Mubadalah.id – Dalam banyak tafsir yang masih patriarkis, sering kali perempuan dipandangan sebagai sumber fitnah. Hadis Nabi Saw. yang menyatakan bahwa “tidak aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki selain perempuan,” kerap dikutip sepotong-sepotong untuk memperkuat pandangan tersebut.
Namun, tafsir Mubadalah hadir menawarkan cara pandang baru yang lebih adil dan setara. Tafsir ini memandang laki-laki dan perempuan sebagai subyek yang sama dalam konsepsi fitnah. Keduanya, secara timbal balik, bisa menjadi pelaku maupun korban. Fitnah dalam hal ini bukan monopoli satu jenis kelamin, melainkan dinamika yang dialami bersama sebagai bagian dari ujian kehidupan.
Langkah awal dalam menafsirkan hadis tentang fitnah menurut pendekatan Mubadalah adalah dengan meletakkan ajaran Islam bahwa seluruh kehidupan ini adalah fitnah, yakni ujian atau cobaan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Mulk (67): 1–2.
Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa penciptaan hidup dan mati adalah untuk menguji siapa di antara kita yang paling baik amalnya.
Artinya, baik laki-laki maupun perempuan sedang diuji, dipesona, dan ditantang untuk menahan diri dari keburukan.
Langkah kedua, tafsir Mubadalah mengajak kita menangkap pesan moral dari teks hadis tersebut. Jika dalam redaksi hadis yang ia ajak bicara adalah laki-laki sebagai fitnah adalah perempuan. Maka hal ini harus kita baca dalam konteks komunikatif, bukan normatif.
Hadis tersebut bukan berarti menyematkan perempuan sebagai sosok penggoda, tetapi sekadar menyampaikan pesan kepada subyek yang sedang diajak bicara: laki-laki. Maka pesan moralnya adalah ajakan untuk menjaga diri dari kemungkinan tergelincir akibat pesona lawan jenis.
Langkah ketiga, adalah jika perempuan bisa menjadi fitnah bagi laki-laki, maka laki-laki pun bisa menjadi fitnah bagi perempuan.
Realitas Sosial
Dalam realitas sosial, kita pun menyaksikan bahwa fitnah, pesona, dan ujian dalam relasi antar manusia terjadi dua arah. Maka ajakan untuk menjaga diri tidak bisa hanya berlaku satu arah. Tafsir ini mengembalikan makna fitnah kepada asal-usulnya dalam bahasa Arab dan al-Qur’an, yakni sebagai cobaan dan ujian yang bisa terjadi secara timbal balik.
Al-Qur’an sendiri memberikan banyak contoh penggunaan kata “fitnah” dalam konteks timbal balik. Dalam QS. Al-Anbiya (21): 35, menyebutkan bahwa kebaikan dan keburukan adalah ujian bagi orang beriman.
Dalam QS. Ad-Dukhan (44): 17–18 dan Al-Maidah (5): 49), menggambarkan bahwa rasul dan kaumnya pun bisa saling menjadi fitnah. Bahkan orang beriman dan yang tidak beriman juga bisa menjadi fitnah satu sama lain, sebagaimana dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 5 dan Al-Buruj (85): 10.
Dengan pendekatan ini, hadis tentang fitnah perempuan tidak lagi kita maknai sebagai stigmatisasi terhadap perempuan, melainkan sebagai peringatan moral universal. Ia bukan dalih untuk mendisiplinkan tubuh dan ruang gerak perempuan, tapi ajakan reflektif bagi siapa pun untuk berhati-hati terhadap daya tarik duniawi yang bisa menjatuhkan siapa saja. []