Mubadalah.id – Pernahkah kita berpikir bagaimana kehidupan sehari-hari bagi difabel? Bagi banyak orang, hal-hal sederhana seperti pergi ke sekolah, bekerja, atau bahkan sekadar beribadah bisa kita lakukan dengan mudah.
Tapi bagi teman-teman difabel, ada banyak tantangan yang masih menghalangi mereka untuk hidup dengan setara. Sayangnya, mereka sering mengalami marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Yuk, kita bahas satu per satu.
Marginalisasi: Difabel yang Sering Terpinggirkan
Marginalisasi atau peminggiran adalah ketika suatu kelompok—termasuk difabel—tidak mendapatkan akses yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, atau layanan kesehatan. Misalnya, masih banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas ramah difabel, sehingga anak-anak dengan keterbatasan fisik kesulitan belajar.
Dalam dunia kerja, banyak perusahaan masih enggan menerima pekerja difabel karena anggapannya kurang produktif. Bahkan, di ruang publik seperti trotoar atau transportasi umum, desainnya sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan mereka. Ini bukan cuma soal infrastruktur, tapi juga soal sikap masyarakat yang belum sepenuhnya inklusif.
Subordinasi: Ketika Difabel Dianggap Kurang Penting
Subordinasi terjadi ketika seseorang kita anggap lebih rendah atau kurang penting daripada kelompok lainnya. Hal ini sering teman difabel alami, misalnya dalam pengambilan keputusan di keluarga. Jarang yang mengajak berdiskusi soal masa depan mereka sendiri, apakah itu tentang sekolah, pekerjaan, atau pernikahan.
Dalam komunitas keagamaan, difabel juga sering hanya menjadi peserta pasif tanpa kesempatan untuk berperan sebagai pemimpin atau pengurus. Padahal, mereka punya hak yang sama untuk berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan!
Kekerasan: Ancaman Nyata bagi Difabel
Difabel lebih rentan mengalami kekerasan, baik fisik, verbal, ekonomi, maupun seksual. Misalnya, mereka sering mengalami perundungan di sekolah atau lingkungan kerja karena anggapan berbeda. Secara ekonomi, ada juga difabel yang terpaksa bekerja dengan upah rendah atau bahkan tidak menerima bayaran.
Perempuan difabel lebih rentan terhadap pelecehan karena dianggap tidak bisa melawan. Hal ini menunjukkan bahwa kita perlu lebih peduli terhadap perlindungan hak mereka agar terhindar dari kekerasan dan eksploitasi.
Beban Ganda: Difabel yang Harus Berjuang Lebih Keras
Beban ganda dialami oleh kelompok tertentu dalam komunitas difabel. Misalnya, perempuan difabel sering harus menghadapi diskriminasi ganda—baik sebagai perempuan maupun sebagai penyandang disabilitas.
Mereka tetap diharapkan menjalankan peran domestik seperti mengurus rumah tangga, meskipun memiliki keterbatasan fisik. Difabel di pedesaan juga menghadapi lebih banyak hambatan daripada mereka yang tinggal di kota karena akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan masih terbatas.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Menurut Dr. Nur Rofi’ah dalam Kegiatan Ramadhan Inklusi dengan tema, “Disabilitas dalam Perspektif Keadilan Hakiki”, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama, kita bisa mulai dengan mengubah cara pandang kita terhadap penyandang disabilitas.
Mereka bukan sekadar “kasihan” atau “butuh bantuan”, tapi mereka juga punya hak yang sama menjadi manusia yang utuh untuk berkembang dan hidup mandiri. Kedua, kita bisa mendukung kebijakan yang lebih inklusif, seperti mendesak adanya fasilitas ramah difabel di sekolah, tempat kerja, dan ruang publik.
Terakhir, kita bisa menyebarkan kesadaran tentang hak-hak difabel agar semakin banyak orang yang peduli dan ikut bergerak untuk perubahan. Oleh karena itu, mari menjadi bagian dari masyarakat yang lebih inklusif. Karena ketika semua orang mendapatkan kesempatan yang sama, dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik untuk semua. []