• Login
  • Register
Senin, 7 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Raden Saleh dan Politik Seni Perlawanan

Pada karya fenomenal itu, Diponegoro ia lukiskan tampak berjuang untuk menahan perasaannya, seperti yang menjadi harapan dari seorang priyayi. Tetapi wajahnya masih penuh kemarahan dan penghinaan

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
30/08/2022
in Film, Rekomendasi
1
Raden Saleh

Raden Saleh

647
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada 25 Agustus lalu, sutradara Angga Dwimas Sasongko kembali menggebrak dunia perfilman tanah air dengan karya drama baru berjudul “Mencuri Raden Saleh”, yang bercerita tentang aksi perampokan sekelompok anak muda yang nihil pengalaman namun nekat mencuri dengan iming-iming sejumlah uang.

Berbeda dengan film-film Indonesia dengan topik sama. Fokus barang curian kali ini berupa barang lukisan cagar budaya “Penangkapan Pangeran Diponegoro “yang dibuat maestro kawakan Indonesia, Raden Saleh.

Raden Saleh dan Politik Seni Perlawanan

Berbicara seni lukis di Indonesia, nama Raden Saleh tentu tidak asing lagi. Pelukis dengan nama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman ini mempunyai gaya lukis dan tema serta obyek yang amat beragam. Bahkan pada zamannya, ia disebut-sebut sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia.

Tak hanya mampu berkarya dengan aliran naturalis romantis. Yaitu aliran yang memvisualisasikan bentuk aslinya dan mengandung cerita dahsyat, emosional, penuh gerak, menyentuh perasaan dan terkesan hidup. Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh juga mengandung paradoks, atau menentang banyak hal yang terkadang sudah terlanjur diyakini oleh masyarakat setempat, termasuk bagaimana ia melukis dengan cara berbeda ketika menggambarkan bagaimana Pangeran Diponegoro ditangkap (Endriawan, 2020).

Perlu kita ketahui, sebelum Raden Saleh, seniman pertama yang mengangkat tema sama adalah Nicolaas Pieneman dalam lukisan berjudul “Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock” (1830-1835). Gambar yang Nicolaas buat dengan apa yang Raden Saleh ilustrasikan amatlah berbeda.

Baca Juga:

Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Lukisan Diponegoro

Pada karya Nicolaas, terlihat jelas bahwa Diponegoro berdiri di sebelah de Kock. Yakni di tangga sebuah rumah kolonial, dan dikelilingi oleh perwira Belanda. Lalu di sekitarnya amat banyak orang Jawa yang mereka lucuti dan menyerah takluk pada kekuasaan Belanda. Pelukis asal negeri kincir angin itu juga menggambarkan pada saat itu posisi Belanda sangat kuat. Sehingga banyak warga pribumi yang tak berkutik dan hanya bisa menuruti apa kemauan mereka.

Kekuasaan kolonial dan ketidakberdayaan warga negara jajahan itu ia simbolkan dengan gambaran sosok orang-orang Belanda yang menduduki dan berdiri lebih tinggi dari orang-orang lokal. Bahkan ada satu gambar yang memperlihatkan pimpinan kompeni menunjuk lantang ke arah atas, pertanda bahwa mereka diposisikan lebih tinggi derajat dan kuasanya.

Hal tersebut berbeda dengan orang-orang lokal yang tampak lunglai, dan sebagian dari mereka ada di posisi menunduk, menyembah kalah serta tampak menyerah pasrah pada apapun yang pihak penjajah sampaikan.

Tidak terima akan penggambaran kolonialisme Belanda dalam memandang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro, Raden Saleh mereka ulang peristiwa bersejarah tadi dengan ilustrasi yang penuh cahaya fajar, tak lagi gelap dan kelam seperti yang dilukis oleh Pieneman. Ia juga menggambarkan Diponegoro dan de Kock sejajar dengan latar fajar hari baru, sehingga mengisyaratkan, menurut para kritikus, pembebasan masa depan Jawa dari kolonialisme (Kraus, 2005).

Diponegoro berdiri di depan de Kock dalam pose menantang. Ppada tingkat yang sama, saling berhadapan sebagai manifestasi dari fakta bahwa orang Jawa sejajar dengan orang Belanda. Letnan jenderal tergambarkan tidak simetris, kepalanya agak lebih besar. Banyak yang menilai ukuran tersebut Raden Saleh sengaja sebagai caranya menonjolkan sikap angkuh sang kompeni.

Karya Fenomenal Raden Saleh

Pada karya fenomenal itu, Diponegoro ia lukiskan tampak berjuang untuk menahan perasaannya, seperti yang menjadi harapan dari seorang priyayi. Tetapi wajahnya masih penuh kemarahan dan penghinaan. Bahasa tubuh Diponegoro, khususnya sikap tegas yang ia padukan dengan dagu yang terangkat dan dada yang membusung, menunjukkan bahwa ia tak takut pada Belanda.

Di dekatnya, di sisi kiri de Kok, terlihat sekelompok perwira Belanda, di antaranya sejarawan seni mengidentifikasikannya sebagai Kolonel Louis du Perr, Letnan Kolonel V. A. Rust, Ajudan Mayor François Vincent Henri Antoine de Stuers (Carey, 1982).

Satu hal yang menarik. Meski melawan narasi kompeni, Raden Saleh berani secara pribadi untuk menyerahkan karyanya kepada Raja Willem III dari Belanda. Di satu sisi, Belanda menerima interpretasi baru Saleh dalam menggambarkan peristiwa penting itu.

Lalu, pada tahun-tahun berikutnya, lukisan karya Raden Saleh tersebut mereka simpan di Istana Het Loo, Den Haag. Hingga akhirnya pada tahun 1978, lukisan itu ia sumbangkan kepada pemerintah Indonesia yang sudah merdeka, yang selanjutnya diputuskan untuk dipamerkan di Museum Nasional Indonesia dan Istana Kepresidenan di Jakarta.

Kini lukisan tersebut menjadi koleksi Museum Kepresidenan dan masih kita kenang sebagai manifestasi politik perlawanan kolonialisme melalui jalur seni. []

 

Tags: FilmIndonesiaLukisanPolitik SeniRaden Salehsejarah
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Film Rahasia Rasa

Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

6 Juli 2025
Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Squid Game

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

3 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ulama Perempuan

    Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial
  • Surat yang Kukirim pada Malam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID