu kata yang terlintas dalam benak saya, SUFI.

Sufisme Gus Dur

Mungkin saya memiliki kacamata berbeda dengan teman-teman untuk merefleksikan tentang gagasan ini. Namun kacamata yang saya gunakan tentu bisa kita gunakan untuk melihat dan membaca pemikiran Gus Dur tersebut.

Lagi-lagi saat bersama memahami secara verbatim, saya menyadari, bahwasanya Buya Husein Muhammad juga melihat Gus Dur dari sudut pandang Tasawuf. Hingga pada akhirnya beliau menulis buku berjudul Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur.

Pada penjelasan dalam buku tersebut beliau paparkan, sebagaimana para ulama pada umumnya, Gus Dur menyampaikan bahwasanya Islam terbangun atas tiga pilar. Yakni Iman, Islam dan Ihsan. Bagi Gus Dur, Ihsan adalah hukum kemanusiaan yang bersifat universal. Lagi-lagi dari sini kita bisa melihat, perjuangan kemanusiaan Gus Dur bukanlah hal yang melenceng dari ajaran agama Islam. Melainkan menjalankan perintah agama itu sendiri.

Ada dua poin yang saya garis bawahi saat melakukan proses verbatim bersama di kelas. Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya; Islam tetap Islam. Di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus kita samakan ‘bentuk-luar’nya.

Dua poin inilah yang menurut saya adalah inti dari tulisan tersebut: satu poin menggambarkan tentang pokok utama permasalahan pribumisasi Islam yang menjadi kalimat pembuka tulisan. Satu poin lagi menggambarkan novelty pemikiran yang menjadi penutup tulisan.

Islam dan Perubahan Sejarahnya

Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Sebagaimana pemaparan Gus Dur dalam tulisannya, Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya dari era sepeninggal Nabi Muhammad Saw., maupun khulafa al-rasyidun. Kemudian dipegang oleh kepemimpinan monarki yang memiliki berbagai aliran madzhab, firqah, juga ideologi politik yang beragam.

Kondisi tersebut tentu sangat memberikan pengaruh besar pada pemahaman risalah kenabian sepanjang perjalanan Islam di muka bumi ini, terutama mengenai klaim ‘syariat yang paling benar’.’ Gus Dur sangat memahami, persoalan umat Muslim adalah ‘buta’ terhadap sejarah secara konteks/waqi’. Sehingga tidak sedikit umat Islam yang menganggap bahwa ajaran agama itu sudah final, pintu ijtihad sudah selesai di era imam madzhab mutlak.

Demikian pula untuk derajat mujtahid fatwa. Sehingga umat Muslim saat ini melihat syariat dengan konteks sejarah zaman itu. Dimana diberlakukan bagi orang-orang dan waktu dimana para mayoritas ulama madzhab itu lahir, yakni di daratan Arabia dengan corak kebudayaannya yang khas.

Islamisasi Budaya

Tradisi menuqil dan menarjih tanpa analisa yang masyarakat Muslim lakukan sekarang, bagi Gus Dur adalah penyebab utama dari tindakan Islamisasi atas budaya-budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa.

Pemaksaan atas terjadinya perubahan atas budaya lokal oleh budaya Arab dianggap sebagai salah satu ‘syari’at’ yang wajib untuk dilakukan. Sehingga tidak aneh jika Gus Dur mengkritik bagaimana gaya bahasa lebih dianggap Islami jika menggunakan kata ganti berbahasa Arab; atribut berpakaian ala Arab; memiliki interior rumah ibadah ala Arab; ya serba serbi Arab dianggap paling syari’at.

Anggapan paling syari’at ini kemudian membawa manusia pada paradigma, jika tidak menerapkan budaya Arab, maka liyan tidak menerapkan syariat. Sehingga umat Islam sibuk melakukan Islamisasi budaya yang acap menimbulkan perpecahan bagi sesama umat Muslim sendiri. Oleh karena itu, Gus Dur menutup tulisannya dengan kesimpulan seperti yang tertulis di bawah.

Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya

Penegasan Gus Dur pada kalimat ‘Islam tetap Islam, dimana saja berada’ menunjukkan bahwa ajaran Islam bersifat fleksibel dalam berbagai kondisi budaya juga kondisi zaman. Semuanya berubah, namun inti dari risalah Islam sebagai sebuah ajaran tidaklah berubah, yakni rahmat untuk seluruh alam.

Gus Dur mengajak pembaca memiliki kesadaran akan visi kehadiran ajaran Islam di muka bumi ini yang tidak saja untuk ‘lil-muslimin’, melainkan ‘lil-alamin’, secara universal. Tugas umat Muslim adalah mewujudkannya, bukan menentangnya

‘Namun tidak berarti semua harus kita samakan ‘bentuk-luar’nya. Pada kalimat tersebut Gus Dur meminta kepada pembaca untuk adil dalam beragama. Menempatkan segala sesuatu sesuai porsi dan tempatnya. Iman pada tempatnya, Islam pada tempatnya, juga Ihsan yang menjadi indikator hasilnya.

Gus Dur mengajak pembaca untuk mengimplementasikan iman sebagai sebuah kesadaran. Bahwasanya segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini adalah kehendak Sang Kuasa. Kita semua terlahir berbeda, dan tidak mungkin bisa sama.

Kesadaran ini akan membawa kita pada posisi penerapan atas teks syara’ yang berbeda-beda. Sehingga kita dapat menempatkan porsi Islam dengan seyogyanya tanpa klaim syari’at yang kita pilih adalah yang paling sohih.

Saat kita telah memiliki kesadaran atas Iman, pengetahuan atas Islam, maka yang tidak boleh hilang adalah perubahan dalam proses berihsan. Untuk apa kita memiliki tingkat keimanan yang tinggi? Untuk apa kita memiliki pemahaman atas pengetahuan agama yang dalam? Jika tidak melahirkan akhlak baik terhadap sesama manusia?

Oleh karena itu, sebagaimana konsep pemikiran Gus Dur lainnya, Pribumisasi Islam adalah sebuah misi dari sekian banyak misi yang dimiliki Gus Dur untuk mencapai visi utama dalam Islam, yakni rahmatan lil-alamin. []

Tags: gus durIslam IndonesiaIslam NusantaraKH. Abdurrahman WahidPribumisasi Islam
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Kesejahteraan Ibu dan Anak

Membaca Arah RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Part I

22 September 2023
artificial intellegence

Artificial Intellegence dalam Perspektif Gender

21 September 2023
Keberagaman Indonesia

Negeri Zamrud Khatulistiwa dan Tantangan Keberagaman Indonesia

20 September 2023
Kawin Tangkap

Fatwa KUPI dalam Merespon Tradisi Kawin Tangkap di NTT

20 September 2023
Pernikahan yang Maslahat

Pernikahan yang Maslahat dan Keberlanjutan Lingkungan

20 September 2023
Petugas SPBU Perempuan

Perempuan yang Meringkuk di Balik Regulasi

19 September 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bidadari Surga

    Perempuan Bukan Bidadari Surga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pada Masa Nabi Muhammad Saw Banyak Perempuan yang Ikut Jihad Bela Negara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Mubadalah dalam Hadis Jihad Perempuan di Dalam Rumah Tangga 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jihad Perempuan dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Selamat Jalan Pejuang Nahdlatul Ulama Prof Dr Sri Mulyati MA

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Lagu Satu-Satu: Pentingnya Berdamai dengan Diri Sendiri
  • Membaca Arah RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Part I
  • Makna Mubadalah dalam Hadis Jihad Perempuan di Dalam Rumah Tangga 
  • Selamat Jalan Pejuang Nahdlatul Ulama Prof Dr Sri Mulyati MA
  • Jihad Perempuan dalam Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist