“Sesungguhnya, kebaikan rakyat bergantung kepada perilaku para pemimpin” Al-Ghazali, Al-Tibrul Masbuk Fi Nasihatil Muluk.
Mubadalah.id – Sebagai salah seorang ulama populer dalam sejarah Islam, Al-Ghazali tampil menggawangi begitu banyak bidang keilmuan. Fikih, tasawuf, ilmu kalam, filsafat bahkan tata negara. Maqalah (kata mutiara) di atas adalah salah satu kalam hikmah yang Al-Ghazali sampaikan khususnya dalam relasi berbangsa dan bernegara, di antaranya dengan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Al-Ghazali memberikan rumus singkat namun bernas tentang cara melihat kondisi suatu negara secara menyeluruh. Yaitu cukup dilihat dari perilaku para pemegang tampuk kepemimpinan. Karena melalui tingkah laku mereka, maka kondisi rakyat maupun kehidupan negara secara menyeluruh dapat terbaca. Mengapa? Karena pemimpin adalah teladan dan pemberi contoh. Maka jangan salahkan rakyat jika kondisi sosial kacau balau. Karena bisa jadi, mereka sedang mencerminkan perilaku pemimpinnya dalam cakupan yang lebih luas.
Kita ambil contoh misalnya, negara Madinah ketika sedang berada di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. dan para khulafaur rasyidin. Masyarakat minim konflik dan kekacauan sosial lainnya. Alih-alih justru negara Madinah menjadi negara yang makmur dan permai. Kehidupan sosial tertata dengan baik dan rakyat tunduk patuh kepada para pemimpin.
Contoh lain kita ambil dari perjalanan dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, dinasti ini berkembang sangat pesat bahkan menjadi salah satu kiblat keilmuan dunia. Tak lain karena pemimpinnya, mencitrakan diri sebagai sosok yang pantas ditiru, berakhlak baik, sederhana, tidak serakah dan tentunya sangat peduli terhadap pendidikan. Hal ini bisa kita lihat dari didirikannya perpustakaan Baitul Hikmah dan penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dan sejumlah contoh lainnya.
Singkatnya, kita perlu melihat adanya relasi resiprokal (atau meminjam teori Kyai Faqih: relasi mubadalah) antara pemimpin dengan rakyat. Jika pemimpin ingin memiliki rakyat yang terentaskan kemiskinannya, maka kurangi keserakahan pemimpin. jika ingin rakyat damai, kurangi pertikaian merebut kekuasaan. Jika ingin rakyat tunduk patuh, buat peraturan yang mengandung kemaslahatan. Dan seterusnya.
Mari kita coba bawa maqalah Al-Ghazali di atas pada kondisi terbaru di bangsa kita. Beberapa hari lalu, kasus sengketa tanah antara aparat pemerintah dengan rakyat desa Wadas terjadi. Parahnya, bentrok fisik dan penangkapan warga terjadi mengiringi sengketa ini. Kasus ini juga berbuntut panjang dengan saling tuding. Pemerintah, dengan kekuatan media yang berafiliasi, mengklaim sudah melakukan solusi damai, tidak menangkap kecuali dalam rangka pengamanan dan sejumlah dalih lainnya.
Sementara rakyat Wadas, dengan bantuan media sosial malah menyampaikan hal sebaliknya. Hei! Apa yang terjadi dengan bangsa kita? Kemana nilai-nilai yang terangkum dalam pancasila. Khusunya sila kedua. Kemana nilai kemanusiaan yang berkeadilan serta menjunjung tinggi adab yang dulunya dicita-citakan para founding father negara ini?
Pemerintah berseberangan dengan rakyat, ini adalah salah satu contoh nyata tidak adanya keselarasan antara pemimpin dengan rakyat. Mari kita coba melihat kondisi ini dengan kaca mata maqalah Al-Ghazali di atas. Berikut saya sajikan dua poin pertimbangannya:
1. Benar-benar Dialog? Atau?
Disampaikan oleh pihak pemerintah, salah satunya adalah yang disuarakan oleh Menkopolhukam, Mahfud MD bahwa dialog antar kedua pihak sudah dilaksanakan jauh-jauh sebelum konflik ini terjadi. Bahkan, pengukuran lahan ini dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan setelah pengajuan kasasi masyarakat ditolak. Poin lainnya, disebutkan bahwa sebenarnya konflik yang terjadi bukan antara pemerintah dengan rakyat. Namun justru antara warga yang setuju terhadap keputusan pemerintah dengan warga yang kontra.
Pada poin inilah peran pemerintah dibutuhkan. Sebagaimana kata mutiara dari Al-Ghazali, baik-buruknya suatu negara dilihat dari para pemegang kekuasaannya. Maka, sudah selayaknya pemerintah di sini turun tangan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai. Artinya, pemerintah idealnya tidak mendukung salah satu pihak. Justru pemerintah hendaknya menjadi penengah agar konflik tidak berlanjut. Tugas ini bisa dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada kedua belah pihak.
Khususnya bagi kelompok yang kontra, menjelaskan sisi positif proyek ini, mulai dari jaminan ketersediaan irigasi untuk 15.519 ha lahan, air bersih untuk konsumsi dan berbagai profit lainnya. Sementara bagi pihak yang mendukung, hendaknya dijelaskan bahwa tindakan anarkis dan ketenangan dalam menangani masalah sebaiknya didahulukan agar kata mufakat segera terwujud. Pendek kata, pemerintah idealnya berperan untuk menjadi fasilitator antara kedua belah pihak agar terwujud kesepemahaman serta kesalingan yang setara, agar proyek ini segera terlaksana dengan baik.
2. Stop kekerasan Fisik dan Psikis
Pada banyak video yang beredar, tampak terjadi bentrok fisik antara aparat dengan warga. Ini tentu sangat tidak elok. Jika DPR di parlemen sana menyarankan penanganan secara humanis (baca portal beritasatu.com. Post 9 Februari 2022), kenapa mereka yang tidak humanis tidak mendapatkan sanksi apapun. Sementara warga yang sedang mempertahankan ide dan pendapatnya malah ditangkap, walaupun dijelaskan kemudian, hal itu dengan alasan untuk konsolidasi.
Terlepas dari benar tidaknya konten kekerasan pada video yang beredar, hal tersebut rentan mendatangkan stigma negatif dari masyarakat umum. Oleh karena itu, idealnya kekerasan baik fisik maupun psikis tidak dilakukan demi alasan kebenaran sekalipun. Terlebih pada zaman digital saat ini, hal-hal semacam tersebut rentan mendatangkan penilaian negatif. Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan. Selain dialog, pemenuhan sebagian tuntutan masyarakat juga bisa menjadi solusi agar mereka tidak bertindak anarkis yang ujung-ujungnya kadang justru menjadi pemantik kekerasan serupa dari pihak pemerintah sebagaimana dalam video amatir yang beredar.
Dalam kehidupan berbangsa, para pendiri bangsa ini sudah membekali kita dengan pancasila sebagai pondasi dasar yang seyogyanya kita ilhami dengan baik dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika pada kasus lokal saja pemerintah tidak bisa mengilhami dengan baik, lantas bagaimana dengan masyarakat yang notabene mayoritas awam dan hanya sedang berusaha untuk bertahan hidup. Jika nilai humanisme, keadilan serta adab (baca: sila kedua) tidak dicontohkan dalam perilaku pemimpin, maka jangan mengharapkan apa-apa dari mereka di grassroot.
Melihat fakta tersebut, saya berharap agar tidak menyalahkan rakyat yang balela serta tidak lagi percaya pada pemimpin. Lagi-lagi, Al-Ghazali benar. Rakyat hanya cermin. Memantulkan perilaku pemimpin manapun yang berkuasa. Namun pada titik ini, bukan berarti pemerintah mutlak salah dalam kasus yang sedang terjadi. Sebagai rakyat, poin ketaatan kepada pemimpin juga harus menjadi nilai yang tak bisa ditawar.
Tentu, jika ketaatan tersebut tidak mengganggu eksistensi kemanusiaan. Bahkan pada posisi benar sekalipun, alangkah indahnya jika pemerintah tetap mengedepankan keramahan semaksimal mungkin. Tak lain karena pemerintah akan menjadi teladan rakyat secara lebih luas. Yang setiap tingkah lakunya akan dilihat dan ditiru khalayak, bukan? Allahu A’lam. []