• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Refleksi Gender dalam Peringatan Hari Sejarah Nasional 14 Desember

Dalam dua dekade terakhir, kita perlu bersyukur bahwa isu perempuan dalam sejarah nasional mulai terangkat. Kini, semakin banyak tokoh perempuan yang peranannya tertulis oleh sejarawan

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
14/12/2022
in Publik
0
Hari Sejarah Nasional

Hari Sejarah Nasional

447
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

 asMubadalah.id – Sadar atau tidak, kehidupan yang sekarang kita jalani amat banyak terpengaruh oleh dinamika dan catatan sejarah di masa lampau. Pergolakan tersebut tidak hanya mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat elit, tapi juga memberikan dampak terhadap bagaimana masyarakat berperilaku. Sayangnya, perekaman sejarah di Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, dari perspektif hingga pengarsipan. Maka tulisan ini sebagai refleksi Hari Sejarah Nasional, untuk memotret perjalanan penulisan sejarah negeri ini.

Awal Mula Hari Sejarah Nasional

Menilik situasi yang ada, pada tanggal 14-18 Desember tahun 1957, muncullah inisiatif dari Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia untuk melengkapi dan memperbaiki catatan masa lalu melalui seminar sejarah nasional. Dalam empat hari, dikumpulkanlah berbagai saran dan pendapat untuk menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun sejarah nasional. Yakni dengan syarat ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Kedua ketentuan tadi mereka ambil karena selama ini banyak sekali perdebatan mengenai catatan sejarah Indonesia yang dianggap simpang siur dan tidak memiliki bukti otentik.

Tidak hanya membahas mengenai dinamika sejarah nasional yang sudah ada. Dalam agenda penting 65 tahun lalu, terbahas pula sejumlah topik yang berkenaan dengan peristiwa masa lampau yang tertulis dalam buku-buku. Di antaranya mengenai bagaimana sejarah masih tertulis dari sudut pandang pihak kolonial. Tidak memperhitungkan kerugian serta penderitaan dari wilayah dan kelompok yang mereka jajah.

Hilangnya perspektif masyarakat pribumi dalam sejarah ini kemudian berdampak pada banyak hal. Termasuk pada timbulnya inferiority complex atau perasaan lebih rendah dibandingkan kaum kulit putih. Di mana dulu penjajah menjarah kekayaan wilayah Nusantara. Argumen ini sejalan dengan apa yang Frantz Fanon sampaikan dalam bukunya “Black Skin, White Masks” (1952). Fanon melihat bahwa penjajahan selain menciptakan perilaku rendah diri juga menormalisasikan rasisme dalam komunitas internal kelompok yang terjajah.

Menyadari pentingnya perbaikan perspektif sejarah, pemerintah pusat kemudian menanggapi wacana tersebut dengan menetapkan seminar sejarah nasional pada tanggal 14 Desember. Peringatan ini dipandang sebagai tonggak upaya gerakan dekolonisasi sejarah dengan sudut pandang nasional. Harapannya, selain mengubah perspektif penulisan peristiwa masa lampau, bangsa Indonesia terdorong untuk lebih berkontribusi aktif dalam memandang negerinya sebagai subjek sejarah global. Bukan lagi objek kolonialisme. Kemudian, corak penulisan sejarah ke depannya perlu kita perkaya tidak hanya dari kacamata politik, ekonomi, dan sosial saja. Tapi juga perlu kita lihat dari aspek budaya Indonesia yang heterogen.

Baca Juga:

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Two State Solution: Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?

Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail

Isu Perempuan dalam Penulisan Sejarah

Selang 65 tahun dari penetapan sejarah nasional, apa yang para sejarawan dulu cita-citakan, kini sedikit demi sedikit mulai muncul titik terang. Meningkatnya tingkat literasi penduduk kita mendorong lebih banyak buku sejarah yang ditulis dari sudut pandang nasionalisme. Namun, ketika kita gali lebih dalam lagi. historiografi atau penulisan sejarah kita ternyata masih menyisakan pekerjaan rumah lainnya. Yaitu terbatasnya perspektif perempuan dan tokoh perempuan yang mereka tampilkan.

Jika kita baca buku-buku sejarah yang ada, dominasi laki-laki masih mencolok dalam kisah heroisme perlawanan terhadap penjajah. Belum lagi menyoal peran tokoh perempuan dalam dinamika peristiwa masa lalu. Meski terdapat pahlawan perempuan yang memegang peranan sentral dalam kepemimpinan wilayah dan berkontribusi luas. Kiprah mereka tak banyak tertulis.

Selain budaya patriarki yang masih kuat, minimnya penulis sejarah dari kalangan perempuan juga menjadi persoalan. Ketika menyebutkan penulis sejarah, kita tentu lebih familiar dengan nama-nama berikut: Kuntowijoyo, Sartono Kartodirdjo hingga Nugroho Notosusanto. Tak heran catatan sejarah kita masih bersifat maskulin. Sebab, sejak tahun 1997 sampai saat ini, dari sekitar 1.700an buku sejarah Indonesia yang telah terbit ke pasaran, hanya 2 persen saja yang membahas dan menyinggung tentang perempuan.

Kajian Sejarah Perspektif Gender

Meski begitu, dalam dua dekade terakhir, kita perlu bersyukur bahwa isu perempuan dalam sejarah nasional mulai terangkat. Kini, semakin banyak tokoh perempuan yang peranannya tertulis oleh sejarawan. Dulu, RA Kartini yang selalu menjadi bintang utama. Namun kini kita mulai familiar dengan nama-nama lain seperti Dewi Sartika dan Roehana Kuddus. Di mana buku-buku perjalanan hidupnya tertulis secara menyeluruh.

Kemunculan tokoh-tokoh perempuan lain ini, bisa jadi menjadi indikator bahwa kajian sejarah dalam perspektif gender di Indonesia semakin matang, dan bisa jadi fenomena “Ibuisme Negara”, istilah yang digagas oleh Julia Suryakusuma (2011), kian pudar di mata publik.

Dan ke depan, kita tentu berharap bahwa publik lewat catatan sejarah yang ada bisa melihat perempuan sebagai makhluk yang utuh. Yakni dengan kiprah serta kontribusinya. Seperti yang Gus Dur nasihatkan semasa beliau hidup, “melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki. Sosok makhluk yang utuh. Jangan hanya melihat dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya.” [] (bebarengan)

Tags: GenderHari Sejarah NasionalIndonesiaPahlawan PerempuanRefleksi
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Patung Molly Malone

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID