Mubadalah.id – Sejatinya praktik kesalingan (mubadalah) tidak hanya berlaku di antara suami dan istri. Tetapi lebih luas di setiap hubungan yang terbangun oleh individu dengan individu lainnya, di dalam sebuah kelompok tertentu, termasuk di dalam gerakan lintas iman. Prinsip women supporting women yang seharusnya menjadi pegangan dalam berrelasi di antara perempuan, menjadi sesuatu yang utopis belakangan ini. Hal ini perlu jujur kita akui bahwa, di antara internal perempuan sendiri, relasi kesalingan ini tidak selalu mudah untuk kita terapkan.
Women supporting women?
Bagi sebagian perempuan yang bergumul dalam gerakan lintas iman, relasi kesalingan masih menjadi cita-cita yang sulit untuk terwujud. Sebab beberapa perempuan masih menaruh ego dengan perasaan iri, cemburu, merasa dilangkahi, merasa tersaingi, dan berbagai hal negatif lainnya. Misalnya cerita dari salah satu anggota di dalam sebuah organisasi perempuan. Ketika ia menyuarakan pendapatnya, oleh anggota perempuan lain dianggap sebagai ancaman.
Tidak satu dua kasus yang demikian. Kisah lainnya dari seorang perempuan yang terlibat dalam dialog antar iman merasakan hal yang sama. Ada tekanan dari senior kepada junior (relasi kuasa). Di mana sang senior kerap mempersulit terlaksananya kegiatan karena rasa tidak senang terhadap salah satu anggota yang lagi-lagi dianggapnya sebagai sebuah ancaman.
Bisa jadi, perasaan-perasaan tersebut muncul di kalangan individu perempuan karena literasi tentang relasi kesalingan belum utuh kita pahami sebagai sebuah jalan untuk mengatasi ego yang demikian. Sangat kita sayangkan ketika salah satu anggota perempuan yang potensial harus terhambat langkahnya demi memenuhi ego anggota perempuan lain yang lebih duluan bergabung.
Atau memiliki jabatan di dalam sebuah organisasi/gerakan. Kesempatan yang tadinya dapat terakses oleh siapa saja, menjadi sempit hanya oleh segelintir perempuan yang belum tentu kapasitasnya mumpuni.
Relasi kesalingan meniscayakan adanya kepercayaan, empati, saling mendukung, saling memperkuat potensi yang masing-masing individu miliki di dalam sebuah kelompok atau gerakan. Sayangnya, hal ini baru sebatas slogan saja. Relasi kuasa yang tidak setara melahirkan dominasi, bahkan saling menjatuhkan satu sama lain. Dengan demikian, potensi masing-masing individu dalam gerakan lintas iman menjadi terhambat untuk berkembang.
What Should be Done?
Di titik inilah ada kemungkinan muncul relasi dominan atau mendominasi. Meski menurut Pierre Bourdieu dalam bukunya Dominasi Maskulin (2010: 11-15) hubungan antara yang dominan dan yang didominasi terjadi di antara laki-laki dan perempuan karena terkait dengan patriarki dan konstruksi gender yang ada di masyarakat. Akan tetapi dalam konteks ini dapat terjadi juga di antara perempuan sendiri. Relasi seperti ini bukan hanya toxic, tetapi sifatnya sangat maskulin.
Jika kondisi seperti ini terus kita biarkan, maka boleh jadi akan muncul apa yang disebut Connell (2000: 4, dan 2005: 832) sebagai “maskulinitas hegemonik.” Meskipun maskulinitas hegemonik yang Connell maksud adalah dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan. Tetapi menurut penulis hal tersebut dapat terjadi dalam konteks antara laki-laki dan laki-laki, atau antara perempuan dan perempuan. Karena maskulinitas sendiri bukan merujuk pada jenis kelamin laki-laki, akan tetapi lebih mengacu pada sifat maskulin yang potensial ada dalam setiap orang. Baik dalam diri laki-laki maupun perempuan.
Lantas, apa yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir fenomena tersebut di atas? Pertama, sebuah organisasi atau gerakan harus berani mengakui kekurangan-kekurangan yang ada di dalam organisasi atau gerakannya. Termasuk dalam pola relasi anggotanya. Sebab ketika hal ini kita sangkal, tentu akan berdampak buruk secara personal maupun organisasional. Pada gilirannya hal tersebut akan berakibat pada sulitnya melakukan perbaikan yang menjadi kebutuhan.
Praktik Kesalingan dalam Gerakan
Adanya upaya yang jujur untuk mengakui kelemahan-kelemahan di internal gerakan perempuan dapat menjadi langkah awal untuk bisa membangun komunikasi yang lebih sehat, lebih adil dan memberdayakan. Hal ini akan mendorong terwujudnya kondisi yang memungkinkan para anggotanya bertumbuh bersama. Baik dari aspek sosial, intelektual maupun spiritualnya.
Kedua, sangat penting untuk memahami secara mendalam tentang isu kesetaraan gender dan relasi kesalingan (mubadalah). Kemudian kita jalankan dengan penuh ketulusan dan saling memanusiakan. Bahwa tidak hanya latar belakang identitas yang berbeda di antara anggota sebuah gerakan, tetapi potensi setiap orang juga berbeda-beda. Dengan memahami dan mempraktikkan relasi kesalingan di dalam sebuah gerakan, maka perbedaan-perbedaan yang ada dapat terkelola dengan baik. Yakni saling mendukung dan memperkuat potensi masing-masing.
Dengan demikian, mereka sama-sama bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi yang maksimal bagi gerakan yang sudah dibuat bersama-sama pula. Sama sekali bukan untuk membuat diri sendiri bersinar. Tetapi bersinar bersama-sama semua penggerak yang ada di dalamnya. Yakni dengan tujuan semakin memperluas pengaruh dan manfaat dari misi yang tersepakati di dalam gerakan tersebut.
Ketiga, relasi kesalingan antar sesama perempuan jangan hanya kita maknai sebagai dukungan terhadap satu sama lain. Tetapi juga saling memperkuat dengan menyediakan ruang yang aman dan nyaman bagi setiap anggota untuk mengeksplor potensi yang ia miliki. Ruang yang aman dan nyaman akan tercipta jika tidak ada diskriminasi. Tidak menjatuhkan hanya karena berbeda latar belakang. Menjadi pendengar satu sama lain, dan saling memberi support atas apa yang tengah dikerjakan.
The Lesson learned
Meskipun ada kisah seperti yang tersebutkan di atas, masih ada fakta yang menggembirakan terkait dukungan sesama perempuan dalam kelompok lintas iman. Misalnya di gerakan Srikandi Lintas Iman (SRILI) dan Cadar Garis Lucu. Keduanya, dapat menjadi rujukan organisasi lintas iman dengan identitas gender yang sama. Di mana mereka bisa menerapkan konsep kesalingan di dalam organisasi tersebut.
Artikel Retno Wahyuningtyas, dkk berjudul “Srikandi Lintas Iman (SRILI): Praktik Gerakan Perempuan dalam Menyuarakan Perdamaian di Yogyakarta” (2019: 293-312) menjelaskan tentang praktik baik di SRILI. Di mana sesama perempuan dengan perbedaan iman, etnis, profesi dan usia, mampu menciptakan ruang aman dan nyaman satu sama lain.
Misalnya dalam salah satu kegiatan Onboarding, sebagai bagian dari Open Recruitment keanggotaan baru SRILI, beberapa waktu lalu yang dilaksanakan di Novisiat CB Yogyakarta bersama dengan para Suster. Para anggota SRILI bahu membahu menyediakan menu buka puasa untuk para peserta dan saling mendorong anggotanya untuk dapat terlibat aktif dalam kegiatan. Tanpa tersekat oleh perbedaan identitas yang ada di antara mereka.
Hal serupa juga ditunjukkan oleh organisasi perempuan antar iman yang menamakan diri dengan Cadar Garis Lucu. Di dalam artikel karya penulis yang berjudul “Cadar Garis Lucu: Gerakan Muslimah Anti Kekerasan” (2022: 230-242) menjelaskan bahwa antar anggota dengan latar belakang suku, agama, dan cara berpakaian yang berbeda-beda mampu membangun solidaritas untuk menyuarakan misi bersama. Yaitu, mengudar stigma radikalisme dan eksklusifisme pada simbol cadar.
Kelompok Perempuan bisa Bersatu
Perempuan-perempuan bercadar di dalam kelompok ini dengan tegas mempraktikkan inklusifitas di dalam organisasi mereka dengan adanya anggota yang beragama Kristen, dan beberapa di antara anggota muslim juga ada yang tidak bercadar. Hal ini menjadi sebuah penegasan bahwa kelompok perempuan bisa kita bersatu dengan misi yang sama tanpa melihat latar belakang agama, terlebih model pakaian yang berbeda. Selama mereka bisa membangun kekompakan, saling mendukung, dan solid dalam pergerakan, mengapa tidak?.
Praktik baik dari Srikandi Lintas Iman dan Cadar Garis Lucu dalam membangun relasi yang sehat dengan basis kesalingan, juga dapat kita lihat dalam aktivitas mereka yang termuat di media sosial mereka masing-masing yakni @srilijogja dan @cadargarislucu. Kalau menyimak konten-konten sosial media dari dua organisasi tersebut, cukup kentara adanya penguatan dan perluasan narasi tentang #womensupportwomen. Di mana mereka membuktikannya dalam berbagai dukungan dan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan.
Kita dapat mengambil pelajaran dari contoh relasi kesalingan yang terjalin dengan baik dalam dua organisasi perempuan antar iman tersebut. Meskipun demikian, perlu kita akui bahwa pasti ada masalah-masalah di dalam berorganisasi karena perbedaan-perbedaan yang ada. Akan tetapi berbagai masalah yang ada tersebut so far dapat terselesaikan dengan merujuk pada nilai-nilai yang ingin diperjuangkan dalam organisasi dan juga prinsip women supporting women.
Bukankah masalah atau bahkan konflik itu merupakan suatu yang niscaya ada dalam relasi apapun. Ia merupakan bagian penting dari dinamika pertumbuhan seseorang atau sebuah organisasi. []
*)Artikel ini ditulis bersama dengan Ainun Jamilah