• Login
  • Register
Senin, 20 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Prinsip Kesalingan Dalam Mencari Nafkah

Mencari nafkah, juga memiliki dimensi yang sangat luas. Ia tidak bisa dilakukan oleh seorang diri. Ada yang giat mencari, ada yang cermat mengelola. Keduanya harus saling bersinergi

Ahsan Jamet Hamidi Ahsan Jamet Hamidi
10/03/2023
in Keluarga, Rekomendasi
0
Mencari Nafkah

Mencari Nafkah

819
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebelum saya menuliskan tentang prinsip kesalingan dalam mencari nafkah, saya ingin berbagi pengalaman saat terjebak kemacetan di jalan raya. Mata saya tertuju pada sebuah tulisan provokatif di sebuah billboard di pinggir jalan, “Yakin Mau Kerja Seumur Hidup ???”

Membaca tulisan itu, saya berusaha menafsirkan makna di balik kalimat itu. Mungkin, itu ajakan agar para pembaca mempertimbangkan untuk mulai berhenti kerja kantoran yang teraviliasi dengan orang lain, dan beralih untuk mengelola pekerjaan sendiri dari rumah. Mengelola usaha sendiri, dirasa akan lebih fleksibel. Mungkin juga, iklan layanan itu mengajak para pemilik uang untuk berinvestasi. Dengan cara itu, pemilik modal tidak perlu lagi sibuk bekerja kantoran.

Kesan sepintas, pesan dalam kalimat itu telah menyempitkan makna bekerja. Seolah-olah, bekerja itu sebatas kantoran atau di industri, sehingga ada masa pensiun. Padahal dunia kerja sangat beragam dan luas dimensinya. Saya ingat tuturan Mas Kadir, ex pelawak Srimulat terkait masalah kerja. Dia berujar, bahwa “hiburan bagi seorang laki-laki adalah bekerja”. Dengan bekerja, maka seseorang tidak hanya mendapatkan uang, tetapi juga kebahagiaan. Oleh karena itu, bekerja adalah tuntutan hidup. Selama manusia masih bernafas, ia harus tetap bekerja.

Daftar Isi

    • Essensi Bekerja
  • Baca Juga:
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an
  • Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini
  • Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad
    • Peran Suami Istri
    • Peran Dominan Pasangan
    • Perluasan Makna Pencari Nafkah

Essensi Bekerja

Usai membaca pesan terpampang di billboard pinggir jalan raya, anak perempuan saya bertanya dengan gaya bahasa seenaknya; “emang perempuan harus kerja Pak?”

Saya menjawab agak serius; “bekerja itu kewajiban setiap manusia, apapun jenis kelaminnya. Bekerja itu upaya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jika manusia tidak mau bekerja, maka ia pemalas. Seorang pemalas, hidupnya akan selalu mengharapkan pada belas kasihan orang lain”.

Baca Juga:

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini

Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad

“Eh sori, pertanyaanku kurang lengkap Pak. Kalau kerja sih iya lah…maksudku, apakah perempuan, sebagai istri, itu harus ikut mencari nafkah…?” pertanyaan kedua.

Saya kembali menjawab; “dalam sebuah pasangan, prinsip mencari nafkah itu kewajiban bersama setiap orang. Untuk pembagian peran masing-masing, harus didiskusikan bersama. Mislanya, siapa yang akan berperan sebagai pencari nafkah utama, siapa yang berperan sebagai pendukung”.

Selanjutnya, saya berkisah tentang beragam pilihan para pasangan rumah tangga dalam membagi peran untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Antara lain:

Pilihan pertama, pasangan yang memutuskan untuk menjadikan salah satunya (bisa istri atau suami) untuk berperan sebagai pencari nafkah tunggal. Pertimbangannya sederhana dan pragmatis. Saat itu, sang suami atau istri, sedang mendapatkan peluang usaha atau pekerjaan yang bagus. Untuk itu, salah satunya harus rela berperan sebagai mitra pendukung.

Meski demikian, pasangan ini sepakat untuk memiliki akses dalam pengelolaan sumberdaya yang berhasil mereka miliki secara setara. Masing-masing punya hak yang sama. Tidak ada yang lebih dominan dan merasa paling berhak untuk menggunakan uang.

Pilihan kedua, pasangan yang sejak awal sudah membagi peran antara suami dan istri secara ketat. Suami adalah pencari nafkah tunggal dan utama. Ia akan bekerja keras agar kebutuhan hidup pasangan itu bisa terpenuhi. Peran istri hanya sebagai pendukung. Tugas utamanya membereskan seluruh pekerjaan rumah, dan mengelola seluruh income yang diberikan suami secara baik.

Suami tidak tahu menahu cara mengelolanya. Seluruh penghasilan diserahkan kepada istri. Jika suami butuh sesuatu, maka dia akan meminta sang istri untuk menyiapkan dan melayani semua kebutuhan suami.

Pilihan ketiga, pasangan yang bersepakat bahwa baik istri maupun suami bisa berperan sebagai pencari nafkah. Siapakah yang menjadi utama? Perjalanan waktulah yang memutuskan. Proses kehidupan yang mereka jalani secara alamiah akan menentunkan siapakah yang lebih besar pendapatan, maka dialah yang utama. Sejak awal, pasangan model ini selalu siap dengan segala resikonya.

Peran Suami Istri

Dalam praktiknya, peran utama itu tidak pernah berlaku ajeg. Ia terus berganti-ganti. Tahun ini, sang suami menjadi pelaku utama. Tahun berikutnya bisa berganti, istrilah yang menjadi utama. Seperti roda, ia terus berputar sesuai perputaran bumi. Relasi yang terbangun dalam pasangan ini  cukup egaliter. Mereka memilih untuk mengelola sumber daya yang mereka miliki secara setara. Diskusi dan musyawarah akan menjadi prinsip utama dalam pengambilan setiap keputusan.

Pilihan keempat, pasangan yang sejak awal berkomitmen untuk melakukan semua pekerjaan secara bersama-sama. Biasanya, pasangan ini memilih sumber nafkahnya dari usaha sendiri. Peran antara suami istri bisa berganti-ganti. Siapa yang akan mengelola keuangan dan siapa yang akan berperan sebagai pengelola usaha. Intinya, masing-masing orang akan saling memperkuat dan mengisi ruang-ruang kosong.

Ketika sedang asyik bercerita, tiba-tiba pembicaraan terpotong oleh pertanyaan lugas

“Bapak dan Ibu pilih yang mana?”

“Bapak dan Ibu konsisten dengan pilihan ketiga dong” jawabku.

Peran Dominan Pasangan

Dalam relasi pasangan rumah tangga, tidak ada yang sepenuhnya bisa benar-benar setara dalam semua hal. Terkadang, salah satu ada yang berperan lebih dominan dari yang lain. Dalam urusan pendidikan dan pengaturan urusan rumah tangga misalnya, istri saya akan berperan lebih dominan, karena memang lebih paham untuk urusan tersebut.

Peran dominan, bisa timbul karena terkait dengan peran utama seseorang sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangga. Tidak mengherankan jika ada pasangan rumah tangga yang sejak awal pernikahan sudah melarang pasangannya untuk turut serta mencari nafkah. Suami (biasanya lho) akan beralasan bahwa dia merasa akan mampu memenuhi semua kebutuhan pasangannya. Dia juga akan mempertegas bahwa tugas utama (biasanya) istri, adalah melayani suami semata. Praktik semacam ini lebih dekat dengan “penaklukan” suami kepada istri mungkin ya?

Terkait fenomena itu, saya ingat pesan Ibu kepada anak-anaknya. Dia pernah berujar: “sebagai istri, sebaiknya memiliki penghasilan sendiri. Caranya bisa macam-macam. Jika tidak mampu, istri harus benar-benar gemi, mampu mengelola keuangan dan sumber daya lain di dalam rumah tangga dengan cermat, hati-hati dan penuh tanggung jawab. Dengan begitu, maka perempuan tidak akan mudah disepelekan suaminya.”

Perluasan Makna Pencari Nafkah

Setiap pasangan rumah tangga, memiliki kemerdekaan dalam menentukan berbagai pilihan dalam pengaturan siapa yang akan menjadi pencari nafkah dan sistem pengelolaan sumber daya yang berhasil ia peroleh. Pilihan apapun yang hendak kita pilih, prinsip kesalingan dalam mendukung pasangan dalam semua perkara rumah tangga, adalah yang utama. Selebihnya, tentu harus selalu kita awali dengan proses diskusi dan bermusyawarah.

Falsafah bekerja dan mencari nafkah tidak selayaknya dipersempit menjadi hanya pada lingkup di seputar dunia perkantoran dan industri. Bekerja adalah proses, yang tujuan akhirnya adalah memperoleh rezeki yang baik dan halal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ada beragam pilihan cara manusia dalam mencari nafkah. Apapun yang dipilih, bekerja dengan jujur, tekun dan sungguh-sungguh menjadi prasyarat utamanya.

Mencari nafkah, juga memiliki dimensi yang sangat luas. Ia tidak bisa dilakukan oleh seorang diri. Ada yang giat mencari, ada yang cermat mengelola. Keduanya harus saling bersinergi. Ketika suami atau istri bekerja, baik yang berafiliasi dengan orang lain atau membangun usaha sendiri, maka sang istri atau suami harus mampu mengisi ruang-ruang kosong.

Seorang istri yang memilih bekerja di rumah, bukan berarti menganggur. Peran sebagai “ibu rumah tangga” kerap diselewengkan maknanya menjadi seolah-olah tidak bekerja, tidak punya pendapatan. Padahal peran itu sangat besar kontribusinya.

Ibu saya pernah berujar dengan lugas kepada anak-anaknya. “Bapakmu memang memiliki sawah, kebun, dan lapak di pasar. Tetapi, semua itu benda mati. Ia baru menghasilkan uang ketika dikelola oleh seorang istri. Ketika penghasilan suami besar, uang itu bisa dengan mudah hilang, menguap ke langit tanpa ada hasilnya.

Uang itu bisa menjadi berkah yang bermanfaat, ketika kita kelola dengan cermat, jujur, penuh tanggungjawab oleh sang istri. Jadi, seorang istri yang bekerja selama 24 jam dari rumah, bukan berarti tidak memiliki peran penting dalam proses pencarian nafkah keluarga.

Saya ingin meluaskan makna bekerja untuk mencari nafkah dalam konteks rumah tangga. Para pencari nafkah keluarga, bukan saja mereka yang berangkat pagi pulang sore ke tempat kerja. Mereka yang berada di rumah, menyelesaikan seluruh urusan rumah, menyiapkan kebutuhan pasangan untuk bekerja, menyediakan makanan yang baik dan sehat bagi seluruh anggota keluarga agar bisa hidup lebih berkualitas, mengelola sumber daya yang berhasil diperoleh bersama, mereka adalah juga seorang pencari nafkah sejati. []

Tags: bekerjasamaistrikeluargaMencari Nafkahperempuan bekerjaperkawinanprinsip kesalingansuami
Ahsan Jamet Hamidi

Ahsan Jamet Hamidi

Program Officer di The Asia Foundation Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Ciputat Timur, Tangerang Selatan

Terkait Posts

Dinafkahi Istri

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

20 Maret 2023
Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Perempuan Harus Berpolitik

Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik

19 Maret 2023
Pembuktian Perempuan

Cerita tentang Raisa; Mimpi, Ambisi, dan Pembuktian Perempuan

18 Maret 2023
Fundamentalisme Islam

Haideh Moghissi : Fundamentalisme Islam dan Perempuan

17 Maret 2023
Generasi Strawberry

Self Diagnose, Parenting, dan Labelling: Penyebab Munculnya Generasi Strawberry

16 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Poligami Perempuan

    Poligami Banyak Merugikan Kaum Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an
  • Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist