Mubadalah.id – Beberapa bulan terakhir ini kita sering melihat di media sosial kasus orang tua yang melaporkan guru ke kantor polisi karena diduga melakukan penganiayaan kepada anaknya.
Pada akhirnya sang guru harus masuk ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan membela diri sendiri di meja hijau. Seharusnya guru masuk ke kelas dan membagikan pengetahuan kepada murid, namun hari ini yang terjadi justru guru lebih sering masuk berita kriminal.
Baru-baru ini ibu Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan menjadi perbincangan publik di media sosial. Ia dilaporkan oleh orang tua murid yang merupakan anggota kepolisian karena tertuduh melakukan penganiayaan kepada anaknya pada April 2024.
Mengutip dari liputan6.com setelah proses hukum berjalan selama berbulan-bulan, Ibu Supriyani resmi tertahan oleh kejaksaan Negeri Konawe Selatan dan ditempatkan di Lapas Perempuan Kendari pada 16 Oktober 2024.
Berkaitan dengan hal tersebut hari Senin, 25 November yang bertepatan dengan Hari Guru Nasional, maka saya ingin memberikan refleksi hari guru, sedikit tentang berbagai hal yang terjadi pada para guru di beberapa tahun terakhir ini.
Hari Guru Nasional 2024
Dalam bahasa Jawa guru adalah istilah dari “diguru lan ditiru”. Maknanya adalah orang yang patut kita ikuti. Namun definisi lain terkait guru yaitu berasal dari bahasa sansekerta Gu dan Ru. Gu artinya tuntunan dan Ru artinya cahaya. Gabungan dua kata tersebut membentuk sebuah makna yaitu seseorang yang memberikan tuntunan menuju cahaya.
Berkaitan dengan Guru, setiap 25 November kita peringati sebagai hari Guru Nasional. Peringatan tersebut merupakan bentuk penghargaan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa yang telah memberikan kontribusi besar dalam pendidikan di Indonesia. Penetapan hari guru ini tidak terlepas dari seorang tokoh pendidikan yaitu Ki Hajar Dewantara yang terkenal sebagai bapak pendidikan di Indonesia.
Adapun yang menetapkan 25 November sebagai Hari Guru Nasional adalah presiden Soeharto. Hal ini merupakan sebagai bentuk penghormatan kepada semua guru yang telah gigih mengabdikan diri untuk menebar cahaya pengetahuan.
25 November bukan hanya sebagai seremoni saja. Melainkan sebagai refleksi hari guru untuk merenungi tentang nasib para guru. Terutama yang akhir-akhir ini sering terjadi adalah kasus guru yang terlaporkan ke polisi karena dituduh melakukan penganiayaan kepada muridnya.
Tanpa Tanda Jasa bukan Berarti Diperlakukan Semena-mena
Istilah guru adalah pahlawan tanda jasa sudah tidak asing lagi di telinga. Julukan itu sepertinya sudah sangat melekat kepada profesi para guru. Penulis sendiri juga sebenarnya tidak mengetahui apakah julukan tersebut merupakan bentuk merendahkan atau meninggikan profesi guru.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa julukan tersebut kita berikan kepada guru karena kontribusi mereka yang sangat besar bagi bangsa sehingga layak di sebut pahlawan. Tetapi di sisi lain, guru tidak pernah memperoleh tanda jasa seperti pahlawan-pahlawan nasional. Jangankan tanda jasa mendapatkan imbalan yang layak pun tidak.
Banyak sekali video yang tersebar di media sosial yang memperlihatkan beberapa siswa meremehkan guru, tidak menghormati guru. Bahkan penulis pernah melihat seorang murid menendang meja guru tepat di depan guru. Tetapi ketika siswa ditegur atau diberikan sanksi justru guru yang menjadi bersalah. Hal ini terjadi karena banyak orang tua yang tidak terima anak mereka diperlakukan seperti itu dengan dalih, “kami di sini bayar”.
Banyaknya kejadian orang tua melaporkan guru ke polisi pada akhirnya menjadikan siswa dapat semena-mena kepada guru dan membatasi guru dalam melakukan tindakan hukuman kepada siswa yang telah melakukan kesalahan.
Meskipun konon katanya adalah pahlawan tanpa tanda jasa bukan berarti orang tua dan siswa dapat melakukan hal seenaknya kepada guru. Akan tetapi orang tua harus memberikan penghormatan penuh kepada guru karena mereka tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan tetapi juga mengajarkan tata krama dan etika.
Undang-undang Perlindungan Guru
Mengutip dari tempo.co pada rapat koordinasi evaluasi pendidikan dasar dan menengah di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan pada Senin 11 November, wakil presiden Gibran mengusulkan untuk membuat undang-undang perlindungan guru. Gibran meminta untuk tidak ada lagi kasus kekerasan, perundungan, hingga kriminalisasi guru. Menurut Gibran UU perlindungan anak justru kita gunakan untuk menyerang para guru.
Sebenarnya undang-undang terkait guru sudah ada yaitu UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Namun sepertinya kasus ibu guru Supriyani menandakan bahwa undang-undang tersebut tidak berjalan maksimal.
Kebanyakan dari kita banyak berbicara tentang perlindungan anak. Tetapi sedikit sekali yang berbicara tentang perlindungan guru. Oleh sebab itu tidak hanya anak, guru juga butuh perlindungan. Perlindungan dari berbagai hal sehingga guru merasa aman dalam melakukan tindakan selama tindakan itu tidak keluar dari kode etik.
Pada momentum refleksi hari guru ini penulis ingin mengajak teman-teman semua untuk terus memberikan penghormatan kepada guru. Meskipun guru mendapat julukan pahlawan tanpa tanda jasa tetapi pada sejatinya jasa merekalah yang paling banyak untuk kita semua. Wallahua’lam. []