Mubadalah.id – Konsep Mubadalah mengajarkan kita untuk selalu mempraktikkan kesalingan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak terkecuali untuk relasi imam-makmum keluarga. Seringkali kita didoktrin bahwa imam adalah laki-laki, sedang makmumnya perempuan.
Padahal, Allah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Menjadi pemimpin adalah bakat dan skill yang tiap orang miliki sejak lahir serta hasil interaksinya dengan lingkungan. Tidak semua orang bisa memimpin dan mengambil keputusan dengan baik.
Jika imam keluarga harus selalu laki-laki, maka laki-laki harus bisa memimpin keluarga dalam segala bidang. Laki-laki harus bisa mengambil keputusan dalam setiap kondisi dan situasi. Apakah ini memungkinkan untuk selalu dilakukan?
Begitu juga perempuan, ia harus selalu menjadi makmum. Tunduk dan patuh adalah kunci utama menjadi seorang istri. Suwarga nunut, neraka katut, begitulah istilah dalam bahasa Jawa. Artinya, istri itu masuk surganya menumpang pada suami, dan kalau suami masuk neraka, istri bisa terbawa. Benarkah demikian?
Perempuan, dengan segala bakatnya, harus menjadi makmum dalam keluarga. Ia tidak pernah diberi kesempatan untuk memimpin ataupun menentukan nasibnya sendiri. Perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengambil keputusan, terlepas bagaimana pendidikan, skill, dan pengalaman yang ia miliki.
Surga untuk Orang yang Beriman
Allah berfirman dalam Q.S. At Taubah ayat 72
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya, mereka kekal di dalamnya, dan tempat-tempat yang baik di surga ‘Adn. Rida Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung.
Ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk masuk surga selama mereka beriman (mukminin dan mukminat). Artinya parameter seseorang masuk surga bukanlah jenis kelamin ataupun peran dalam keluarga, melainkan karena keimanannya.
Kepribadian
Setiap orang memiliki kepribadian yang mereka bawa sejak lahir dan terbentuk saat masa pertumbuhan berkat interaksinya dengan lingkungan. Kita bisa melakukan tes kepribadian untuk mengetahui jenis kepribadian kita. Berdasarkan tes tersebut saya memiliki tipe kepribadian ENTJ (Komandan).
Saat SMA, saya menjadi ketua OSIS sekaligus ketua Asrama. Saat kuliah, saya menjadi ketua KKN yang berisi 6 laki-laki dan 4 perempuan. Saya bukan ingin membahas hebatnya saya menjadi ketua.
Namun, saya ingin mempertanyakan, bagaimana jika seorang perempuan terlahir dan memiliki kepribadian sebagai pemimpin? Haruskah ia tunduk dan patuh di hadapan suami tanpa memiliki peran apa pun dalam pengambilan keputusan? Haruskah ia menjadi pengikut suami apa pun yang terjadi?
Jika ada perempuan yang memiliki kepribadian sebagai pemimpin, maka ada pula laki-laki yang memiliki kepribadian bukan sebagai pemimpin. Artinya kepemimpinan tidak dilandaskan pada jenis kelamin, melainkan sifat bawaan dan interaksi dengan lingkungan.
Kemampuan Memimpin
Sebagaimana yang saya bahas di atas, kemampuan memimpin seseorang tidak ditentukan beradasarkan jenis kelamin. Seseorang terkadang memang terlahir dan mudah dalam memimpin orang lain. Ada juga yang mengalami tempaan hingga bisa menjadi pemimpin.
Namun tempaan dan bawaan lahir ini tidak memilih jenis kelamin. Kemampuan memimpin akan hadir dalam diri siapa saja yang memang sanggup untuk memimpin. Tidak semua laki-laki memiliki kemampuan memimpin. Apalagi jika dalam pertumbuhannya ia tak pernah mengalami tempaan untuk menjadi pemimpin.
Ada pula laki-laki yang memang layak dan cakap dalam memimpin. Namun kepemimpinan laki-laki dalam keluarga tidak bisa mutlak dalam hal-hal yang tidak ia pahami. Begitu pun perempuan, tak berarti perempuan selalu cakap dan layak menjadi pemimpin. Namun, perempuan harus diberi kesempatan untuk mengatur dan menentukan hal-hal yang menurutnya baik.
Mubadalah dalam Keluarga
Apakah kita harus menegasikan peran laki-laki sebagai imam? Jawabannya tidak. Kita tidak perlu meneriakkan bahwa perempuan layak menjadi imam. Hanya saja kita perlu mengakui dan menyadari kelebihan dan kekurangan kita. Kita hanya perlu berbagi dengan pasangan, mempraktikkan kesalingan dengan pasangan.
Artinya apa? Jika memang pasangan memiliki keahlian dalam beberapa bidang, maka biarkanlah pasangan kita memimpin jalannya rumah tangga. Misalnya, istri lulusan pesantren dan lebih paham agama, maka biarkan istri membimbing suami dan anaknya dalam hal agama.
Misalnya suami lebih pintar mengatur keuangan, maka biarkan suami yang mengendalikan seluruh pengeluaran bulanan. Jika memang istri tidak ahli mengatur keuangan, gaji suami tidak harus istri simpan.
Jika suami ahli dalam parenting, maka biarkan suami yang mengambil alih kendali pengasuhan. Biarkan suami menentukan metode parenting karena ia telah mempelajarinya dengan baik.
Jika suami sedang mengalami burn out, putus asa, maka nakhoda keluarga bisa suami serahkan kepada istri. Biarkan istri mengambil beban kepempimpinan saat suami berada dalam keterpurukan.
Masyarakat Mubadalah
Sebenarnya praktik mubadalah dalam relasi imam-makmum sudah banyak dilakukan dalam masyarakat kita. Hanya saja, kita kadang enggan mengakui kepemimpinan perempuan. Banyak suami yang memberikan kebebasan pada istri untuk memimpin dan mengambil keputusan dalam keluarga, namun enggan melepas mahkota keimaman.
Kenapa kita tidak menyalingkan relasi ini? Kenapa kita tidak membebaskan istilah ini? Bahwa imam adalah sebutan bagi yang mampu, terlepas dari jenis kelaminnya. Bahwa perempuan memiliki peran dalam kepemimpinan dan tidak melulu harus menjadi makmum. []